Pesona Tengger dengan keindahan Gunung Bromo tidak luput dari perhatian masyarakat sejak dulu. Sejak zaman Majapahit, dataran tinggi Tengger dikenal sebagai wilayah yang damai, tentram, dan bahkan rakyatnya terbebas dari pembayaran pajak yang disebut titileman. Jenderal Thomas Stamford Raffles sangat mengagumi orang Tengger. Dalam The History of Java, ia mengemukakan bahwa pada saat berkunjung ke tempat yang sejuk itu, ia melihat orang Tengger yang hidup dalam suasana damai, teratur, tertib, jujur, rajin bekerja, dan selalu gembira. Mereka tidak mengenal judi dan candu, perselingkuhan, pencurian, atau jenis-jenis kejahatan lainnya tidak ditemui di dalamnya.
Desa yang termasuk ke dalam desa Tengger adalah desa-desa yang berada dalam wilayah kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan masih memegang teguh adat-istiadat Tengger. Desa-desa yang dimaksud adalah Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso (Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung (Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang), dan Argosari serta Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang). Salah satu desa yang masih memegang adat istiadat Tengger beserta kepercayaannya adalah Desa Wonokitri dan Tosari yang bertempat di Pasuruan.
Orang Tengger kaya akan upacara adat, tetapi hampir tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah Tengger adalah upacara Kasada, Karo, Entas-Entas, Unan-Unan, Pujan Mubeng, Kelahiran, Tugel, Perkawinan, Kematian, Barikan, Lilitan, dan masih banyak lagi. Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Kasada adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya. Hari raya ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma atau Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger yang disebut sebagai dukun pandita, pewaris aktif tradisi Tengger. Perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo)sangat mirip dengan perayaan Lebaran atau hari Raya Idul Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia tersebut, orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga untuk memberikan ucapan selamat Karo. Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu berpuluh-puluh ternak, kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga yang kurang mampu, pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan. Bagi orang Tengger, hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu tersebut merupakan saat yang penuh suka cita dan pesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin menebus seluruh kelelahan dan kejenuhan kerja seharian penuh di ladang yang telah mereka jalani selama satu tahun. Seluruh lapisan masyarakat Tengger, tua-muda, besar-kecil, Hindu, Kristen, Buddha maupun Islam menyatu dalam sukacita perayaan Karo. Hari raya Karo akan makin meriah apabila hasil panen orang Tengger bagus.
Upacara Unan-Unan diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu menurut kalender Tengger bukan 8 tahun, melainkan 5 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu nirwana. Kata unan-unan berasal dari kata tuna rugi, maksudnya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama satu windu. Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih kerbau sebagai kurban. Ada pula Upacara Entas-Entas. Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar dapat masuk surga. Biaya upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.
Upacara Pujan Mubeng diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger, tua-muda, besar-kecil, berkeliling desa bersama dukun mereka sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan warga desa.
Kebiasaan masyarakat Tengger menggunakan sarung dalam kesehariannya menjadi ciri khas yang menarik. Udara dingin dan sejuk menjadi primadona utama wisatawan untuk menikmati keindahan alam suku Tengger. Pada awalnya, jagung adalah makanan pokok orang Tengger. Pada saat ini mereka kurang suka menanam jagung karena nilai ekonominya rendah dan menggantinya dengan sayur mayur yang nilai ekonominya tinggi. Meskipun begitu, sebagian lahan pertanian mereka masih ditanami jagung karena tidak semua orang Tengger mengganti makanan pokoknya dengan beras. Hanya saja, untuk memanen jagung, orang Tengger harus menunggu cukup lama, hampir satu tahun. Sampai sekarang nasi aron Tengger atau nasi jagung masih tercatat sebagai makanan tradisional dalam kuliner nusantara.Amey