sketch

 

 

 

 

Gadis Genjer

Oleh Dhianita Kusuma PertiwiE  mak’e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Kulihat bibirnya yang manis dan penuh itu masih bisa bernyanyi dan suaranya masih mampu membuatku tertegun terpesona.
Aku mengenal gadis itu pertama kali saat jalannya masih tertatih dan tangannya digandeng oleh ayahnya. Masih kuingat raut wajahnya yang lucu dan tawa renyah yang meledak dari bibirnya yang basah. Tidak hanya dia yang menjadi sorotan perhatian, namun juga sang ayah. Seorang pria sederhana yang disegani karena sikap dan pemikirannya, bersahaja dan merakyat. Dengan bekal itu juga ia membesarkan putrinya yang manis. Sederhana, terbukti ia tidak pernah bersolek atau memakai pakaian yang berlebihan kecuali saat pentas.
Gadis yang mulai beranjak dewasa itu telah terbiasa dengan panggung sejak usianya sangat muda. Ia suka dan bisa menari, bernyanyi atau bersajak. Sepertinya apapun yang ia suka akan menjadi hal yang indah untuk dinikmati. Seperti bagaimana ia menunjukkan kecantikannya dalam kesederhanaan, tubuh langsing yang dibungkus kebaya. Dan semakin matang usianya, semakin tak bisa kuhindari penglihatanku untuk mengaguminya. Namun ini tidak semata nafsu, aku juga ingin menjaganya sebisa aku mampu.
Sebisa bagaimana aku akan menemaninya bernyanyi, menari di atas panggung. Mendapati senyuman lepasnya saat mendengar tepuk tangan riuh dari para penonton. Juga mendengarkan sedu sedan tangisnya yang didorong rasa kerinduan akan ibunya. Di tengah tangisnya ia sering bercerita bagaimana ia ingin menjadi seperti ibunya yang seorang penari. Ia juga ingin menari di Istana Negara, menghibur tokoh yang selalu dikaguminya dan menjadi inspirasi pedoman hidup ayahnya, yakni Presiden Sukarno. Perempuan yang kukagumi ini selalu ingin bisa mendapatkan kesempatan bertemu presiden dan bermain di suatu perjamuan makan malam untuk menghibur para tamu presiden. Biar tidak hanya orang-orang kampung yang bisa menikmati penampilannya, biar ia bisa membuat ayahnya yang sederhana itu lebih bangga dengannya. Ah, betapa ia memiliki harapan yang sangat indah, seindah gemulai tubuhnya dan nada yang keluar dari mulutnya.
Maka aku telah meyakinkan diri untuk setia di sampingnya. Bahkan aku berharap jika suatu saat dia mendapatkan kesempatan untuk menari di hadapan Presiden Sukarno, aku akan diajaknya ke atas panggung dan tampil bersamanya. Untuk mengusap air mata haru yang mungkin akan menetes dari bola matanya dan meyakinkannya bahwa ibunya pasti merasa bangga telah melahirkan putri seperti dirinya.
***
Akhir-akhir ini kami semua sedang gandrung. Gandrung menyanyikan sebuah lagu buatan pemuda asal tanah Banyuwangi. Judul lagu itu Genjer-Genjer, dan hampir setiap sore kami menyanyikan lagu itu bersama-sama. Begitu juga dengannya, ia juga ikut gandrung menyanyikan lagu dengan lirik sederhana namun sarat makna tersebut.

Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak

Kusadari ia selalu menyelipkan sejurus senyum sebelum ia menyanyikan larik terakhir dari lagu tersebut. Sebuah senyum yang menggambarkan betapa sederhananya kehidupan kami sebagai petani, dan akan selalu berusaha menyediakan yang terbaik untuk disajikan di atas meja makan besar keluarga kaya di daerah perkotaan.

Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego

Dan tidak ada yang bisa mengalahkan manis senyumannya setiap kali ia mengakhiri nyanyiannya dan saat musikku berhenti. Semua orang lalu melemparkan pandangan matanya pada gadis itu dan menimpali tawa manisnya sejurus.
Malam ini nyanyian Genjer-Genjer akan dinyanyikan di hadapan para petani yang akan datang berkumpul dalam tempat ini. Bukanlah sebuah pesta jamuan makan malam yang megah, hanya sebuah pertemuan rutin untuk membicarakan ideologi sosialis yang secara teorinya lebih mengedepankan hak dan suara petani serta buruh, di balik suara retorik para pejabat. Ayah dari perempuan yang kukagumi itulah yang biasa memimpin pertemuan. Karena sesungguhnya penampilannya yang sederhana itu membungkus sebuah pemikiran dalam hasil belajar sepanjang umurnya, hasil membuka telinga dan hati untuk mendengar semua keluh kesah para petani yang bekerja tanpa ada hari libur atau jatah cuti. Semua orang punya hak yang sama untuk berbicara dan berbagi keluhan.
Aku dengar orang-orang di pusat kota memanggil kami sebagai orang-orang ‘kiri’. Sering aku bertanya kenapa kami dijuluki kiri, sedangkan mereka yang tidak pernah datang ke dalam pertemuan kami adalah orang-orang kanan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tahu bahwa ada nilai yang berbeda dari dikotomi kiri dan kanan; kiri identik dengan hal-hal yang buruk dan berlaku sebaliknya untuk sisi kanan. Karena itu penggunaan tangan kiri dianggap tidak baik, terutama saat berinteraksi dalam lingkungan. Apakah kami termasuk dalam orang-orang yang tidak baik?
Yang kupikirkan kemudian adalah bagaimana kelanjutan mimpinya? Akankah karena kebetulan ia lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan kiri ia tidak akan mampu mendapatkan kesempatan menjejakkan kaki di Istana Negara yang berubin porselen dan menghibur sang presiden?
Mereka telah berdatangan dan duduk bersila memenuhi sudut-sudut ruangan yang hanya beralaskan karpet hijau tipis. Bisa kulihat dari raut wajah mereka, ada begitu banyak kata-kata yang akan mereka bagi di tengah perkumpulan malam ini. Dari keluh kesah hingga semangat membara untuk tetap berjuang atas nama keluarga dan bangsa.
Kulihat perempuan yang selalu kudamba itu tengah merias diri, mempersiapkan pakaian yang akan dikenakannya untuk menghibur para tamu dan ayahnya yang bangga akan dirinya. Tentu saja juga membahagiakan kau, walaupun pasti ia tidak sadari itu. Lihat dirimu, cantik, pasti kau bisa meraih cita-citamu yang selalu kau usahakan selama ini. Pasti kecantikan dan kemampuanmu menari sambil bernyanyi akan mampu mengeluarkan dirimu dari kampung ini. Hanya saja aku selalu berharap kau akan mengajakku kesana dan tidak meninggalkanku sendiri di sini.
Waktunya untuk maju ke atas panggung, dan aku telah siap di sisi. Dengan setia menemaninya bernyanyi, dengan alunan ritme untuk menuntun tempo musik. Sejak baris pertama yang ia nyanyikan, aku bisa merasakan seluruh tubuhku bergetar dan aku termangu. Kulihat mata mereka juga mengikuti gerakan tangan dan langkah kakinya yang anggun menelusuri panggung sederhana itu.
Lalu kudengar deru mesin dari luar rumah, kencang dan menembus atmosfer malam. Aku yakin itu adalah mobil-mobil besar, dan mereka berhenti tepat di depan rumah. Namun kulihat tidak ada yang memperhatikan suara itu, mereka terpaku dengan penampilan sang primadona di atas panggung. Tidak lama kemudian kudengar suara langkah kaki, dan dapat kupastikan itu datang dari para pria yang memakai sepatu bot tebal, langkahnya berat dan teratur. Pintu yang terbuka pun langsung dirangsek masuk, tidak ada salam yang mendahuluinya. Semua kepala menoleh ke arah pintu, dan mulut pun ternganga. Kulihat perempuanku pun termangu melihat barisan itu, namun ia terus bernyanyi.
Barisan petugas berseragam telah siap dengan senjata laras panjang mereka, dan kuyakin semuanya penuh dengan peluru panas yang siap diluncurkan. Para tamu berdiri, namun tidak ada senjata yang bisa mereka persiapkan, dan suara tembakan pertama terdengar. Dari dalam dapur terdengar suara teriakan merobek suasana malam yang menegang. Beberapa dari mereka berlari keluar rumah, namun langkah mereka terhenti oleh timah panas yang menembus dada atau kepala mereka. Darah berceceran di atas karpet itu, sebagian mewarnai hidangan yang tersaji. Nyanyian pun terhenti, meninggalkan aku yang masih terdiam dan sang primadona yang tergeletak bersimbah darah di atas panggung.
***
Andai aku bisa melakukan sesuatu untuk menyembuhkan luka di dadanya, andai aku bisa berdiri dan melawan para tentara yang diberi tugas oleh negara untuk membasmi kaum kiri itu. Namun aku hanyalah sebuah boning yang hanya bisa terduduk manis di pinggir panggung, membiarkan tubuhku dimainkan, merangkai nada untuk menjadi iringan musik nyanyiannya. Ya, aku hanya sebuah alat musik mendamba seorang anak manusia yang kepalanya dipenuhi oleh mimpi dan bibirnya dibasahi oleh nada lagu Genjer-Genjer.
Sampai sinikah? Pertanyaan memburu di dalam pikiranku, menyerang alam bawah sadarku. Benarkah hanya sampai sini saja perjuangan kami? Jadi dia tidak akan keluar dari rumah ini dan melangkah di dalam istana negara untuk menghibur presiden? Kulihat tidak hanya tubuhnya yang tergeletak tidak berdaya di sana, namun juga pemakaman umum harapan mereka yang diambil begitu saja dengan senjata laras panjang.

Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak

Bibir perempuan itu masih bergerak, suaranya pun masih merdu. Dan ia memberikan sepotong senyum, sebuah senyum yang penuh makna. Mungkin kemenangan atau pembalasan dendam.
Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris. Cerpen ini Juara III kategori Cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015