Oleh Nur Atikah

agama

Waktu terus berputar tanpa henti, tidak dapat diperlambat ataupun dipercepat, meskipun kita menginginkannya. Kini, waktu membawa kita ke lembaran hidup baru, yakni tahun baru Islam 1437 H.

Kalender Hijriyah dalam Kilasan Sejarah

Kalender Hijriyah adalah kalender Islam, karenanya dipakai sebagai standar acuan dalam penentuan waktu-waktu ibadah dalam Islam. Puasa misalnya, diwajibkan pada bulan Ramadan, haji pada bulan Dzulhijjah, dan seterusnya. Sebenarnya, nama-nama bulan itu telah dikenal di zaman Rasulullah SAW. Tak heran, terkait dengan perhitungan waktu dalam tahun hijriyah ini, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah itu ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di saat Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram” (Q.S. At-Taubah: 36).
Permasalahan muncul pada masa kekhilafahan Umar bin al-Khattab (khalifah yang kedua setelah Abu Bakar al-Siddiq). Saat itu, Abu Musa Al-Asy’ari, sebagai salah seorang gubernur, menulis surat kepada khalifah yang isinya menanyakan surat-surat beliau yang tidak ada tahunnya (hanya tanggal dan bulan saja) sehingga membingungkan. Menerima keluhan ini, Khalifah Umar bin al-Khattab menggelar musyawarah.
Dalam musyawarah itu, muncul beberapa usulan mengenai patokan penghitungan tahun Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad (kelahiran) Rasulullah SAW. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Nabi Muhammad SAW menjadi rasul. Ada pula yang mengusulkan berdasarkan hijrah Rasulullah SAW ke Madinah. Usul terakhir ini datang dari Ali bin Abi Thalib RA, dan usul inilah yang kemudian disepakati. Maka, ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah tahun hijrahnya Rasulullah SAW.

Pelajaran Terpetik dari Penetapan Kalender Hijriyah

Betapa luar biasanya para pendahulu kita dari kalangan sahabat. Mereka menyepakati bahwa kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrah ke Madinah. Bukan dari waktu kelahiran Rasulullah, bukan pula dari saat diangkatnya Muhammad SAW sebagai rasul, dan bukan pula peristiwa-peristiwa lainnya. Jika direnungkan lebih dalam, sungguh dalam penentuan awal kalender Islam ini terkandung sebuah hikmah besar.
Jika kelahiran Rasulullah SAW itu skenario Allah. Demikian pula diangkatnya Muhammad SAW sebagai rasul adalah kehendak Allah. Maka, sulit bagi kita untuk mengambil keteladanan dari peristiwa itu. Karena kedua momentum itu adalah karunia, anugerah sekaligus rahmat Ilahi. Bukan ikhtiar dan perjuangan insani yang sesungguhnya.
Namun hijrah, betapapun itu adalah skenario dan kehendak Allah, ia tetap sebuah proses manusiawi yang penuh dengan nilai perjuangan dan semangat untuk diteladani generasi berikutnya.
Kita tahu, dakwah Rasulullah SAW selama tiga belas tahun di Makkah tidak membuat wilayah itu menjadi negeri Islam. Bahkan yang terjadi, semakin banyak orang yang memeluk Islam, kaum kafir Quraisy makin gencar menghalangi dakwah. Berbagai bentuk celaan dalam ribuan variannya telah dilancarkan. Siksaan kepada kaum muslimin yang lemah juga dilakukan. Berbagai negosiasi dan diplomasi ditempuh agar dakwah berhenti. Sampai-sampai kaum Muslimin diboikot hingga mereka terpaksa memakan daun-daunan. Semuanya tidak menghentikan dakwah. Hingga puncaknya, kafir Quraisy pun berencana membunuh Rasulullah SAW.
Sementara itu, dari arah Yatsrib, datang dukungan dakwah. Ternyata Allah memberikan pertolongan dari jalan yang lain. Penduduk Yatsrib berbondong-bondong masuk Islam dan bersumpah melindungi Rasulullah melalui Bai’atul Aqabah. Mereka juga mengabarkan bahwa Yatsrib telah siap menjadi basis sosial bagi kaum muslimin.
Dua bulan setelah Bai’atul Aqabah, kaum Muslimin Makkah (yang kemudian dikenal dengan nama Muhajirin) berhijrah ke Yatsrib yang kemudian diganti nama oleh Rasulullah SAW dengan Madinah.
Hijrah bukanlah perjuangan ringan. Marilah kita bayangkan, orang-orang yang telah disiksa di kampung halamannya harus berpindah ke negeri lain yang tidak mereka kenal sebelumnya. Di sana, masa depan mereka masih samar-samar dan belum jelas. Di saat yang sama, mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda yang tidak mungkin dibawa. Seakan-akan mereka terusir. Terusir dari kampung halaman, tanpa bekal, dan tanpa kejelasan nasib. Namun, karena faktor iman, mereka sanggup menempuh perjuangan sulit dan melelahkan itu.
Terlalu banyak catatan luar biasa dari peristiwa hijrah untuk diuraikan di sini. Betapa hebat perjuangan para imigran Muslim itu, yang tidak mungkin dikupas secara keseluruhan di sini. Sahabat Nabi bernama Suhaib, sebagai contoh. Ia adalah seorang yang kaya raya. Namun ketika hendak hijrah, kaum kafir Quraisy menghadangnya. Mereka tidak rela Suhaib hijrah dan membawa sebagian hartanya. “Dulu engkau orang yang hina dan miskin,” kata mereka ketika menghadang Shuhaib, “lalu setelah engkau kaya raya engkau akan membawa hartamu keluar Makkah. Kami tidak rela.” Mendengar itu, Suhaib menawarkan pilihan, “Bagaimana jika kutunjukkan tempat penyimpanan hartaku dan kalian bebas memiliki semuanya. Tapi, biarkan aku berhijrah.” Orang-orang kafir Quraisy itu pun setuju dan membiarkan Suhaib hijrah tanpa bekal harta. Mendengar kejadian ini, Rasulullah bersabda: “Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung” (H.R. Ibnu Hibban).
Demikianlah, para sahabat rela meninggalkan kampung halaman dan semua harta benda mereka. Bahkan siap mengambil resiko kehilangan nyawa, karena tidak ada jaminan bahwa hijrah itu berjalan mulus tanpa halangan kaum kafir Quraisy. Tidak heran, jika kaum Muhajirin dipuji oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Bagi orang fakir yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka, (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar” (Q.S. al-Hasyr: 8).

Aktualisasi Makna Hijrah dalam Kehidupan

Hijrah secara bahasa berarti “meninggalkan”. Sedangkan secara istilah, makna hijrah itu adalah seperti yang diterangkan Rasulullah SAW:“Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah” (H.R. Bukhari).
Dengan demikian, hijrah secara maknawi terus relevan sampai kapan pun. Bahwa nilai dan semangat hijrah harus kita bawa dalam kehidupan modern ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah dari kekufuran menuju Iman. Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid. Hijrah dari kebatilan menuju kebenaran. Hijrah dari nifaq menuju istiqamah. Hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Dan, hijrah dari yang haram menuju yang halal.
Dalam hijrah, terkandung pula tiga dimensi nilai untuk kita internalisasikan dalam kehidupan modern ini. Pertama, dimensi personal, bahwa setiap mukmin harus selalu lebih baik kualitas keimanannya dari hari kemarin. Maka, kita berhijrah dari kualitas saat ini menuju kualitas yang lebih baik. Kita terus memperbaiki diri. Islahul fardi, istilahnya, hingga mencapai kualitas pribadi muslim yang sejati. Kita harus terus berupaya agar bisa menjalankan Islam secara kaffah dan komprehensif.
Kedua, dimensi sosial, bahwa seorang mukmin harus memperbaiki lingkungan sosialnya. Ia perlu menghijrahkan keluarga dan tetangganya hingga mencapai karakteristik komunitas Islami (sya’biyah Islamiyah). Mungkin dalam konteks sekarang kita tidak perlu berpindah ke kota lain, tetapi bagaimana menghijrahkan kota atau daerah kita menjadi lebih baik. Dimensi sosial juga berarti menata diri kita untuk menjadi bermanfaat secara sosial dan memiliki kesadaran untuk berkontribusi.
Ketiga, dimensi dakwah. Sebagaimana dakwah ke Madinah adalah dalam rangka pemenangan dakwah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Kita semua harus terpanggil untuk menebarkan Islam, menguatkan nilai-nilai kebaikan, dan mendukung dakwah Islam agar terwujud masyarakat yang Islami dan negeri yang baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur, hingga Islam menjadi ustadziyatul ‘alam (soko guru peradaban).

Penulis adalah dosen Matematika