Oleh: Yusuf Hanafi

Rajab sebagai bulan ketujuh dalam kalender Hijriah adalah bulan yang sangat istimewa. Imam al-Balkhi menyebutnya sebagai kunci kebaikan dan keberkahan menuju bulan-bulan berkah berikutnya (Sya’ban dan Ramadhan). Beliau menyatakan, “Rajab adalah bulan untuk menanam kebaikan. Sya’ban adalah bulan untuk menyiram tanaman kebaikan itu, dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen kebaikan.”

Keistimewaan Rajab semakin tidak terbantahkan, karena adanya sejumlah peristiwa besar yang terjadi pada bulan ini. Di antara yang paling populer adalah pada tanggal 27 Rajab, Nabi Muhammad Saw diperjalankan oleh Allah Swt dari AlMasjidil Haram (Makkah) ke Al-Masjidil Aqsha (Yerussalem Palestina) yang berjarak ± 2500 KM (kala itu ditempuh dengan perjalanan normal selama ± 40 hari), dan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra’-Mi’raj guna menerima perintah kewajiban shalat lima waktu.

Operasi Hati Nabi, Sebuah Episode Awal Isra’ Mikraj

Telah populer dikisahkan, sebelum perjalanan Isra’ Mikraj dimulai, terjadi operasi pembedahan dada beliau oleh Jibril As dan Mikail As, untuk selanjutnya hati beliau dicuci dengan air zam-zam tiga kali dan diisi dengan hikmah dan keimanan. Ibarat sebuah adegan film, operasi pembedahan ini merupakan fragmen awal sebelum memasuki inti cerita perjalanan sesungguhnya.

Inilah yang menjadi titik fokus tulisan ini. Mengapa hati yang dibedah dan dibersihkan? Kenapa bukan ginjal, usus atau lambung yang notabene mempunyai peran penting dalam metabolisme tubuh, dan secara biologis lebih kotor karena menjadi jalur pencernaan makanan? Mengapa pula pembedahan ini dilakukan sebelum perjalanan Isra’ Mikraj, kenapa tidak di tengah perjalanan, atau seusai perjalanan?

Sesungguhnya dalam kejadian tersebut, terdapat filosofi dan hikmah yang sangat mendalam. Pertama, hati adalah bagian terpenting dalam kedirian manusia. Hati merupakan pusat metabolisme keimanan dan ketakwaan. Bagaikan pilot pesawat, oleh Yusuf Hanafi hati mengarahkan kehidupan spiritual manusia sekaligus mempengaruhi dan menentukan perilaku sosialnya. Sejalan dengan itu, Rasulullah Saw menyatakan dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, “Sesungguhnya di dalam tubuh seseorang itu, terdapat segumpal daging. Apabila gumpalan daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh itu. Namun jika (seebaliknya) gumpalan daging itu jelek, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ingatlah, gumpalan itu adalah hati” (Muttafaq ‘Alaih).

Mencermati isi kandungan hadis di atas yang sangat menekankan pentingnya posisi hati bagi tubuh dan diri manusia, kita menjadi mengerti: mengapa Allah Swt memerintahkan operasi pembedahan dada dan pembersihan hati Rasulullah Saw sebelum melakukan Isra’ dan Mikraj.

Peristiwa langka tersebut merupakan isyarat bagi kita semua selaku umatnya bahwa hati adalah bagian diri yang paling penting untuk dirawat, melebihi perawatan anggota-anggota tubuh lainnya. Menyehatkan hati dan meriasnya jauh lebih penting daripada merias wajah, berdandan fisik, bahkan lebih penting daripada mengasah otak dan intelektualitas.

Posisi Strategis Hati dalam Pembentukan Karakter

Inilah yang sering kita lupakan. Hati tidak lagi menjadi panglima dalam kehidupan ini. Sejak lama kedudukannya telah digantikan oleh otak yang mengandalkan nalar dan logika. Padahal berbagai pertimbangan keadilan dan kebenaran; sumbernya adalah hati, bukan dari otak. Karena itu, sungguh tepat pernyataan al-Ghazali dalam kitab monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin, “Selalu mintalah petunjuk pada hati dan ikutilah arahannya! Meski orang di sekelilingmu memberi nasihat yang berbeda.”

Mencermati petuah al-Ghazali di atas, jika

kita hendak memutuskan sesuatu, pertama kali kita harus bertanya kepada hati kecil kita. Bukan sekadar mempertimbangkan bukti-bukti yang didapat di tempat kejadian perkara (TKP). Karena semua itu bisa dipalsukan oleh otak dan logika.

Jika hati membawa kita kepada kebaikan universal, maka otak hanya akan mengantarkan kita kepada kebaikan parsial dan partikular, kebaikan yang telah terkontaminasi oleh kepalsuan dan kepentingan.

Hikmah lain di balik peristiwa pembedahan hati Nabi, jika Rasulullah Saw yang ma’shum (terjaga dari dosa dan kesalahan) itu perlu dioperasi dan dibersihkan hatinya. Bagaimana dengan kita yang rentan berbuat salah, alpa, bahkan dosa?

Demikianlah, hikmah di balik perintah Allah kepada Jibril As dan Mikail As untuk membedah dada dan mencuci hati Rasulullah Saw. Bukan karena di hati Rasulullah terdapat kotoran apalagi penyakit. Sama sekali bukan, karena Nabi itu memiliki sifat ma’shum.

Di atas semua itu, operasi pembedahan dada dan pembersihan hati beliau itu adalah isyarat bagi kita semua selaku umatnya. Bahwa membersihkan, merawat, dan menghias hati adalah pekerjaan utama yang harus diprioritaskan di atas tugas-tugas lainnya—sebagaimana Allah SWT mendahulukan pembedahan dan pencucian hati Rasulullah sebelum melakukan perjalanan Isra’-Mikraj.

Wallahu a’lam.

Penulis adalah anggota kepenyuntingan majalah Komunikasi dan Wakil Dekan III Fakultas Sastra UM.