Oleh: Siti Jubaidah

Sundran, merupakan salah satu budaya di masyarakat Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep Madura. Sundran adalah membayar sejumlah uang tunai(selain mahar) untuk pernikahan atas permintaan mempelai perempuan kepada pihak laki-laki. Jumlahnya disesuaikan dengan harga barang yang ada di pasar, kalau harga barang naik, sundran ikut naik dan sebaliknya. Untuk saat ini rata-rata sekitar 7 juta. Uang sundran digunakan untuk resepsi pernikahan, sehingga pesta yang diadakan besar dan biasanya selama satu  minggu
Sundran ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang hijrah dari Sulawesi ke pulau Pagerungan besar. Meski berada di Sumenep tradisi masyarakat Sulawesi sangat berbeda dengan masyarakat Madura asli, bahasanya pun berbeda, masyarakat Sulawesi tidak menggunakan bahasa madura dalam komunikasi sehari-hari, melainkan menggunakan bahasa mandar dan bajo.
Tujuan dari adanya sundran ini adalah untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan keluarganya, karena semakin tinggi sundran yang dibayar oleh pihak laki-laki, semakin membanggakan keuarga perempuan dan dianggap memiliki derajat tinggi oleh masyarakat sekitar. Di samping itu, Sundran yang tinggi menunjukkan bahwa mempelai wanita dilamar dengan baik-baik, karena jika mereka kawin lari, sundran yang diberikan jumlahnya sedikit, maksimal sekitar satu juta. Di sisi lain, sebagian laki-laki menganggap bahwa dengan adanya sundran tersebut menunjukkan bahwa wanita bisa diperjual-belikan. Bagi pasangan yang akan menikah, dilakukan pertemuan antar kedua keluarga terlebih dahulu untuk menentukan nominal sundran. Setelah ada kesepakatan dari kedua belah pihak, lamaran dilaksanakan. Biasanya harga sundran tersebut tersebar di masyarakat sehingga menjadi patokan bagi pasangan yang lain untuk menikah. Fisik perempuan  bukanlah suatu patokan untuk menentukan harga sundran, tetapi yang menjadi patokan adalah sundran yang disepakati oleh pernikaan sebelumnya.
Sundran ini dilakukan untuk menunjukkan kesiapan pihak laki-laki untuk menikah, namun bagi masyarakat di luar Sulawesi yang menginginkan menikah dengan wanita dari masyarakat pagurungan besar, biasanya jika tidak mempunyai tekad kuat dan tidak mempunyai biaya yang cukup, dia akan membatalkan niatnya untuk menikah. Di antara kasus yang terjadi adalah  ada anak tunggal dari seorang pedagang besar, akan dilamar oleh laki-laki dari Kangean, namun karena sundran yang ditentukan oleh pihak perempuan sejumlah 10 juta, maka laki-laki tersebut mundur.
Bagaimana jika pihak laki-laki tidak mempunyai uang untuk sundran, padahal ia sudah sangat ingin menikah?. Hal yang  biasa dilakukan oleh mereka adalah dengan kawin lari. Kawin lari yang biasa terjadi adalah mempelai perempuan diajak ke rumah laki-laki, dan si perempuan tadi meminta pihak laki-laki untuk mengutus utusan kepada keluarga perempuan dan mengatakan  bahwa si perempuan meminta laki-laki tersebut untuk menikahinya, atau dengan cara perempuan datang ke rumah laki-laki tanpa sepengetahuan laki-laki dan keluarga si perempuan, kemudian ia mengatakan bahwa ia telah “dipegang-pegang” oleh laki-laki. Jika demikian laki-laki tersebut harus menikahinya, jadi meskipun sebenarnya ia tidak “dipegang-pegang” , keluarga laki-laki harus mempercayainya karena omongan perempuan biasanya dipercaya oleh masyarakat. Setelah itu jika laki-laki tersebut menikahinya, maka sundrannya bisa lebih murah.
Sundran murah juga bisa terjadi ketika ada pasangan yang diketahui oleh masyarakat berduaan di tempat yang sepi. Hal tersebut merupakan hal yang sangat tabu di masyrakat, jika diketahui akan dilaporkan maka mereka harus menikah meskipun si laki-laki sudah mempunyai istri, dan biasanya sundran yang diberikan sedikit, apalagi jika si perempuan hamil di luar nikah, sundran harus ada tetapi sangat murah, sekitar 500. 000 rupiah, dan sundran tersebut boleh dihutang.

?Penulis adalah mahasiswi jurusan Sastra Arab Universitas Negeri Malang(UM)