Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.
Salah satu kalimat yang ditulis Andrea Hirata dalam novel keduanya, Sang Pemimpi adalah gambaran paling pas bagaimana mimpi mampu memotivasi saya hingga akhirnya menginjakkan kaki di bumi  Eropa, tepatnya di Roma, Italia. Jelas bukan perkara mudah untuk bisa ke sana, namun pastinya juga bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Hari itu (21/11) saya, Rendy Bharata Putra (Teknik/2008), dan rekan saya, Muhammad Suhermanto (Teknik/2008) berangkat menuju Eropa untuk mengikuti konferensi internasional. Akibat kesiangan dari Gresik, terpaksa saya harus naik ojek menuju bandara. Lumayan, Rp100.000,00 sekali naik. Di bandara, saya masih harus terganjal urusan celana pendek.
Rupanya, bandara Arab Saudi yang menjadi tempat landing pertama saya mengharuskan semua kaum adam memakai celana panjang. Saya yang memakai celana pendek pun akhirnya dengan sangat dongkol mengobrak-abrik tas gunung saya demi mencari sepasang celana. Akhirnya saya sampai juga di Roma pada pukul dua siang. Dengan semangat sesegar buah semangka, saya segera keluar bandara dan mulai memotret apa saja yang bisa saya potret.
Puas membidik, saya naik Shuttle Bus yang mengantar saya ke pusat kota. Tujuannya satu, KBRI. Apalagi kalau bukan masalah penginapan gratis. Malang tak dapat ditolak, sial tidak bisa dikembalikan. Saya tidak mendapatkan ruang menginap di gedung milik KBRI dan terpaksa keluar mencari warnet demi berburu hostel dengan harga terjangkau. Udara dingin luar biasa, nyaris 15 derajat celsius dan saya masih belum menemukan hostel yang murah. Dinginnya Kota Batu ternyata sama sekali tidak sebanding dengan dinginnya Roma. Dulunya saya selalu berpikir di Eropa, internet menjamur di mana-mana dan bukan lagi sesuatu yang mahal. Nyatanya, ongkos browsing di sini cukup mengerikan juga, 0,5 euro (Rp6.500,00/15 menit). Harga ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan browsing di warnet bandara yang mencapai 4,8 euro (Rp62.400,00/15 menit)
Saya pun mendadak kangen Indonesia. Di Indonesia, lokasi hot spot gratis sudah bukan barang wah lagi. Hanya berbekal laptop ke kampus, ke kafe, atau ke perpustakaan kota, kita bisa bebas browsing sampai pusing.
Setelah lelah berputar-putar, akhirnya saya memutuskan menyewa private room di sebuah hostel. Walaupun tulisannya nyaris sama dengan hotel, jangan dikira hostel sekelas dengan hotel. Hostel secara singkat bisa diartikan dengan menyewa tempat menginap. Uniknya, ongkos dihitung per bed, bukan per kamar, kecuali untuk yang private room. Jelas harga sewa private room lebih mahal daripada menyewa shared room (di mana ada lebih dari empat bed di setiap kamarnya). Menyewa bed di shared room artinya kita akan sekamar dengan beberapa orang yang tidak kita kenal.
Paginya, sekitar pukul delapan pagi, saya mulai bersiap-siap. Cukup kaget juga, sesiang ini matahari masih belum menampakkan batang hidungnya. Saya pun mencari lokasi acara sambil menenteng-nenteng tas setinggi satu setengah kali lipat tinggi badan saya menuju lokasi acara dengan naik bus. Saya sempat kaget saat sadar tidak ada kondektur yang bertugas menarik ongkos. Hanya ada sopir yang cuma fokus menyetir dan berhenti di tiap haltenya. Kalau saja di Indonesia bus didesain seperti ini, saya yakin pasti pemilik busnya akan langsung bangkrut karena tidak ada yang bayar.
Seperti hari pertama, saya berakhir dengan berputar-putar dari satu area ke area lain. Bangunan-bangunan di sana berbeda sekali dengan gedung-gedung di Indonesia. Pintunya tidak terlalu besar, sekalipun gedungnya luas, begitu juga dengan nama gedung yang tidak ditulis besar-besar seperti Indonesia. Saya juga tidak mungkin bertanya pada penduduk sekitar yang rata-rata malas berbahasa Inggris. Sekali lagi saya harus menepuk jidat. Gedung yang saya cari ternyata berada di area pertama kali saya turun dari bus, tepatnya di belakang Colosseum Roma.
Saya pun segera melakukan registrasi.Karena perawakan kami berdua paling kelihatan berbeda, jadilah kami sasaran potret. Banyak peserta dari Eropa yang mengajak kami berpose bersama. Maklum saja, kami satu-satunya utusan dari Asia Tenggara. Selepas registrasi, saya kembali menuju hostel. Kali ini saya menyewa shared room, sekamar dengan orang Korea dan Thailand. Kelaparan, saya mulai memasak. Bukan di kamar atau dapur, melainkan di toilet karena satu-satunya kabel colokan yang tersisa hanya ada di sana.
Saya memasak benar-benar seadanya. Memasak nasi dan memasak mie semuanya dengan hitter. Sempat terlintas keinginan membeli makanan di luar. Sayangnya, harganya terlalu berbahaya bagi dompet saya dan juga tidak bersahabat dengan perut saya yang maunya hanya makan nasi. Bayangkan, rata-rata 6 euro per porsi, atau setara dengan Rp78.000,00 sekali makan! Benar-benar banyak kejutan di negeri ini.
Keesokan harinya, acara dibuka secara resmi dengan pesta penyambutan. Kurang lebih 120 peserta yang mewakili 35 negara dalam lingkup lima benua menghadiri simulasi PBB ini. Awalnya saya dan teman saya yang sudah semester delapan berpikir terlalu tua untuk mengikuti acara ini. Beruntung kebanyakan peserta adalah para mahasiswa S2 atau S3. Mayoritas dengan biaya pribadi dan merupakan mahasiswa Hubungan Internasional atau Hukum. Kontras sekali dengan kami berdua yang sama-sama mahasiswa Teknik.
Rome Model United Nation (ROMUN) sendiri adalah sebuah konferensi intelektual dan sosial internasional yang menyatukan berbagai macam pikiran pemuda dari seluruh dunia untuk terlibat dalam pertukaran budaya dan mendapatkan pengalaman dari proses negosiasi dengan memainkan peran diplomat selama satu minggu yang pada akhirnya menghasilkan sebuah resolusi.  Pada forum ini, para mahasiswa sebagai delegasi dari negara lainnya  mendiskusikan beragam isu baik mengenai ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Hal ini berkaitan dengan PBB sendiri yang memiliki beberapa badan seperti WHO, WTO, FAO, UNODC, dan lain sebagainya sehingga pada setiap Model United Nations masing-masing mahasiswa sebagai delegasi memiliki tanggung jawab terhadap pemecahan suatu permasalahan.
Pada tahun ini ada empat komite yang terlibat dalam ROMUN 2012, yakni ILO-WTO membahas masalah pengangguran pemuda, ITU-WIPO membahas peraturan penggunaan internet, ECOSOC membahas pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan Council of the European union membahas urusan ekonomi dan finansial. Kami berada pada komite yang berbeda, saya berada pada komite ILO-WTO dan merupakan delegasi dari Filipina sementara rekan saya berada pada komite ECOSOC sebagai delegasi dari Brazil.
Acara berlangsung menarik dengan berbagai diskusi panas mengenai isu yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Saya sesekali terkagum-kagum dengan attitude para pesertanya yang kebanyakan dari Eropa, terutama urusan kejujuran, misalnya saat pembahasan mengenai topik ekonomi dunia dimulai. Salah seorang peserta mengacungkan tangan, “Ekonomi bukan bidang yang saya pelajari, saya sendiri juga kurang mengerti. Saya minta izin istirahat untuk sesi ini.”
Menjelang sore, panitia membawa kami berkeliling kota. Lagi-lagi saya dibuat terkesan dengan kota ini. Saat kami beserta rombongan menyeberang jalan, kami tidak perlu menoleh kanan-kiri untuk bisa menyeberang jalan raya. Mobil dan kendaraan lain akan dengan sendirinya berhenti memberi jalan. Di sini, pejalan kaki sangat dihargai. Trotoar yang luas dan pengemudi yang tahu diri kapan berjalan dan kapan berhenti,  membuat mayoritas warganya memilih berjalan kaki. Sementara kendaraan favorit kedua adalah bus kota. Kendaraan motor roda dua malah jarang sekali terlihat.
Seminggu sudah acara berlangsung. Saatnya saya dan rekan saya kembali ke tanah air. Tentu saja, kami tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk berkunjung ke Paris yang letaknya tidak jauh dari Roma. Di Paris, bandara tutup pada pukul sebelas malam. Alhasil, saya harus tidur di luar bandara di tengah terpaan suhu udara 3 derajat Celsius. Selama setengah hari kami berdua hanya berkeliling untuk mengambil foto di depan menara Eiffel. Lebih ekstrim dari Roma, hingga pukul sembilan pagi pun matahari belum muncul. Sepanjang hari cuaca mendung dan suhu udara hanya mau naik sampai 7 C. Di mana-mana kami melihat daun pohon mapple berguguran karena memang Paris sedang berada pada musim dingin.
Di negeri ini saya juga mendapatkan pelajaran menarik seputar modus penipuan. Siapa sangka Paris yang kerap dipakai lokasi syuting film romantis ini sama angkernya dengan terminal Bungurasih? Di area taman yang luas tepat di sebelah menara Eiffel, banyak beterbangan burung dara. Di belahan dunia manapun, burung dara sama saja: buang kotoran seenaknya dan doyan sekali makan jagung. Banyak yang menenteng-nenteng jagung untuk diberikan pada ratusan burung jinak ini sambil berteriak-teriak, “Free, Free.” Sialnya, begitu gerombolan burung itu datang dan melahap habis jagung di tangan korban, para penenteng jagung itu akan segera minta uang.
Modus lainnya, ada seseorang yang datang sambil meminta tanda tangan untuk kertas sejenis petisi. Begitu tanda tangan, orang ini akan segera memanggil teman-temannya yang kemudian akan menanyai tetek-bengek seputar paspor dan teman-temannya yang mengharuskan kita mengeluarkan dompet. Saat itulah, mereka akan mengambil uang dari dompet kita. Licin, tak terendus, nyaris seperti gendam. Ada trik sederhana untuk mengatasinya. Saat ada orang asing yang bertanya apakah kita bisa berbahasa Inggris, segera gelengkan kepala, angkat tangan, lalu kabur. Para penipu ini malas berurusan dengan turis-turis yang tidak bisa dimintai uang lantaran tidak tahu bahasa Inggris-nya uang.
Sangat berkesan, penuh perjuangan, dan penuh pengalaman.  Saya benar-benar berterima kasih bisa hadir di konferensi internasional dan itu semua tak lepas dari bantuan sponsor, PT Semen Gresik, Direktorat Pendidikan Tinggi, dan juga berbagai pihak yang mustahil saya sebutkan keseluruhannya. Tak ada mimpi yang mustahil. Dan tak ada perjuangan yang sia-sia. Mari jelajahi dunia selagi kita masih mahasiswa. Sampai jumpa di Eropa!Fida