Novia Anggraeni

Cerita ini dimulai ketika seorang wanita dengan sekelumit mendung di wajahnya memasuki warung makan di suatu sore yang asin. Langit beradu dengan wajahnya, berlomba menampakkan guratan siapa yang paling lelah. Dengan wajah yang tak enak dipandang itu alangkah lebih baiknya bila ia duduk di pojok ruangan saja, dan bukannya memilih menyandarkan punggung rentanya di kursi yang terletak tepat di tengah ruangan di bawah sinar lampu megah yang terang benderang. Semoga saja gelisahnya yang menggelora itu tidak menular ke pengunjung lainnya.
“Aku tidak pernah menyebutnya sundal! Ia yang menyundal-nyundalkan dirinya sendiri di depan mata kepalaku!” teriak seorang perempuan muda di meja seberang. Lelaki dengan tampilan necis yang ada di depannya diam saja, tangan mulusnya menggenggam daftar menu dengan keeratan yang biasa. Dibacanya keseluruhan daftar makanan yang ada di warung makan itu, dengan sekali kerlingan ia telah menemukan makanan apa yang cocok dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Diangkatnya tangannya dengan anggun sebagai isyarat untuk memanggil pelayan.
Pelayan laki-laki yang juga tak kalah mudanya datang sambil membawa segebok kertas dan bolpoin, pertanda ia siap untuk mencatat pesanan pengunjung. “Ya, Mas? Mau pesan apa?” Sebuah nada yang kelewat ramah diantarkan oleh gelombang udara tak hanya menuju telinga si lelaki, tetapi juga masuk ke gendang telinga perempuan muda dan perempuan pertama yang tadi bermuram durja. “Cetik…. Cetik sundal,” desis kedua perempuan itu bersamaan. Dari dua meja yang berseberangan.
***
Pertama kali melihatnya, aku memutuskan untuk menyalahkan mataku sendiri yang dengan tanpa sengaja menoleh ke arah mereka. Di seberang warung makan yang kutempati, Fatika duduk sambil menyandarkan kepalanya di bahu kekasihku. Rambutnya yang tergerai panjang dengan iseng memilin diri sendirinya untuk kemudian bergelung mesra di lengan Mas Adi. Gelayutan tangannya yang putih mulus membuatku teringat pada buah pir yang ada di tangan, siap untuk dikupas. Bagaimana bila kulit pir ini kuganti dengan kulit tangannya? Sama-sama putih dan mulus. Dagingnya mungkin tak akan selezat pir, tetapi paling tidak bisa digunakan untuk menyumpal air liur anjing jalanan.
Pada penglihatanku yang kedua, semuanya tak lagi tampak samar. Bahwa Fatika jelas adalah seorang jalang sundal yang tidak lebih berguna dari tikus-tikus got. Pandangan kami pernah berseteru kala itu. Ya, kami: mataku, matanya, dan mata kekasihku. Sedetik tegang, selebihnya adalah maut. Aku berani menjamin, saat itu juga Fatika akan menyesal karena ia telah mengambil keputusan untuk menyerahkan akhir hidupnya di tanganku.
Pernah suatu ketika aku bertemu dengan teman lamaku yang berasal dari Bali. Setelah mendengar keseluruhan ceritaku, ia menawarkan sebuah hal yang sangat menggiurkan. Sampai-sampai aku tak tidur semalaman penuh karena mempertimbangkan tawarannya.
“Cetik saja perempuan itu.” Sebuah frasa sederhana yang terdengar tidak sederhana di telingaku.
“Cetik? Bisa sampai mati?” tanyaku langsung, menuju ke tujuan yang paling esensial.
“Ya, tapi bayarannya mahal.” Lagi-lagi temanku yang satu ini membuat hatiku mencelos hingga runtuh ke tumit kaki.
Percakapan kami berhenti seketika ketika aku mulai sadar tumbal apa yang ia minta. Seluruh otot tubuhku menengang, keringat dingin berbondong-bondong keluar dari pori-pori hingga membuatku tak ubahnya seperti pelari maraton. Namun, pelari maraton tak perlu menumbalkan kekasihnya agar bisa memenangkan medali emas di olimpiade. Mereka cukup menggerakkan kakinya untuk berlari sejauh mungkin dalam jangka waktu secepat yang mereka bisa untuk mencapai garis finis. Sedangkan aku? Aku harus menumbalkan kekasihku, Mas Adi yang tampan itu, hanya demi menghisap habis darah si perempuan sundal.
Butuh ratusan kali berpikir ulang sebelum aku menemui temanku lagi untuk memintanya men-cetik Fatika. Apa daya, nyawa memang harus dibayar dengan nyawa. Sebagai tambahan lega, aku berdoa agar Fatika langsung dimasukkan ke neraka saja. Aku sudah susah payah menyingkirkan ia dari dunia ini, jangan sampai ia dan Mas Adi bertemu dan bercinta lagi di alam kubur sana. Mereka memang harus mati bersama: ‘mati’-nya saja yang berbarengan, ‘bersama’-nya jangan!
“Jangan sampai cetik ini gagal. Aku sudah mengorbankan banyak hal. Menumbalkan Mas Adi berarti aku sendiri juga akan ikut mati perlahan,” pesanku sebelum temanku berlalu. Sejumput bayaran tambahanku sisipkan di telapak tangannya, sebagai penyumpal mulut agar ia tak memberitahu siapa-siapa.
“Kuberi kau satu malam lagi untuk dihabiskan dengan kekasihmu. Adi yang akan kutumbalkan terlebih dahulu. Begitu harga dibayarkan, perempuan sundal itu akan mulai ter-cetik. Aku akan gunakan croncong polo.”
Tanpa menunggu jawaban yang tak keluar dari mulutku, pada akhirnya kami menganggap itu sebagai sebuah kesepakatan. Persetujuan mutlak. Habis sudah perkara, tinggal eksekusi saja. Aku berjanji akan menjadi penonton terbaik dalam drama kematian Fatika.
***
Nyatanya, warung makan dengan nuansa coklat yang elegan ini tak mampu mencairkan suasana yang sudah terlanjur beku di antara kami. Tak seperti makan malam yang sebelum-sebelumnya, kami datang tanpa saling bergandengan tangan. Seolah tahu bahwa sebentar lagi akan ada sesuatu yang hendak berakhir, seluruh badanku terasa gemetaran menahan haru. Kami memilih meja makan yang terletak berseberangan dengan tengah ruangan. Sengaja menghindari nyala lampu terang, sekadar untuk menyamarkan rasa sakit akan kehilangan yang mulai mengancam.
Air mata transparan turun tanpa diminta, menghujani hatiku dengan segudang rasa bersalah. Lelaki yang ada di hadapanku saat ini adalah satu-satunya lelaki yang kucintai. Lelaki yang terpaksa kutumbalkan karena tak kuingini dia memadu kasih dengan perempuan lain selain aku. Apalagi dengan Fatika yang sundal itu. Aroma perpisahan yang menyerbu sudut-sudut ruangan terasa sangat kental mencekik tenggorokan. Dalam diam dan dengan diam-diam, aku berusaha merekam saat terakhir ini dengan sebaik-baiknya.
“Diam saja, hmm?” Mas Adi mengawali percakapan yang kami sama-sama tahu–itu hanya sekedar basa-basi agar orang lain tak terlalu curiga dengan keterdiaman kami.
“Aku tidak pernah menyebutnya sundal! Ia yang menyundal-nyundalkan dirinya sendiri di depan mata kepalaku!” kataku. Sekuat tenaga mengarahkan pembicaraan ke arah yang lebih mistis. Paling tidak, Mas Adi harus tahu kenapa ia harus mati dan kenapa ia yang harus kutumbalkan.
Tak ada jawaban dari Mas Adi. Sepi dan sunyi menari-nari di depan kami. Beberapa kali sampur tarinya menampar wajah kami dan menguarkan bau busuk yang tak biasa. Tetapi Mas Adi, masih tetap dengan ketenangannya yang biasa. Lelaki itu justru lebih sibuk mengurusi perutnya daripada menanggapi apa yang tadi kubicarakan. Dibolak-baliknya daftar menu dan dibaca keseluruhan satu per satu. Dengan sekali kerlingan, ia telah menemukan makanan apa yang dirasanya cocok dengan situasi seperti sekarang. Perlahan kuperhatikan, ia mengangkat tangannya dengan gerakan yang sangat anggun. Pelayan mana yang tak segera datang bila dilihatnya lenggak-lenggok tangan yang teracung begitu menawan.
Seorang pelayan laki-laki yang nampaknya tergoda dengan isyarat panggilan dari Mas Adi datang sambil membawa segebok kertas dan bolpoin. “Ya, mas? Mau pesan apa?” sebuah nada yang kelewat ramah diantarkan oleh gelombang udara tak hanya menuju ke telinga Mas Adi, tetapi juga masuk ke gendang telingaku. “Cetik…. Cetik sundal,” desisku sangat pelan, menjaga jangan sampai ada yang mendengar.
Mas Adi menyebutkan beberapa jenis hidangan yang tersedia di rumah makan itu. Bagus, sepertinya nafsu makannya sedang tinggi. Ia memang berhak mengenyangkan perutnya sebelum mati. Pelayan lelaki yang juga teman cetikku itu mencatat keseluruhan menu yang dipesan Mas Adi. Mungkin ia juga berpikiran sama denganku, membiarkan Mas Adi sekenyang mungkin di makan malamnya yang terakhir.
Begitu pelayan itu berlalu, dengan gerakan secepat kilat kuraih tangan mas Adi. Kugenggam kedua tangannya erat-erat, berusaha mengalirkan seluruh nadi cadangan yang kupunya. Aku ingin Mas Adi tahu, bahwa inilah jalan yang kutempuh agar bisa terus mencintainya dengan utuh. Tanpa gangguan atau pun kerusuhan yang diciptakan si sundal.
***
Cerita ini baru saja hendak diakhiri ketika seorang wanita dengan gumpalan hitam di wajahnya memasuki warung makan dan duduk tepat di tengah ruangan sembari mengamati meja yang ada di seberang tempat duduknya tanpa sekali pun berkedip. Bila kau sempat memandang ke dalam bola mata wanita tua yang biru laut itu, kau tentu tahu bahwa jiwanya sedang tak berada di tempat yang sama dengan di mana raganya berada. Tengoklah sedikit lebih lama lagi, kau akan mendapati bahwa ia sedang tersenyum-senyum sendiri. Barangkali ia dulu pernah duduk di seberang ruangan itu bersama kekasihnya sebelum putus cinta. Atau bisa saja, ia sedang mengenang makan malam terakhir yang ia nikmati bersama kekasihnya sebelum ditinggal mati.
Maka jangan hiraukan dia bila suatu ketika kau mendengar dia memberikan jawaban aneh pada pelayan yang menanyakan pesanan padanya. Jawaban yang pasti akan membuatmu dan siapa pun pelayan yang bertanya padanya akan kaget tak alang kepalang, sambil mengernyitkan dahi tentu saja. Ia akan mengatakan “cetik sundal” kepada pelayan mana pun yang membawa segebok kertas dan bolpoin.
Tapi wanita tua itu tidak gila. Ia hanya tak bisa kembali berpikiran waras ketika tahu bahwa kematian kekasihnya berujung sia-sia. Bahwa si sundal bernama Fatika yang hendak diincarnya dengan cetik Bali itu mati pada detik yang sama dengan kematian kekasihnya yang baru saja ditumbalkan. Pada malam yang amat rahasia itu, Adi ingin mengakhiri hubungannya dengan si wanita tua yang baru saja kau lihat duduk sendirian tadi. Lelaki itu sudah lama kehilangan cintanya pada si wanita. Ia pun mengundang Fatika, kekasih barunya, untuk turut menjelaskan hubungan mereka dan sekaligus memberitahukan pada si wanita bahwa mereka berdua telah mencanangkan rencana pernikahan.
Tetapi Fatika kemudian mati mengenaskan persis di jalan raya depan warung makan demi dilihatnya tangan Adi bergenggaman mesra dengan kekasihnya. Hatinya terkoyak, raganya rubuh di atas aspal dan segera disambar oleh kendaraan yang kebetulan lewat dengan kecepatan amat tinggi. Detik di mana Adi menoleh ke jalanan adalah detik di mana cetik penumbalan yang dicampurkan kekasihnya di dalam minuman resmi tertelan. Dua pasang mata saling memandang dari kejauhan. Fatika dengan nyalangnya memandangi Adi meminta penjelasan. Dan Adi dengan mata merah sekaratnya berusaha menjelaskan. Izrail dengan bijaknya memberi penjelasan pada masing-masing dari mereka bahwa tidak ada waktu lagi yang tersisa untuk sekadar bertanya atau pun menjawab pertanyaan.
Matilah jasad mereka berdua. Dan lumpuhlah kewarasan si wanita. Sejak saat itu, tak satu pun malam dilewatinya tanpa berkunjung ke warung makan yang sama. Tanpa memesan apa-apa: selain cetik sundal. Maka berhati-hatilah kau apabila datang ke warung makan ini dan bertemu dengan si wanita. Bisa-bisa ia mengira kaulah sundalnya.
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Indonesia. Cerpen ini juara II kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2013.