Oleh: Juliyatin Putri Utami

Tidak mengherankan jika pada tanggal 21 April 2009, para perempuan berkebaya ria, berkreasi menunjukkan bakatnya, berorasi mengumandangkan hak dan keberadaannya. Hampir di setiap media diberitakan beberapa aksi yang berbau emansipasi dan persamaan gender. Seminar-seminar bertemakan perempuan bahkan tak jarang pula menjadi suatu topik diskusi di kalangan masyarakat. Begitulah suasana yang tak asing terlihat pada peringatan hari Kartini. Hari di mana perjuangan perempuan terhadap hak-haknya diperingati. Perjuangan seorang ibu teladan bangsa yang memiliki cita-cita luhur demi kemajuan kaumnya, yaitu perempuan.

Perempuan adalah sosok yang diidentikkan dengan karakteristik lembut, pengertian, dan air mata. Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah, perasa, dan sangat gampang terombang-ambing dalam sanubari perasaannya. Perempuan itu lembut tetapi kuat, perasa tetapi tegar, dan berair mata sebagai penanda segala kekecewaan, kesedihan, kebanggaan, dan kebahagiannya. Mungkin begitulah sekilas yang terpancang tentang makna perempuan. Tak jarang perempuan dimaki ketika salah dan dipuja ketika perannya terlihat. Namun, tak jarang pula hanya dipandang sebelah mata.

Menengok ke belakang sejenak pada era Kartini, akhir abad IX sampai awal abad XX, perempuan-perempuan negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diizinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria. Bahkan belum diizinkan menentukan jodoh/suami sendiri dan lain sebagainya.

Pada saat itu, Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita. Selain itu, selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan perempuan Belanda. Beberapa hal tersebut akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasaan kurang baik itu. Beliau pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan perempuan Indonesia. Langkah itu dicapainya melalui pendidikan. Warisan cita-cita luhurnya pun tak sungkan dia tuangkan dalam bukunya Van Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang telah banyak menginspirasikan kaum perempuan untuk terus melanjutkan perjuangannya.

Dengan upaya awal dari Kartini, perempuan di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak. Perempuan memperoleh pendidikan yang sama dengan lelaki. Tidak dibatasi sampai mana perempuan itu memperoleh pendidikan. Bahkan, kini tidak sedikit perempuan yang menjadi profesor. Persamaan hak perempuan juga diakui dari aspek politik. Hal ini terlihat dari peran perempuan yang terlihat menghiasi kursi calon legislatif. Banyak perempuan yang berprestasi dan mengisi posisi penting yang pada umumnya diisi oleh lelaki.

Perempuan dapat membuktikan bahwa keberadaannya sangat berpengaruh. Perempuan dapat berbuat sama seperti lelaki dan dapat memperoleh hak yang sama seperti apa yang diperoleh kaum lelaki. Persamaan gender, gerakan fenimis, atau pun emansipasi yang selama ini keluar dari mulut para perempuan menginginkan adanya suatu pengakuan. Para perempuan berharap bahwa kelemahan fisik mereka menjadi suatu hak untuk mendapat perlindungan. Kepekaan hati mereka menjadi hak untuk selalu dihargai.

Perjuangan perempuan belum berakhir. Di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang, baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian perempuan itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun, kesadaran yang telah lama ditanamkan kartini, kini telah memasuki masa pembinaan yang harus benar-benar dipupuk dan dipertahankan. Perempuan harus terus berjuang untuk melestarikan pundi-pundi keberadaannya. Memperjuangkan hak-haknya, agar tidak ditindas dan diperdaya. Perempuan harus membuktikan bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Tentunya dengan segudang prestasi dan peranan aktif di segala bidang.

Namun, tetaplah diingat, meskipun Kartini telah mencontohkan perjuangan di segala bidang bagi perempuan. Bukan berarti mengabaikan kewajibannya untuk tetap berperan sebagai sosok ibu yang patuh suami, mengatur rumah, dan merawat anaknya. Oleh karena itu, dalam konteks ini, perempuan haruslah tetap dalam koridor kodratnya. Ada saatnya di mana perempuan harus diperlakukan sama dengan lelaki. Ada saatnya di mana di satu sisi perempuanlah yang harus didahulukan dan lelakilah yang harus mengalah. Di dalam keadaan tertentu pula, lelakilah yang memang harus memegang peranan selama lelaki itu masih ada karena secara kodrati, lelaki adalah lelaki dan perempuan tetaplah perempuan.

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Biologi 2008 Universitas negeri Malang