“Dia itu orang sinting,” seru Ernest ketika Adit bertanya tentang lelaki tua yang duduk di depan gedung empat lantai di depannya.

“Masa dia orang sinting? Kudengar dia seorang dosen,” Adit tak percaya.

Keduanya duduk di bawah pohon mangga yang dikelilingi tempat duduk terbuat beton. Di sebelah kanan mereka, seorang wanita tengah sibuk menggoreskan pena di atas kertas karton besar dan terlihat tengah menggambar sesuatu. Di beberapa sudut lain tampak empat mahasiswa melakukan hal yang sama; menggoreskan pena di atas kertas karton dengan kepala merunduk seperti orang yang sedang khusuk berdoa.

“Kamu lihat saja bagaimana penampilannya, persis orang sinting.” Ernest mencibir. Ia melemparkan pandangan jijik pada lelaki tua itu.

“Apa orang sinting selalu berpenampilan seperti itu?”

“Tentu saja, Dit! Kamu ini bagaimana sih? Jika seperti itu apa tidak sinting?”

Ada rasa tak puas bercampur keragu-raguan dalam dada Adit. Sebab, ia mendengar desas-desus jika lelaki tua yang saat ini tengah duduk dengan tatapan mengawang ke langit itu seorang dosen hebat. Tetapi melihat penampilannya bak seorang gembel membuat Adit sanksi pada desas-desus yang beredar itu.

Sebelumnya, Adit bertanya pada teman-temannya di fakultas lain yang dirasa mengetahui seluk-beluk orang misterius itu. Tetapi yang didapatinya hanya gelengan kepala. Beberapa yang lain bahkan berseru, “Mana aku tahu? Peduli setan dengan orang aneh sepertinya!”

Sekali waktu ia sempat bersua dengan si lelaki tua sewaktu ia membeli ayam bakar di tepi jalan untuk makan malam. Ditemuinya, lelaki yang memiliki rambut panjang berminyak itu sedang menenteng ukulele usang, lalu mendendangkan sebuah lagu tahun 80-an di hadapan para pembeli. Tentu saja saat itu Adit belum mendengar sepak terjangnya. Saat itu, ia hanya menganggapnya ta lebih dari seorang pengamen antah-berantah dengan dandan nyeleneh; kesepuluh jemarinya berhiaskan batu cincin yang ukurannya jauh lebih besar dari jemarinya.

Desas-desus itu mulai beredar di telinga Adit saat ia berjumpa kembali dengan si lelaki tua di pusat perbelanjaan modern yang berhiaskan lampu-lampu berpendar terang. Saat itu Adit tengah menghabiskan waktu akhir pekannya dengan mengunjungi gerai-gerai kaus distro. Kebetulan dua hari sebelumnya ia baru menerima upah hasil dari pekerjaannya sebagai pelayan event organizer. Jadilah uang itu sebagai modal memenuhi hasratnya untuk berbelanja kaus distro terbaru.

Sewaktu bertemu, si lelaki tua berpenampilan tak jauh berbeda; kaus kumal hitam yang berhiaskan tulisan Di atas Langit, Masih Ada Langit pada bagian depan dan tulisannya mulai pudar. Lelaki itu hanya menutupi bagian bawah perutnya dengan celana siswa SMA yang dipotong tak rapi pada bagian lututnya. Kesepuluh jemarinya tetap berhiaskan batu akik berukuran mencolok tak normal. Sementara kedua telapak kakinya beralaskan bakiak yang menimbulkan bunyi “pletak-pletuk” tatkala menghantam lantai porslen yang mengkilap. Kehadiran si lelaki tua tentu saja menyita perhatian orang-orang kelas atas yang berlalu lalang, juga semua pengunjung berpenampilan rapi dan harum, begitupun Adit—setelah sebelumnya bertemu di tepi jalan sebagai pengamen.

“Aku pernah bertemu dengan orang ini di pinggir jalan,” Adit memberitahu kawannya sesaat si lelaki tua melintas di depan gerai kaus distro yang dikunjunginya.

“Dia kadang memang seperti itu,” tandas kawannya sembari melanjutkan lagi memilih pakaian setelah meletakkan sebuah kaus bergambar tengkorak.

“Memangnya kamu tahu tentang dia?”

“Dia kan seorang dosen di kampus kita, Dit.”

“Hah? Seorang dosen?”

“Kata orang-orang sih begitu,” kawan Adit juga terlihat tak yakin pada kabar burung yang beredar.

Sementara kawannya pergi ke bagian lain di dalam gerai, tubuh Adit masih tak bergeming di dekat etalase bening nun besar itu, menatap punggung si lelaki tua yang melangkah menjauhinya. Rasa penasarannya mulai tumbuh, dan Adit telah menempatkan si lelaki tua sebagai orang misterius di dalam kepalanya.

Sebenarnya Adit tidak terlalu antusias mengungkap tabir kebenaran tentang laki-laki itu. Ia hanya sesekali bertanya pada teman-temannya jika tak sengaja bersua dengan si lelaki tua. Dan jawabang yang ia dapatkan selalu kabur dan tak jelas. Hingga saat ini Adit bersua dengan Ernest, temannya dari fakultas ekonomi, tabir si lelaki tua masih sangat buram.

“Aku masih tak yakin kalau dia orang sinting,” kata Adit. “Jika ia orang sinting, bagaimana mungkin orang-orang menyebarkan kabar kalau dia seorang dosen?”

“Berarti yang mengatakan dia dosen juga sinting.” ucap Ernest ketus.

Pandangan keduanya tertuja pada tempat yang berbeda. Jika tatapan nakal Ernes sibuk mengawasi mahasiswi cantik yang melintas, Adit justru tak mengalihkan perhatiannya dari si lelaki tua. Dan lelaki tua itu masih saja tampak seperti seorang gembel; pakaiannya lusuh dan lecek. Wajahnya berjambang lebat tak terawat. Bulu kakinya tumbuh liar di balik celananya yang hanya sebatas di bawah lutut, dan ujung kakinya kini beralaskan sandal jepit kusam.

Ditatapnya, si lelaki tua mengeluarkan sehelai daun dari saku celananya. Dengan gerakan anggung, ia meniup salah satu sisi tepi daun lalu menghasilkan tembang merdu. Si lelaki tua meniup daun lembut layaknya memainkan seruling. Adit tersentak melihatnya. Ia tak pernah melihat manusia menjadikan sehelai daun sebagai alat musik sebelumnya.

“Lihat, Ernest, lihat! Hebat sekali dia!” Adit berseru menunjuk si lelaki tua.

“Lihat, Dit, bukankah tampak sekali ia seperti orang sinting?”

“Kamu ini kenapa? Kamu terlihat seperti sangat membenci laki-laki itu.” kata Adit sebal.

“Dit, kalau memang dia seorang dosen, seharusnya penampilannya kan lebih rapi seperti orang yang terdidik? Bukan tampak seperti gembel yang tak tahu aturan. Ingat, Dit, guru itu digugu dan ditiru. Dia menjadi panutan bagi murid-muridnya.” sergah Ernest.

“Omong-omong,” tiba-tiba wanita yang sedari tadi sibuk sendiri bersua, membuat Adit dan Ernest seketika menoleh padanya. “Apa kalian tahu tentnag Sinto Gendeng?” ia bertanya pada Adit dan Ernest.

Sejenak, Adit dan Ernest tampak bingung. Ada campuran antara bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya wanita ini dan berpikir mencari jawaban di raut keduanya.

“Aku tahu,” ucap Adit. “Dia gurunya Wiro Sableng kan?”

“Tepat.” Si wanita menjentikkan jari telunjuknya yang masih menggenggam pena. Kemudian ia menyerahkan kertas kartonya pada Adit. Ernest segera menjulurkan kepalanya, tertarik pada gambar yang tergores di sana. “Ini, aku baru saja selesai menggambarnya.” Dia berucap riang.

Adit menelusuri setiap goresan pena di atasnya. Terlihat gambar seorang wanita tua dengan rambut disanggul sedang tertawa riang dengan mata terpejam. Di sampingnya, gambar seorang pemuda dengan muka tak ditammpakkan menunduk hormat padanya. Di sekelilingnya gambar yang tak begitu detail, tetapi dapat dimengerti jika itu gambar puluhan orang mengelilingi kedua gambar utama dengan mata berbinar. Di sudut kanan atas, sebuah gambar dua orang pemuda sedang duduk berdampingan di atas sebuah batu besar. Salah satu pemuda ditampilkan dengan wajah terpukau, sementara yang lain ditampilkan dengan wajah kecut. Sebuah bandana yang berhiaskan tulisan ‘sinting’ melingkar di keningnya.

“Aku adalah mahasiswa yang berguru pada lelaki tua yang kalian bicarakan. Dan saat ini kami sedang kuliah.” kata si wanita.

Kemudian si lelaki tua melakukan gerakan tepuk tangan. Beberapa mahasiswa yang sedari tadi sibuk menggambar kini bergerak aneh; mereka mendekati si lelaki tua dengan gestur kaku seperti mayat hidup. Beberapa di antaranya menggeram tak jelas, dan menarik perhatian orang-orang yang melintas. Termasuk Adit.

Tetapi raut wajah Ernest tampak kesal dan mendengus. Sambil menatap si wanita yang begerak mejauhinya dengan membungkuk, ia bergumam, “Aku adalah cucu dari lelaki tua gurumu itu.”

Seketika mata Adit terbelalak menatap Ernest. [ ]

MOH.ARIEF ROHMAN HAKIM-Sampul