Stupa
Dari ujung hingga ujung yang satu lagi mempertemukan
Puncak stupa itu beraksara
Mengerang; hanya ia yang bisa dengarMembisikinya dengan suara-suara gaib yang membingungkan
Wahai Dewata, ia lihat sendiri ratusan kepala dipenggal dari badannya
Sebelum akhirnya sebuah stupa dengan puncak tertajam
Menggoreskan aksara di lapisan ari kulit kepala
Kepalanya sendiri; yang kini menduduki puncak stupa tertinggi

Anggraeni
Kaukah itu, Dewi, yang setiamu abadi
Meresap kecap melalui celah kaporit
Tak percaya kau lebih memilih Palgunadi
Padahal aku, Anggraeni, duduk bersimpuh di hadapanmu
Satrianing lanang sak jagat: Arjuna melamarmu
Tetapi kau, Dewi Anggraeni, lebih memilih menjawab dengan
Tusukan cantrik ke dadamu sendiri

Arteri Perbatasan
Bukan istrinya (Banowati) yang mengiring hingga ke ujung perbatasan kala itu. Saat senja-senja bergoyang dengan menampakkan lentikan jingga yang mengerdip-kerdip. Ia datang dengan gagah membawa sepasukan angin. Basah tubuhnya: dari lutut hingga puncak kepala. Lehernya tegak. Darah perkasa menggelegak, berwarna keunguan menjalari seluruh jaringan arteri. “Ini aku Ranggalawe,” sabdanya. “Kini aku datang menjemput mautmu,” wasiatnya. Yang di ujung sana hanya tertawa-tawa.

………… di dalam kamarnya, tangan Banowati mulai berdarah tertusuk jarum panjang.

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia