Oleh: Grienny Nuradi Atmidha

Mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual membuat suara dan aspirasinya mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap arah kebijakan pemerintah. Tidak salah jika waktu rezim orde baru masih berkuasa, diterapkan peraturan yang mengebiri mahasiswa untuk berpikir kritis terhadap kondisi politik sosial kebangsaan dengan nama NKK/BKK. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Sejak 1978 itulah, ketika NKK/BKK diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di kantung-kantung himpunan jurusan dan fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam disiplin ilmunya masing-masing. Ikatan mahasiswa antarkampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada disiplin ilmunya. Misalnya, ada Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Ikatan  Pertanian Indonesia (ISMPI) dan sebagainya.
Sekarang setelah dua puluh tahun berlalu, ketika NKK/BKK sudah usang, apakah kita (mahasiswa UM) sudah melaksanakan tanggung jawab kita sebagai agen of social control yang berdiri di garda depan perjuangan rakyat/mahasiswa? Apakah kita tidak terbuai dengan nikmatnya menjadi akademisi yang buta akan keadaan sosial dan hanya mampu berkubang dengan teori? Apakah kita sekarang sudah tidak terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil yang terserak?
Kenyataannya, ormawa UM saat ini benar-benar masih terserak. Banyak dari kita yang terjebak dan disibukkan oleh pembahasan surat keputusan Ditjen DIKTI No. 26/DIKTI/Kep/2002 tentang dikotomi ranah kerja intra dan ekstrakampus yang tidak berujung. Sebuah perdebatan yang menyisakan sentimen kelompok, membutakan fikiran objektif, dan mengaburkan tugas ormawa yang sebenarnya. Mahasiswa ekstra dan netral (tidak ikut OMEK) saling menyingkirkan tanpa sadar bahwa mereka semua adalah mahasiswa UM.
Sebagai mahasiswa UM, kita terbiasa hidup dalam satu kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, sehingga gamang terhadap realitas kelianan (otherness), perbedaan, dan diversitas. Kita terbiasa dengan ketunggalan (ideologi, identitas, dan bendera), dan asing terhadap keserbaragaman. Kita terbiasa hidup dalam dunia biner dan dualisme: benar salah, kawan lawan, intraekstra, nasionalis, dan agamis. Setiap kita bernafsu untuk menjadi pusat kekuasaan, pusat perhatian, pusat kekuatan yang memandang kelompok lain sebagai kelompok pinggiran yang harus bertawaf pada kita. Kita diselimuti ego dan tak pernah mau berbagi. Kita hidup dalam pluralitas tapi tak mampu melakukan sikap pluralisme. Kita merasa nyaman membangun kekuasaan tunggal dan melupakan kekuatan bersama. kita dikendalikan oleh nafsu menjadikan kelompok kita sebuah orkestra ‘bedug’ besar yang menggema penuh kecongkakan. Kita sering lupa bahwa sebuah orkestra yang dibangun oleh alat-alat yang beraneka ragam akan menyajikan pertunjukan yang jauh lebih elegan. Kita sering lupa bahwa kita hidup bersama dengan orang lain. Konsep ‘kekuatan bersama’ yang menyebutkan bahwa himpunan kekuatan-kekuatan kecil akan lebih dahsyat dari pada ‘kekuatan tunggal terpusat’ inilah yang menyebabkan  BEM UM 2008 kepengurusannya sangat heterogen. Bagaimana dengan ormawa Jurusan atau Fakultas Anda?
Membangun Sinergisitas Elemen Mahasiswa
Bosan kita mendengar kalimat pemerintahan tanpa rakyat, peran ormawa (organisasi mahasiswa) yang absurd, bungkamnya mahasiswa, atau kalimat-kalimat lain yang senada. Yang jelas, carut marut wajah ormawa kita saat ini telah berada pada titik kulminasi yang akut. Kita masih berproses untuk terus mencari bentuk, visi, dan formula yang tepat dalam mengatasi kejumudan dalam berfikir dan kecocokan dalam gerak.
Luar biasa memang dinamika pergerakan mahasiswa kampus UM jika melihat lima kali pemilu raya mulai tahun 2003. Sebanyak lima kali itu pula ketua BEM dipegang oleh orang-orang yang memiliki ‘background’ dan sejarah aktivitas intra dan ekstra yang juga berbeda.  Namun perubahan-perubahan itu hanya sebatas pada ‘kekuatan pendobrak’ yang memiliki warna, kultur, dan target jangka pendek yang sama sekali lain. Kita belum mampu merumuskan visi jauh ke depan yang bisa dilaksanakan oleh pengurus selanjutnya. Pertanyaan besar di benak kami adalah kenapa dinamika pemilu raya sedikit korelasinya dengan bertambahnya pemikiran kritis mahasiswa? Mengapa pola berfikir mahasiswa masih terkotak-kotak dalam perdebatan mengenai ranah kerja intra dan ekstrakampus sehingga melupakan tugas utamanya sebagai penyambung lidah mahasiswa?
Jika penulis boleh menyimpulkan maka ada beberapa alasan mengapa hal di atas bisa terjadi. Pertama, paradigma dan alur berpikir mahasiswa aktivis ekstrakampus mereka tinggalkan di komisariat masing-masing. Kebiasaan untuk selalu menganalisis masalah dari berbagai sudut pandang dan menetapkan target panjang ke depan hampir tidak pernah dilakukan dalam aktivitas ormawa intra. Akibatnya, OPM hanya menjadi EO (event organizer) yang penuh kegiatan tetapi kosong makna. Kedua, pemahaman mahasiswa tentang makna politik kampus yang masih awam ketika memikirkan OMEK merupakan monster  serakah yang haus akan kekuasaan. Jika pada praktiknya hal tersebut benar, itu merupakan kelalaian yang pasti akan dicatat oleh mahasiswa hingga merugikan OMEK itu sendiri.
Tidak ada manusia yang sepenuhnya independen dan tidak memiliki keinginan. Semua memiliki kepentingan dan terikat oleh sistem tertentu. Pembedanya adalah seberapa besar kepentingan tersebut bisa terorganisir. Mahasiswa ekstra mempunyai kepentingan pribadi yang sesuai dengan kelompoknya yang terorganisir sedangkan mahasiswa nonekstra juga memiliki kepentingan pribadi tetapi tidak terorganisir dengan orang lain. Jadi, tidak adil ketika memaknai mahasiswa yang aktif di ekstra dan intra sekaligus merupakan malapetaka bagi ormawa UM. Sekarang ini, dibutuhkan  pemimpin yang bisa menempatkan diri; yang memprioritaskan kepentingan kampus di atas kepentingan kelompoknya; yang membawa cara berpikir kritis ekstra kampus tetapi tidak mencampur adukkan tujuannya.
Sudah saatnya kita sekarang untuk berubah. Mari kita hangatkan kampus kita hingga seluruh UM merasakan kenyamanan, perlindungan, dan harapan. Sehingga kompetisi yang terjadi di antara berbagai elemen tidak terjebak di wilayah perlombaan kwantitas kelompok. Kompetisi adalah sebuah keniscayaan. Mari kompetisi itu kita arahkan untuk berlomba-lomba pada kebajikan. Membangun ormawa intra hingga perannya benar-benar bisa membumi dan bermanfaat bagi seluruh mahasiswa. Mari kita tempatkan perdebatan tentang SK DIKTI itu di bawah kepentingan utama ormawa untuk mengusung aspirasi mahasiswa. Sinergisitas bukan  berarti menyatukan dua elemen yang berbeda untuk kemudian  membentuk kekuatan baru yang handal. Sinergisitas merupakan akumulasi dari aktivitas masing-masing elemen mahasiswa yang saling membangun. Itu semua bisa kita lakukan ketika kita benar-benar sadar bahwa kampus ini bukan hanya milik kita pribadi ataupun kelompok kita.

?Penulis adalah mantan Presma UM 2008