Biola, bunyi gesekan yang mengalun sesuai dengan patokan yang telah dibuat. Semuanya berbunyi membentuk harmoni yang indah. Angin bertiup semilir membawa hawa dingin. Langit sedang mendung sore itu. Seorang lelaki dengan baju kotak-kotak dominasi warna merah dan garis hitam sedang duduk menikmati kopi hitamnya di Kafe Pustaka.

cerita merekaSelain ada kopi, tas kecil, dan telepon genggam, ada tumpukan kaset (CD). Kaset itu didominasi warna coklat dengan ilustrasi sebuah perahu di tengah laut pada suatu senja. Di sana juga ada awak bagian kapalnya (nahkoda) yang digambarkan mirip seperti cerita bajak laut. Di pojok kanan atas terpampang tulisan “Kos Atos”. Di bagian bawah, ada kata “Luta”. Kaset itu merupakan album pertama grup musik keroncong jebolan Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM) UM.
Kos Atos mempunyai tujuh personil dan semuanya merupakan mahasiswa PSTM yang berbeda angkatan. Mukti (2014) sang vokalis, Fajar Sandi (2011) memegang gitar, Vigil (2011) memegang kahon, Risky Ramadhani (2012) memegang biola, Krisna Satya Winata (2012) memegang cuk, Risandi Eka (2014) memegang bass, dan Eka Catra (2014) memegang cak, dan biasanya dibantu dengan pemain Cello tambahan. Formasi ini merupakan hasil bongkar pasang pemain yang ketiga kalinya sejak Kos Atos terbentuk.

1_1
Kos Atos terbentuk tanpa disengaja. Suatu ketika, Pak Hartono, dosen PSTM, menugasi mahasiswanya untuk menjadi musik penghibur dalam acara seminar Galeri Nasional pada 27 Februari 2014 di ruang AVA, E6 lantai 2, Fakultas Sastra. Sebelum tampil, Vigil salah satu personil sudah paham, tentu pembawa acara seminar itu bakal bertanya, “Apa nama kelompok musik kalian?” Maka, Vigil pun sudah menyiapkan jawaban pada malam harinya untuk pertanyaan itu. Iseng, Vigil  menyebut diri mereka sebagai Kos Atos, akronim dari kumpulan orang seni depan Matos. Setelah acara seminar itu, tanpa diduga Kos Atos terus menerus ditugasi untuk menjadi penghibur dalam berbagai acara di AVA, bahkan di banyak resepsi pernikahan, dan sebagainya. Kos Atos menawarkan warna musik keroncong yang berbeda. Mereka lebih mengusung macam-macam genre yang diolah menjadi kemasan musik yang progresif dengan basis musik keroncong. Saat ini, jarang orang yang fokus (mengembangkan) keroncong bahkan keroncong hampir dilupakan. Industri musik Indonesia sekarang sedang fokus pada Mayor Label saja yang banyak dihuni oleh musik RnB, Pop, dan kebarat-baratan.
Album Luta baru diluncurkan pada 13 September 2016 di God Bless 2 Café Malang. Luta berasal dari bahasa Portugis yang artinya ‘berjuang’. Menurut Vigil, mereka sengaja mengambil bahasa Portugis untuk membuat cita rasa lebih kental karena keroncong tidak lepas dari peran Bangsa Portugis. Album tersebut berisi delapan lagu. Enam lagu di antaranya, lirik dan lagunya diciptakan oleh Vigil. Sementara dua yang lain diciptakan oleh Fajar Sandi. Daftar lagu yang ada, yaitu Salam untuk Desa, Maka ML, Keroncong Dansa, Luta, Cerita, Segala Rasa, Hari Ini, dan Ingatku.
Melalui Ingatku, laki-laki kelahiran Sekadau (Kalimantan Barat), 24 Juli itu ia mengucapkan terimakasih untuk ayah dan ibunya. Perjuangannya menjadi seniman tak berjalan mulus. Ia berjuang keras, sering berbohong pada orangtuanya, sejak SD. Ia berbohong bukan tanpa maksud. “Orangtuaku selalu mempunyai ‘program-program’ untuk anak-anaknya, dan kebetulan ‘program’ untukku tidak cocok denganku,” tutur Vigil. Ayahnya seorang guru yang kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ibunya seorang guru Matematika. Orangtua melarangnya menggeluti bidang seni dengan alasan seni tak dapat membuat perut kenyang.
Tak ada darah seni yang mengalir dalam dirinya. Tetapi, menurut cerita bapaknya, Vigil merupakan nama sebuah senjata (benda tajam) di kampung bapaknya.  “Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan alat itu,” tutur anak ragil dari empat bersaudara itu. Di sisi lain, Vigil merupakan kosakata dalam bahasa Inggris  yang artinya ‘berjaga-jaga’.
Indikasi cintanya pada musik muncul ketika ia SMP. Ia banyak dipengaruhi oleh tayangan musik televisi, musik yang sering diputar oleh kakak dan abangnya. Ia mengaku les pelajaran, tetapi diam-diam ikut sanggar tari sebagai pemusik di daerahnya. Di sana ia mendapat bekal musik tradisi dan di band semasa sekolahnya dia mengembangkan hobi bermusiknya itu.
Vigil terus saja membelot, sementara bapaknya terus saja menggiringnya agar menjauhi bidang seni. Ketika SMA, ia disekolahkan di sekolah perikanan yang menerapkan prinsip militer. Vigil hanya bertahan enam bulan. Ia memaksa pindah sekolah. Sang bapak melarang, Vigil terus memaksa sampai akhirnya diizinkan dengan syarat ia mengurus kepindahannya sendiri.
Ketika hendak kuliah, bapaknya menghendaki ia mengambil Ilmu Pemerintahan. Vigil pun dilempar ke Malang. Ia selalu ingat pesan bapaknya bahwa kuliah jauh harus berbeda, jangan ambil yang sama dengan tempat asal. Ketika membaca brosur UM, ia menemukan jurusan yang cukup menarik baginya. PSTM, ketika itu masih angkatan pertama. Sang bapak pun mengizinkan lantaran jurusan itu bisa mengantarkan Vigil menjadi seorang guru atau bisa juga di bagian pemerintahan tetapi bukan seniman (musisi).
Sejak awal kuliah, ia terus dipantau. Sang bapak selalu menegaskan, setelah selesai, ia harus segera pulang. Pada masa-masa kuliah, laki-laki yang ahli di bidang musik perkusi ini memperoleh banyak tawaran. Sepanjang perjalanannya, ia banyak menghasilkan prestasi dan karya-karya musik. Vigil pernah memenangkan festival antarpelajar Kab. Sekadau 2010. Ia juga terlibat dalam penyaji terbaik dan penata musik terbaik di Festival Pesta Seni Budaya Dayak se-Kalimantan di Yogyakarta 2014. Beberapa karya musiknya berupa pentas musik bertajuk “Kerumbi” (Tugas Akhir Perkuliahan S1), musik iringan tari Sanggar Forkom Mahasiswa Kab. Sekadau di Malang, dan lagu-lagu di album Luta.
Sosok bapak berpengaruh besar terhadap sikap dan kemandiriannya. “Sebab, bapak berperan ganda,” tuturnya. Sementara itu, sebagai anak, sifat-sifat yang menonjol dalam dirinya diturunkan oleh sang ibu. Vigil mengaku, terkadang ia merasa sadis karena selalu bertentangan dengan ibu dan bapaknya. Karena sejak kecil ia suka main keluar rumah, sampai sekarang ia jadi betah keluar rumah. Namun, karena itu juga, ia kurang mengenal sosok ibunya. Selain itu, memang usianya masih cukup kecil ketika sang ibu meninggal dunia. Waktu itu Vigil masih kelas VIII SMP. Tak ada yang menyiapkan barang-barang atau kebutuhan sekolah untuk dirinya. Sering ia menyiapkan segalanya sendiri, tapi terkadang disiapkan kakak perempuannya. Vigil pun terbentuk menjadi anak yang tertutup, jarang cerita, dan jarang curhat.
Vigil ingat, ada satu momentum yang paling mengesankan baginya, memori tentang sang ibu. Ketika SMP, ia ikut INKAI dan memenangkan Porseni Kab. Sekadau. Uangnya diberikan pada sang ibu dan dibelikan pohon natal. “Meski tidak besar, tapi momennya sangat mengena,” kata Vigil.
Perjalanan hidup Vigil banyak mempengaruhi karya-karyanya. Laki-laki yang suka ikan patin kuah tempoyak ini bersama Kos Atos tak ingin mandeg. Ia berusaha membuat karya baru agar terus tetap produktif. Ia akan terus memperjuangkan karya karena karya tidak dimakan oleh zaman. Ia seperti bola, digiring ke mana saja, ia akan jalan. Sebab, musik memang bidang yang ia suka. Ia terus bersyukur karena selama ini ia selalu diberi lebih dari apa yang ia minta. Prinsipnya hidupnya sama seperti lirik yang ia tulis dalam Hari Ini. “Hari ini aku yang menang, aku yang berkuasa,” tuturnya optimis. Dengan talenta yang Vigil miliki, bakat yang ia rasa tidak begitu besar dibanding musisi lainnya, namun Vigil sangat menjaga kesederhaan itu. “Lebih baik menjaga sesuatu yang kecil, daripada membuang sia-sia hal besar yang ada di dalam diri,” tutu Vigil, sedikit tapi nyelekit.Yana