Oleh: Tri Wahyudi

Lima menit berlalu, kami masih terdiam. Aku tahu pasti jika Ayu, istriku sedang marah. Dia memang tidak mengucapkan kata-kata dengan nada yang keras. Namun, dari intonasi dan gaya bicaranya yang tidak biasa, aku bisa memahami kalau hatinya sedang tidak berkenan dengan perbuatanku. Enam bulan menikah telah membuatku paham dengan kebiasaannya. Ayu menghela nafas, tanda amarahnya telah berkurang. Kuberanikan diri untuk bicara,
”Sudah selesai, Dik?” tanyaku pelan. Dia menjawab dengan anggukan.
”Abang minta maaf, Abang tidak sengaja. Tadi malam Abang lembur mengerjakan tugas dari sekolah sehingga tadi sehabis shalat dluha Abang tertidur dan bangun ketika hujan sudah lebat, jadi tidak sempat menyelamatkan jemuran yang telah kamu cuci. Sekali lagi Abang minta maaf, biar nanti jemurannya Abang cuci kembali”. Mendengar penjelasanku amarah Ayu menjadi reda. Dia kemudian duduk mengambil posisi di hadapanku. Ini hari minggu, kami libur mengajar. Tadi setelah selesai mencuci pakaian, Ayu pergi belanja ke pasar.
Sejak menikah hingga saat ini, kami hidup dalam kesederhanaan. Rumah kami masih mengontrak, namun kami tetap bersyukur masih punya tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. Kami memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah tanpa melalui proses pacaran. Persamaan kami adalah kami anti pacaran. Waktu itu kami belum mendapat pekerjaan, hanya kepercayaan atas rezeki dari Allah lah yang membuat kami berani untuk menikah. Alhamdulillah, saat ini kami telah menjadi guru meski cuma guru swasta; aku di SMP sedang dia di Madrasah Aliyah. Kami sepakat untuk selalu bersama dalam berjuang menggapai cita-cita dalam segala keadaan. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku.
”Bang, Ayu boleh tanya?” suaranya memecah keheningan yang kembali terjadi sesaat.
”Ada apa Dik?” sahutku.
”Kenapa sih Abang tidak pernah marah sama Ayu? Ayu sendiri merasa kalau selama ini Ayu belum bisa menjadi istri yang baik, sering membuat Abang kecewa, sering marah-marah; tapi kenapa Abang selalu sabar dengan sikap Ayu yang seperti ini?”. Mendengar pertanyaan Ayu, aku terdiam. Aku jadi teringat sebuah kisah yang terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khottob ra. Saat itu ada seorang sahabat yang hendak melaporkan kelakuan istrinya yang kasar terhadapnya kepada Khalifah Umar. Dia ingin mendapatkan saran dari beliau dalam menghadapi istrinya. Lalu pergilah sahabat tersebut menuju rumah (benar rumah, bukan istana) Khalifah Umar. Ketika sampai di depan rumah Khalifah Umar dia berhenti. Sahabat itu mendengar dari luar jika Khalifah Umar sedang dimarahi oleh istri beliau, sedangkan beliau hanya diam. Sahabat itu lalu berfikir, ”Kalau Khalifah Umar saja diam saat dimarahi istri beliau, apa yang bisa disarankan beliau untukku?”. Akhirnya dia berniat pulang dan tidak jadi meminta pendapat beliau. Selang beberapa langkah, dia dipanggil oleh Khalifah Umar,
”Wahai Fulan, engkau telah sampai di depan rumahku, mengapa engkau hendak kembali lagi?”. Mendengar pangilan Khalifah Umar, sahabat tersebut menghampiri beliau dan berkata,
”Maafkan wahai ’Amirul Mukminin, tadi aku hendak melaporkan kelakuan istriku yang kasar terhadapku. Tapi ternyata kulihat engkau diam saja ketika dimarahi istrimu, jadi kufikir apa saran yang bisa kudapat darimu?” jawab sahabat.
”Kenapa aku diam saja ketika istriku marah padaku, itu karena aku menghormatinya. Aku mengalah dan membiarkannya memarahiku karena dia telah banyak membantuku. Dia yang mengurus aku dan rumahku, mencucikan baju untukku, membuatkan roti untukku, memasak untukku, dan pekerjaan lain; sementara semua itu tidak pernah kuperintahkan padanya. Jadi sudah sepantasnya aku memuliakannya.”. jelas Khalifah Umar. Sahabat itu akhirnya mengerti dan kembali kepada istrinya dengan hati yang tenang.
”Bang, kok diam?” suara Ayu membuyarkan ingatanku. Lama dia menunggu jawabanku.
”Oh iya, maaf. Bagi Abang, kamu adalah istri yang terbaik. Abang selama ini sabar dan akan selalu berusaha bersikap sabar atas sikapmu, karena Abang ingin memuliakanmu selama di dunia. Sebab jika kita berhasil mati dalam keadaan Islam, di akhirat Abang akan mendapatkan hadiah bidadari, itu artinya Abang akan memadumu meski kamu tetap jadi istriku yang utama dan menjadi ratu dari bidadariku. Maka dari itu selama masih di dunia, Abang ingin membuatmu merasa sempurna dengan semua cintaku. Dan, Abang tidak akan menduakanmu dengan menikahi wanita lain.” Mendengar penjelasanku, Ayu tertunduk. Pelan kudengar dia terisak, setelah itu dia menghambur ke arahku. Dia berlutut dihadapanku sambil mencium tanganku. Tangisnya meledak,
”Maafkan aku, Bang….. maafkan aku.” pintanya dalam isakan.
Tanpa terasa air matakupun meleleh. Aku hanya bisa mengangguk sambil membelai rambutnya yang halus.
”Aku ingin kamu jadi bidadariku, selamanya………”
***
?Penulis adalah alumni jurusan Biologi Tahun 2008