oleh Yusuf Hanafi

Tuhan berfirman melalui kalam suci-Nya, “Katakan, berjalanlah di muka bumi!” Sebanyak empat kali, ayat senada berulang di dalam Alquran. Itulah alasan kami mengambil tawaran promo wisata ke Provinsi Hainan, China. Walhasil, selama lima hari (11–15/01) kami habiskan di negeri yang saat ini tengah terlibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) itu.
Bisa dibayangkan, hanya dengan Rp4 juta, kita bisa plesiran ke Negeri Tirai Bambu, tepatnya ke Provinsi Hainan yang terletak di wilayah China paling selatan. Tak tanggung-tanggung, pesawat yang mengantar pulang-pergi adalah pesawat carter (tanpa transit, red.) dari Surabaya langsung ke Haikou (Hainan, red.). Harga di atas juga sudah termasuk transportasi darat selama 4 hari, akomodasi hotel 3 malam, dan makan di moslem restaurant terpilih. Sebagai catatan, Provinsi Hainan itu tidak menyatu dengan China daratan (kontinental, red.), sebab Hainan adalah pulau terbesar kedua China setelah Pulau Formosa Taiwan.


Merasakan Nafas Kehidupan Masyarakat Hainan
Rombongan kami yang berjumlah sekitar 50 orang tiba di Kota Haikou (ibukota Hainan, red.) pada Sabtu dini hari, (12/01) setelah menempuh perjalanan udara sekitar lima jam. Proses imigrasi berlangsung singkat, cepat bahkan terkesan longgar, sangat beda dengan pengalaman saya saat masuk Singapura tahun 2018 silam, di mana proses imigrasi memakan waktu hampir tiga jam.

Saya coba tanyakan hal itu kepada pemandu wisata kami. Ia menjawab, pemerintah China memang tengah menerapkan kebijakan khusus untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional mereka yang cenderung melamban sebagai dampak perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Salah satu strateginya adalah menyederhanakan proses imigrasi, tentunya dengan tetap memasang kewaspadaan tinggi terhadap hal-hal yang berpotensi mengancam teritori dan keamanan nasional China.


Hari pertama di Hainan, kami mengunjungi kota tua Haikou yang bangunan-bangunan bersejarahnya tetap dilestarikan sebagai cagar budaya. Wilayah tersebut juga penuh dengan patung perunggu yang menvisualisasikan potret kehidupan masyarakat Haikou di masa lampau. Dari kota tua, kami singgah ke kuil pertama yang dibangun di Haikou (the first Haikou temple). Di sana, kami seolah dibawa ke suasana China di abad pertengahan, yang menceritakan proses masuknya agama Konghucu ke Pulau Hainan.


Setelah hampir seharian mengelilingi kota Haikou, rombongan bergegas makan siang untuk menikmati sensasi naik Kereta api cepat yang mengantar kami ke Kota Lingshui. Jangan Anda bayangkan bahwa Kota Haikou, termasuk kota-kota lain di Hainan merupakan kota yang macet dan semrawut karena populasi penduduknya yang padat. Sama sekali tidak! Kota-kota di Hainan sangat lengang. Selain karena jalanannya lebar dan ditata rapi, sebagaian besar penduduknya lebih memilih moda transportasi publik ketimbang membawa kendaraan pribadi. Di Hainan, jalur kendaraan roda empat atau lebih dan roda dua dipisah. Jalur pedestrian juga disiapkan dengan sangat baik sehingga ramah dan nyaman bagi pejalan kaki. Satu catatan penting lagi, mayoritas kendaraan roda dua di Hainan itu menggunakan mesin hemat energi yang nyaris tidak mengeluarkan polusi asap dan suara.


Keajaiban Ekonomi China
Ketika ramai diwartakan bahwa Presiden AS, Donald Trump mengumumkan perang dagang dengan China, saya berguman dalam hati, “China sedang menghitung hari, dan segera memasuki liang kematiannya,”. Setelah beberapa hari di Hainan, opini saya berubah. China tidak hanya akan bertahan, tetapi akan menang dalam perang dagangnya melawan Negeri Paman Sam. Ekonomi China benar-benar tangguh. Selain karena besarnya produk domestik bruto mereka, Negeri Tirai Bambu itu banyak akalnya.


Salah satu akal cerdas pemerintah China adalah bahwa seluruh travel yang membawa wisatawan masuk ke negeri China diwajibkan untuk mengunjungi perusahan-perusahaan nasional China (semacam BUMN di Indonesia, red.). Dalam sehari, setidaknya ada dua perusahaan nasional China yang kami kunjungi, mulai dari pabrik pengolahan Kelapa, industri lateks, perusahaan obat-obatan tradisional, hingga toko perhiasan giok. Memang tidak ada paksaan terhadap wisatawan untuk belanja, tetapi karena keterampilan salesnya dalam menjelaskan keunggulan produk dan mempersuasi calon pembeli. Uang ¥5000 Yuan yang saya bawa pun ludes tidak tersisa.


Dari kota Lingshui, rute wisata kami berikutnya adalah Kota Sanya. Berbeda dengan dua kota sebelumnya di Hainan, kota Sanya memiliki pantai-pantai yang eksotis. Tak heran, turis-turis Eropa Timur, khususnya dari Rusia membanjiri kota tersebut. Hal lain yang menonjol dari Sanya adalah adanya suku Hui yang mayoritasnya memeluk agama Islam. Jumlah mereka memang tidak sebanyak suku Han yang memeluk agama Konghucu dan/atau agama China Kuno lainnya, tetapi mereka cukup mewarnai kota Sanya. Tidak kurang dari lima masjid berukuran besar bisa ditemukan di Kota Sanya. Restoran Muslim pun bisa ditemukan dengan mudah di beberapa sudut kota.


Bersama Penduduk Lokal yang Beragama Islam
Secara umum, meski China dikenal sebagai negara komunis, kehidupan beragama di Hainan sangatlah baik. Pemerintah China sesungguhnya memberikan keleluasan dan kebebasan beragama bagi penduduknya, sejauh tidak merongrong nasionalisme China yang sangat menekankan jargon ‘One China’. Kehidupan muslim Hainan yang damai juga seolah menjadi penjelasan atas represi militer yang dialami oleh Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Masalah yang terjadi di Xinjiang sesungguhnya lebih kental dengan aroma politik dibanding pilihan keyakinan agama, dimana Muslim Uighur berusaha memisahkan diri dari kekuasaan Beijing. Sesuatu yang tidak mungkin ditolerir oleh Pemerintah China.
Sempatkan berkunjung ke Negeri Tirai Bambu, karena Rasulullah Muhammad SAW menyatakan, “Belajarlah hingga ke negeri China!”


Penulis adalah dosen Wakil Dekan III Fakultas Sastra dan Anggota Penyunting Majalah Komunikasi.