Oleh Wida Setya Purnama
Begitu banyak perempuan bebas saat ini. Bebas bekerja kapan saja. Begitu banyak gadis-gadis berkeliaran di malam hari. Kemudian mereka dijahili, dilecehkan, dan dianiaya. Begitu banyak keluarga yang kemudian retak yang diakibatkan oleh perlawanan perempuan hingga berujung pada perkembangan buruk si anak. Begitu banyak anak-anak tak dapat kasih sayang sebab ibunya sibuk bekerja. Demikiankah buah dari perjuangan emansipasi? Perempuan justru makin menjadi cemoohan dengan tidak menuruti adat, aturan, nilai, dan budaya.
Seiring berjalannya waktu, pemaknaan akan emansipasi yang diusung R.A. Kartini pun semakin salah arti. Dulu, emansipasi merupakan suatu gerakan guna melawan tindak penindasan. Saat itu, berbagai hak-hak perempuan memang dipangkas semena-mena oleh arus patriarki. Perempuan tidak boleh mendapat pendidikan, perempuan hanya melayani suami dan anak, perempuan hanya untuk dinikahi dan diperbudak, dan bentuk penindasan lain sehingga perempuan-perempuan di Indonesia saat itu sangat mudah dimonopoli. Padahal, baik buruknya sebuah negara salah satunya bergantung pada karakter perempuannya.
Sejarah mengatakan, pada masa perjuangan, R.A. Kartini telah berdarah-darah melindungi hak perempuan. Hak perempuan di sini bukanlah dalam konteks untuk menyamaratakan peran perempuan dan lelaki. Namun, ketika itu, Kartini ingin menuntut hak perempuan utamanya dalam bidang pendidikan. Demikian surat R.A. Kartini dalam versi terjemahan Armijn Pane, “Kami di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan laki-laki dalam perjuangan hidup ini,?oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu?,pendidik manusia yang pertama-tama.” Surat tersebut ditulis R.A. Kartini untuk Tuan dan Nyonya Anton (4 Oktober 1902).
Dalam penggalan surat itu jelas bahwa R.A. Kartini sama sekali tidak ingin perempuan sepenuhnya disamakan dengan lelaki. Kartini saat itu menentang kebijakan ketika perempuan terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Dalam ajaran Jawa, perempuan adalah sosok yang diharuskan untuk tunduk. Tunduk pada perintah orang tua dan suami. Adat Jawa mengatur segala yang harus dilakukan perempuan. Mulai ia kecil hingga memiliki anak. Kartini tidak sepenuhnya menentang peraturan-peraturan yang telah dibuat nenek moyangnya. Namun, ia menginginkan kaum perempuan di negaranya, terutama bagi kalangan nonbangsawan juga dapat mengenyam pendidikan dan dijamin keselamatannya dari bentuk penindasan. Kartini tidak menginginkan emansipasi yang ia perjuangkan menjadikan perempuan Indonesia melawan suaminya. Namun, sebatas melindungi hak mereka dan menjadikan mereka ibu yang cerdas. Tujuan spesifiknya ialah, jika ibunya cerdas, perempuan Indonesia dapat mendidik anak-anak dengan baik sehingga generasi bangsa Indonesia ini dapat meningkat kualitasnya.
Namun, lihat ironi yang terjadi saat ini. Emansipasi dimaknai secara dangkal. Emansipasi diartikan sebatas persamaan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan. Tanpa penggalian secara dalam hak dan kewajiban yang bagaimana. Perempuan sudah boleh bersekolah dan bekerja, tetapi yang terjadi sungguh di luar harapan. Tak sedikit perempuan yang terjerembab pada penyalahgunaan hak itu.
Lebih parahnya lagi jika emansipasi dijadikan penyamaran dari bentuk tuntutan kebebasan. Kebebasan agar perempuan dapat keluar kapan saja dan melakukan apa saja. Mirisnya hal itu menjadikan mereka berpotensi melakukan tindak menyimpang hingga menjadikan kaum perempuan terseret pada kehidupan kelam dan berdampak buruk bagi perempuan itu sendiri. Jika mau menelisik bukankah hal itu berakar dari salah kaprahnya pemaknaan emansipasi?
Emansipasi bukanlah bebas dari tatakrama keperempuanan. Adat bangsa ini sudah mengatur bahwa perempuan harus berhati-hati dan menjaga diri. Tidak boleh keluar malam misalnya, hal itu tidak serta-merta diartikan membatasi ruang gerak perempuan, tetapi mengamankan perempuan dari tindak kejahatan malam hari. Emansipasi bukanlah gerakan yang melawan keras aturan-aturan baik seperti itu.
Belum lagi maraknya perempuan karir di negara ini. Perempuan boleh saja berkarir. Namun, jika ia telah berumah tangga, mendidik anak dengan baik dan membalas bakti suami adalah tugas perempuan. Untuk dapat melakukan keduanya, dalam hal memilih pekerjaan, seorang perempuan harus cerdas. Tidak boleh sembarangan memilih profesi. Carilah profesi yang masih menyisakan waktu untuk mendidik anak dan membalas bakti suami. Sangat miris ketika melihat seorang perempuan berpanas-panasan mencari nafkah di ladang, di jalanan, atau tempat lain. Perempuan dipekerjakan seperti lelaki. Jika kemauan itu disebabkan oleh faktor ekonomi, di sinilah sebetulnya Komnas Perlindungan Perempuan dan LSM yang bergerak di bidang penyejahteraan perempuan harus berperan. Sedapat mungkin harus diusahakan pekerjaan yang layak bagi mereka.
Dari berbagi kasus kesalahpahaman emansipasi yang menjadikan perempuan rugi, perlu dikukan kontemplasi kembali tentang bagaimana seharusnya kaum perempuan itu bersikap. Tiga hal yang menjadi kebiasaan perempuan ialah menggunjing, tidak berpakaian sopan, dan melawan suami. Jika dikaitkan dengan misi emansipasi Kartini, tiga pantangan itu akan menyelamatkan perempuan dari konsekuensi berbahaya yang mengancamnya. Dengan tidak melakukan pergunjingan, akan minim konflik yang berdasarkan atas kesalahpahaman. Dengan berpakaian sopan, minimal saat bekerja atau bersekolah, perempuan terlindungi dari niat-niat jahat. Tentunya jika perempuan juga mau menjaga sikap. Sedangkan yang ketiga, telah disinggung sebelumnya bahwa emansipasi yang hakiki bukanlah melakukan perlawanan pada lelaki. Jadi emansipasi harusnya tidak membuat perempuan melawan suami tanpa motif yang dapat dikonsekuensi.
Di era globalisasi ini, perempuan pun telah memperoleh hak yang lebih baik, yakni dalam artian perempuan dapat bersekolah dan bekerja, sudah selayaknya perempuan terus-menerus memotivasi diri menjadi sosok yang lebih baik. Memanfaatkan sebaik-baiknya hak yang telah didapat bukan memanfaatkan sebebas-bebasnya hak yang ia punya saat ini. Perempuan harus selektif dan berhati-hati. Dengan menyikapi emansipasi secara mendalam, tujuan emansipasi akan menjadi mulia seperti R.A. Kartini yang membayangkan anak-anak bangsa dididik oleh ibu-ibu yang cerdas dengan hatinya. Generasi bangsa akan tumbuh menjadi generasi yang bermartabat yang luhur budi pekertinya.
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Indonesia