Penyanyi dan pencipta lagu asal Belanda, Johannes Sigmond, bersama grup musiknya, Blaudzun, menggiring ratusan penonton yang memadati Sasana Budaya Universitas Negeri Malang (UM) pada Jumat (02/02) untuk berjingkrak bersama sepanjang malam. Sebabnya, malam itu Blaudzun menyajikan konser yang bertajuk “Blaudzun & Kerontjong Culture Exchanges Concert” yang merupakan bagian dari lawatan mereka ke Indonesia mulai Sabtu (27/01) lalu. Konser tersebut terselenggara atas kerja sama Yayasan Caraka Mulia, Erasmus Huis, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UM. Kota Malang merupakan tujuan akhir mereka setelah melakoni tur di tiga kota besar lainnya, yakni Jakarta, Yogyakarta, dan Solo.
Di Belanda dan Eropa, Blaudzun yang memulai bermusik sejak 2008 dikenal sebagai musisi yang mengusung musik beraliran pop-rock alternatif. Blaudzun yang awalnya tampil seorang diri, kini diperkuat oleh lima orang pengiring, yakni Jakob Sigmond (gitar), Tom Swart (harmonika dan kibor), Frank Timmerman (bas), Simon Levi (drum), dan Linda van Leeuwen (perkusi). Indonesia merupakan satu dari beberapa negara yang pernah disinggahi Blaudzun. Sebut saja Amerika Serikat, Islandia, Jerman, Argentina, dan Meksiko, sudah pernah menikmati energiknya alunan musik mereka. Atas pencapaian luar biasa itulah, Johannes Sigmond dkk. panen penghargaan, seperti Best Album of the Year 2012 pada Dutch Public Broadcasting Award, Best Male Artist di Dutch Edison Awards, serta penghargaan berupa Best Alternative Act dari 3FM, Radio Nasional Belanda.
Dalam konser yang berlangsung sekitar empat jam tersebut, Blaudzun menyuguhkan lagu-lagu andalan mereka seperti Elephants, Euphoria, Promises of No Man’s Land, dan Flame on My Head. Di tengah konser, grup musik asal Yogyakarta, Kroncongan Agawe Santosa, hadir memberikan iringan musik keroncong. Energi musik keroncong yang diembuskan pada lagu Midnight Room nampaknya malah semakin ‘membakar’ suasana Sasana Budaya. Akulturasi kedua musik yang dihasilkan membuat penonton semakin asyik berjoget. Hingga pada puncaknya, Blaudzun melantunkan single terbaru mereka, Hey Now, yang membuat sorak sorai penonton semakin berada pada klimaksnya.
Telusuri Jejak Nenek Moyang
Pada turnya ke Indonesia ini, Blaudzun tak ingin sekadar memperkenalkan musiknya kepada publik di Indonesia. Blaudzun juga membawa ‘misi’ lain, yaitu mengenal lebih jauh tempat asal moyang sang vokalis, Johannes Sigmond, hingga mencoba menelusuri kembali ke akarnya.
Johannes yang lahir di Arnhem, Belanda, memiliki latar belakang blasteran Belanda-Indonesia. Kakeknya yang lahir di Probolinggo adalah orang Indonesia, sedangkan neneknya yang ‘setengah’ Indonesia lahir di Solo. Kakek dan neneknya sama-sama tinggal dan bersekolah di Malang. Rumah bekas tempat tinggal neneknya pun hingga kini masih tegak berdiri di Lawang, Malang.
“Di Belanda, orangtuaku memainkan musik keroncong dan aku mendengarkan. Keroncong telah menjadi musik masa kecilku,” urai Johannes. Memang, lanjutnya, keroncong sangat berbeda jika dibandingkan dengan musiknya saat ini yang berada di ranah pop alternatif dan sedikit rock. “Tapi, menurutku keroncong yang banyak di dalamnya permainan-permainan dasar gitar itu terdengar seperti musik pop juga dengan versi yang lebih tua,” papar musisi berusia 44 tahun tersebut.
Ketika duet dengan grup keroncong, tak dipungkiri komunikasi menjadi kendala. Namun, saat mereka tampil bersama di panggung, semuanya berjalan baik. “Kami berkomunikasi melalui musik. Musik adalah bahasa,” kata Johannes. Berada di Indonesia dan memainkan keroncong sungguh sangat berarti baginya. Salah satu personel, Tom Swart, juga mengungkapkan ekspresinya terhadap penonton yang bersemangat malam itu. “Saya sangat puas dengan apa yang disuguhkan balik oleh penonton malam ini, sangat berkesan bagi saya,” ujar keyboardist yang nyambi akordionis ini. Selain penontonnya, Bumi Arema juga meninggalkan kesan yang mendalam bagi Tom. “Malang memberikan pengalaman yang menakjubkan bagi saya, atmosfernya sungguh enak,” tutup pria yang juga memiliki kemampuan sebagai arranger ini.Arvendo