Apa yang dilihat dari seorang pemuda? Bukan harta dan tahtanya karena mereka memang tak memiliki semua itu. Seperti yang dilakukan empat puluh pemuda yang siap terjun ke beberapa daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (3T). Salah satunya berada di Desa Pota Wangka, Boleng, Manggarai Barat, NTT.
Dari empat puluh pemuda Indonesia, sepuluh di antaranya harus berada di Pulau Flores selama empat hari pengabdian (23-27/02). Sepuluh pemuda bergabung dalam program Yucan Empower untuk mengabdi pada masyarakat di pelosok-pelosok negeri. Mereka melihat potensi dalam meningkatkan perekonomian, pendidikan, dan kesejahteraan kesehatan di wilayah tapal batas negeri ini.
Menyebut Manggarai Barat, pastilah bayangan kita akan menuju ke Pulau Rinca, Padar, maupun Pulau Komodo yang terkenal dengan eksotika alam serta habibat hewan purbanya. Namun kita akan melihat sisi lain yang belum pernah terjamah dan memiliki local wisdom yang mengagumkan pula. Kita melirik ke wilayah lembah di salah satu Kabupaten Manggarai Barat, yakni Labuan Bajo, tepatnya di Desa Pota Wangka.
Perjalanan menuju Desa Pota Wangka sangat dramatis, namun seru. Langkah awal menuju desa tersebut kita akan disuguhi pemandangan elok nan apik dari ketinggian ribuan kaki di atas permukaan laut. Gugusan pulau berliuk indah menyapa rombongan dari beragam penjuru dengan tujuan yang berbeda. Melirik ke arah jendela kabin, bentangan biru air laut dan hijaunya pulau bergugus tak rapi namun mampu memikat hati untuk datang kembali.
Sesampai di airport, kita disambut  angkot untuk menuju rumah kolega. Kalau ditanya Labuan Bajo memiliki khas oleh-oleh apa? Tentunya patung komodo jawabnya. Namun jangan ditanya soal harga. Harganya melambung karena wilayah ini salah satu destinasi berskala internasional yang membuat semua berlipat-lipat harganya. Selain itu, jika kita bertanya mengenai makanan khas penduduk asli juga akan kebingungan menjawabnya. Namun ketika para rombongan tiba di rumah kolega, wangi teh hangat dan sepiring menyambut kedatangan kami. Kompyang  di klaim menjadi makanan khas Labuan Bajo. Kue tradisional berbahan dasar tepung beras bertekstur padat serta rasanya yang tawar dan cocok jika dimakan dengan kopi atau teh manis. Namun ketika di antara kami memposting foto kompyang di akun instagram, ada beberapa teman yang mengatakan bahwa di Malang pun juga banyak dan bernama sama. Usut punya usut, ternyata produsen kue kompyang  adalah orang-orang China yang tinggal di Labuan Bajo serta menjadikan makanan tersebut sebagai jajanan khas. Model dan bentuknya juga mirip dengan dorayaki, roti khas Jepang. Alhasil kami namai “Dorayaki Labuan Bajo”.
Labuan Bajo masih jauh dari kebisingan. Meskipun dikatakan kota, tetapi rumah-rumah masih jarang dibangun. Di sini kita tidak akan pernah menemukan kemacetan. Suhu siang hari di sini sangat panas karena terletak di wilayah pesisir. Perjalanan belum terhenti sampai di sini. Kami harus melangkah menuju Desa Pota Wangka. Ketika kami bertanya kepada orang-orang kabupaten tentang Desa Pota Wangka, tidak satu pun bisa menjelaskan kepada kami kondisi desa tersebut. Penduduk kabupaten banyak yang belum pernah mendengar dan mengetahui tentang Pota Wangka.
Menuju Desa Pota Wangka yang berada di wilayah lembah dengan dikelilingi pegunungan membutuhkan dua sampai tiga jam dari Labuan Bajo jika tidak ada kendala apapun. Untuk mencapai lokasi tujuan harus melewati jalan yang samping kanan kirinya terdapat jurang dan tebing di tengah hutan. Tak jarang pula menemui genangan jalan berlumpur hingga membuat napas tertahan di tengah perjalanan yang gelap. Akses menuju desa sangat terbatas, hanya otokol, truk bak terbuka yang disulap menjadi angkutan umum dengan tempat duduk dan atap dari bilah kayu. Tarifnya pun murah meriah untuk penduduk setempat. Otokol inilah satu-satunya moda tranportasi umum yang mampu mengantarkan ke Desa Pota Wangka.
Kami harus merasakan layaknya berada di roller coaster dengan guncangan yang tidak teratur membuat kami berpegangan kuat. Diikuti sensasi angin malam, yang terlihat hanya ranting-ranting pohon dan daun-daun yang tersorot dari lampu otokol. Jalan yang sempit dan terjal tidak menyurutkan semangat sopir untuk membawa kami bersepuluh menuju desa.  Pecah ban pun kami lalui bersama, tetapi kami bersyukur karena saat itu berada di depan warung kopi. Setidaknya kami tidak sendiri berada di tengah hutan yang gelap. Saat itu pula, kami beramah-tamah mendadak bersama warga setempat. Kami disuguhi sajian sejarah yang apik, yakni banyaknya batu yang berasal dari kayu yang telah mengeras. Teksturnya masih persis dengan serat kayu yang mengeras namun memiliki massa lebih berat layaknya batu biasanya. Penduduk setempat mengatakan bahwa hanya batu tersebu hanya ada di daerah itu.
Perjalanan kami lanjutkan dengan medan  lumayan bersahabat dengan gemerlap langit berbintang yang cerah. Namun sebelum sampai ke lokasi utama, otokol juga harus melewati aliran sungai yang membuat jantung kami berdegup kencang. Sebelum memasuki sungai, sopir mengomando kami agar bersiap-siap. Kami juga disuguhi dengan kerbau-kerbau.
Kami disambut penduduk asli dengan upacara adat yang hampir tidak pernah kami temui. Dengan suguhan ayam putih dan arak. Penduduk asli dengan 97% beragama katolik. Melihat kami banyak yang memaki jilbab, ketua adat hanya menyerahkan arak secara simbolis dan menunggu kedatangan kami untuk menyembelih ayam. Damai melihat kehangatan para papa dan mama (sebutan akrab untuk bapak dan ibu) yang akan mendampingi kami selama beberapa hari ke depan. “Terbayar dan nggak menyangka akan disambut seperti ini. Walaupun sederhana ini sangat luar biasa dan pengalaman pertama untuk  saya,” kata Zhavira Noor Rivdha, peserta  dari Malang. Melihat selama ini hidup dengan fasilitas serba ada dan listrik yang hanya di malam hari juga sinyal yang kembang kempis.
Keesokan harinya, peserta berkeliling desa untuk melihat potensi hasil bumi yang dimiliki serta menuju ke rumah gendang, yakni rumah adat untuk upacara sakral Desa Pota Wangka. Letak geografis di tengah lembah membuat kami harus berjalan naik turun dengan jalan berkerikil.
Sayangnya, sistem pertanian di sini  kurang baik. Semua jenis tanaman tumpah ruah menjadi satu tanpa ada pembagian lahan. Hasil bumi pun juga terlihat tidak merata. Perekonomian warga masih bergantung pada kemiri dan kopi. Itu pun masih diolah secara konvensional. Namun, mereka menjualnya ke kota dengan tarif yang tidak murah.
Makanan sehari-hari pun juga sangat sederhana. Penduduk hanya mengkonsumsi nasi, sayur singkong, dan lauk ikan asin. Variasi makanan di sini juga sangat minim ditambah budaya minum kopi yang sangat tinggi. Pola hidup tersebut yang membuat banyak diantara warga yang mengalami hipertensi, diabetes, maupun rematik.
Menelisik pendidikannya, Desa Pota Wangka hanya memiliki SD dan SMP sehingga peserta Youcan Empower tergerak memberikan kelas inspirasi kepada mereka. “Anak-anak di sini perlu pendampingan wawasan mengenai cita-cita yang bisa diraih oleh mereka,” kata Theo, Kepala Desa Pota Wangka. Salah satu pemandangan yang miris, mereka pergi sekolah tanpa beralas kaki. Namun tidak mengubur keceriaan yang mereka miliki. Anak-anak disini seperti biasa, bermain dan bersemangat melihat hal baru. Rasa syukur yang luar biasa hidup dengan berkecukupan walaupun sering kali mengeluh merasa kurang. Ternyata Indonesia itu kaya dan indah namun masih banyak diantara mereka yang memerlukan uluran tangan dari orang-orang untuk bersama membangun negeri.Arni