oleh Fahrul Khakim

            Di tepi sungai, aku prihatin melihatmu memukul-mukul air. Aku sungguh terhenyak saat kau tiba-tiba menyeburkan diri ke Gangga, menyelam dalam waktu yang lama. Tidak, Nak! Kau tak boleh mati seperti ibumu, Jahnawi. Aku segera menyusulmu berenang ke dasar Gangga.

* * *

“Sebenarnya kenapa ibunya meninggalkan Brata?” tanya Durgandini.

“Aku ingkar janji. Jahnawi, ibunya adalah bidadari yang mau menikahiku dengan syarat harus dituruti semua keinginannya. Dia selalu membuang bayi yang dilahirkannya ke sungai Gangga, aku tak boleh mencegahnya apalagi bertanya. Sampai akhirnya Brata lahir, aku sebagai Raja Hastinapura belum memiliki putra yang bisa melanjutkan tahta nanti. Aku melarang Jahnawi membuang Brata sehingga membuatnya sakit hati. Jahnawi menceburkan diri ke Sungai Gangga atas pengkhianatanku pada janji pernikahan kami.” jelas Raden Sentanu, sedih.

“Aku turut prihatin, Bagindaraja.” sahut Durgandini, simpatik.

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau harus pulang ke kerajaan, sementara bayimu hanya mau menyusu pada Durgandini.” tanya Palasara.

“Aku hendak membawa istrimu ke kerajaan. Aku mohon izin padamu. Aku akan berikan apa saja agar aku bisa mengajak serta Durgandini. Dia satu-satunya harapan hidup Brata.”

Palasara terdiam sejenak sebelum menjawab dengan tenang,

“Aku sudah tak membutuhkan kenikmatan dunia. Aku ingin melanjutkan ikhtiarku sebagai resi. Aku mengikhlaskan Durgandini pergi bersamamu, tapi aku ingin kau berlaku adil. Kau juga harus menuruti semua keinginan Durgandini jika nanti dia bersedia ikut bersamamu.”

 “Baiklah, Palasara. Aku janji. Sudikah kau ikut bersamaku, Durgandini?”

 “Baik, Bagindaraja. Saya bersedia. Saya minta paduka memenuhi syarat dari Kakanda Palasara.”

Palasara kembali melanjutkan riayatnya sebagai resi sementara aku dan rombongan Raden Sentanu memacu kereta kuda menuju istana.

* * *

“Baginda Raden Sentanu, selama menjadi pengasuh Brata, aku tak pernah meminta imbalan. Kali ini baginda meminta saya menikahi Baginda. Aku bersedia tapi izinkan saya meminta satu syarat. Saya ingin penerus tahta Hastinapura kelak berasal dari rahim saya.”

Jawaban Durgandini telak membuat Brata dan Raden Sentanu kaget. Raden Sentanu memandang Brata dengan sedih. Kubisikkan dalam benak Brata untuk mengingat kembali jasa Durgandini padanya selama ini. Kutunjukkan mosaik-mosaik rindu dalam keriput Raden Sentanu akibat mengarungi kerajaan tanpa permaisuri. Sebelum Raden Sentanu membuka mulut, Dewa Brata segera menyela persis seperti yang kuperintahkan.

“Saya bersedia tidak memiliki keturunan seumur hidup, agar kelak tahta kerajaan bisa diwariskan pada keturuan Baginaraja dan ibunda Durgandini.”

“Brata, apa kau yakin?”

“Saya sungguh yakin, Baginda. Apalah arti saya dibandingkan dengan kejayaan Hastinapura kelak. Bukankah setiap perjuangan butuh pengorbanan? Inilah pengorbanan saya demi kelangsungan tahta kerajaan sekaligus balas jasa saya pada ibunda Durgandini.” jawab Brata dengan mantap.

* * *

Dewa Brata masih belum mampu mengusir kegelisahannya sejak pesta pernikahan usai walau aku sudah berjuang sekuat tenaga untuk membantunya tegar. Kuajak dia jalan-jalan di taman untuk mengusir penat. Kami bertemu dengan gadis yang sedang menikmati keindahan taman Hastinapura seorang diri. Brata tak bisa menahan diri untuk berkenalan dengan gadis cantik itu.

“Nama saya Amba, hamba putra patih Hastinapura. Senang bisa bertemu Baginda Dewa Brata,” jawab gadis itu dengan santun.

Brata mengabaikanku saat mereka asyik mengobrol sambil memetik bunga melati hingga senja menyapa.

Percik-percik rindu bergumul dalam jiwa Brata sejak saat pertemuan itu. Sampai dia kembali ke peraduan, nama Amba selalu disebut menjelang tidur. Dia bahkan mengaku padaku bahwa hatinya terpaut pada Amba tapi dia bingung.

“Ingat, Brata. Kau sudah berjanji pada kerajaan Hastinapura. Kau tak dapat mencintai siapa pun, apalagi menikah.” Berkali-kali aku sudah mengingatkannya sampai dia akhirnya sadar.

Dia tak lagi membahas Amba bersamaku, seketika semangat hidupnya runtuh entah kemana. Aku tak tega melihatnya termenung di kamar hampir seharian. Aku mengajaknya jalan-jalan, tapi anehnya kaki Brata justru melangkah ke taman Hastinapura tanpa bisa kucegah.

“Baginda Dewa Brata!” suara lembut bagai seruling itu menerbitkan kembali nyala hidup Brata. Kami menoleh dengan ragu.

Amba tersenyum memukau di hadapan kami.

Rekah rindu dalam wajah Brata berubah jadi semburat matahari.

“Amba, sedang apa kau di sini?”

“Aku menanti kedatangan Baginda. Tiap hari aku ke sini sendirian.”

Segera kubisikkan janji pamungkas Brata pada Hastinapura.

“Aku tak bisa menemuimu lagi, Amba.”

“Kenapa, Baginda? Apa karena aku hanyalah putri patih?”

“Bukan.”

“Amba ingin selalu bersama, Baginda.”

“Jangan. Lupakan aku. Aku harus pulang.”

Segera kutarik Brata pulang sebelum pesona Amba membuatnya berubah pikiran. Tapi Amba ternyata mengikuti kami. Aku melarang Brata untuk menoleh tapi dia tak bisa menahan diri untuk melakukannya.

“Amba, apa yang kau lakukan? Jangan ikuti aku.”

“Kenapa, Baginda? Amba tak pernah berniat jahat padamu.”

Brata tak mau mengakui hal yang sebenarnya karena aku larangnya.

“Aku tak mau menemuimu lagi, Amba. Jika kau terus mengikutiku lagi, aku tak segan-segan untuk memanah jantungmu.” ancam Brata dengan tajam. Sekuat hati dia menahan emosi yang meluap-luap.

Amba terhenyak mendengarnya. Matanya berkaca-kaca sampai mulutnya kehilangan kata-kata ketika kuajak Brata melangkah pulang.

                                                        * * *          

Sejak saat itu, Brata mudah mengamuk dan meninju apa pun di kamarnya sampai tangannya memar. Aku berusaha keras untuk menenangkannya tetapi gagal. Nalurinya tak sanggup menahan diri untuk menemui Amba lagi di taman kerajaan. Aku tak akan membiarkanmu pergi, Brata. Kau sudah berjanji. Tubuhmu berontak. Kau mengambil panah, lalu mengarahkannya tepat ke arahku. Kututup mulutku karena kutahu kau akan terluka jika melukaiku. Aku juga tak akan sanggup melihat darah keluar dari kulit gagahmu, Brata.

Kau membiarkanku mengikutimu pergi ke taman kerajaan. Kau yakin Amba ada di sana seperti saat kalian pertama bertemu dulu.

Kulihat siluet tubuh Amba sedang duduk bersedih di samping rimbun bunga melati. Kesempatan yang tersisa segera kugunakan untuk memperingatkanmu, Brata.

“Brata, kau harus ingat janjimu pada Hastinapura. Kau tak boleh mendamba cinta pada gadis mana pun. Lupakan Amba. Ingat jasa Durgandini. Kau tak boleh ingkar. Ingat riwayat ingkar ayahmu pada Jahnawi, ibumu. Hanya karena ingkar, kau kehilangan ibumu.”

“Diam!” Kau menatapku tajam.

“Tidak, aku tak pernah meminta apa pun selama setia menemani hidupmu, Brata. Kumohon, setialah pada janjimu.”

“Tapi aku mencintai Amba.” Kau segera mencabut anak panah.

“Ingat, semua yang kulakukan untukmu selalu benar. Kau harus menuruti kata-kataku, Brata.” kataku berapi-api.

“Tidak!”

Brata melesatkan panah ke sembarang arah untuk melepaskan rasa sakit hati. Dia terpekur menatap tanah dengan wajah bersimbah air kesedihan.

“Uhuk-uhuk! Aarrgghhh…,” Suara rintih lembut itu membangkitkan kami dari kenyataan.

Mata Brata terbelalak saat menoleh pada sumber suara. Amba tengah tergolek merenggang nyawa dengan anak panah mengoyak jantungnya.

Brata mendekatinya, berusaha menolong namun hanya mampu memangku kepala Amba yang tengah tak berdaya.

“Maafkan aku, Amba. Aku juga mencintaimu tapi karena aku sudah berjanji tak akan menikah, aku tak dapat memilikimu.” sesal Brata.

Amba tersenyum. “Amba senang di akhir hidup ini, cinta Amba terbalas.”

Air mata tak sanggup kubendung. Maafkan aku, Brata! Aku hanyalah air susu yang menitis dari Durgandini dulu. Air susu yang telah menyelamatkan hidupmu dan menemani hidupmu selamanya. Walau kusadari, aku tak akan pernah bisa menggantikan Amba untukmu.

* * *

Durgandini sedang membelai-belai tubuh mungil Brata satu malam. Aku tidak tidur karena tugasku adalah menemani Brata setiap saat. Durgandini menaruh harapan pada kesunyian, “Kelak air susu ini yang akan menjaga hidupmu selamanya, Brata. Air susu ini juga yang kelak menjadi saksi pada janji yang telah disepakati oleh Baginda Raden Sentanu. Janji akan memenuhi segala permintaanku nanti. Aku ingin menjadi permaisurinya dan memiliki putra penerus tahta dari rahimku sendiri. Aku akan menunggu lamaran dari Baginda Raden Sentanu. Jikalau itu terjadi, air susu ini akan menjaga janji itu, Brata.”

* * *

“Brata, jangan mati. Kau tak akan menemukan Amba dalam dinginnya dasar sungai Gangga.” bisikku padanya selama mengikutinya menyelam.

“Abu Amba kemarin dilarung di sini. Aku juga ingin menemui ibuku, Jahnawi. Bukankah sungai ini tempat peristirahatan mereka?” jawab Brata.

Brata, kau harus tahu. Aku memang bertugas menjaga janji itu bersamamu, tapi aku juga bersumpah untuk menjagamu tetap hidup. Jadi segera kuperintahkan organ tubuhmu untuk kembali ke permukaan. Ketika kau kembali menghirup udara, kutekankan janjiku untuk menemanimu seumur hidup. Walau tanpa sang kekasih hati, kau hanya akan menyusu sunyi.