Oleh: Umar Kadafi

Judul di atas bukan bermaksud untuk mengingatkan pembaca pada kasus Syeh Puji beberapa waktu lalu. Di sini saya bermaksud memberikan sedikit penjelasan kepada para mahasiswa yang bingung menemukan jati diri. Di mana dia harus memilih antara organisasi atau studi sehingga pilihan ini memang sudah dipertimbangkan dengan matang. Hal ini dikarenakan keputusan tersebut akan memengaruhi corak kehidupannya di masyarakat kelak
Sudah menjadi wacaba publik bahwasanya kehidupan   kampus   selalu  mensyaratkan   dinamika   tersendiri   yang dalam perjalanan sejarahnya sering kali  mewarnai  perubahan sosial  politik suatu bangsa,   termasuk  Indonesia.  Dinamika kehidupan kampus di  negara ini telah mengalami pasang surut yang dinamis. Pergantian rezim atau pucuk kepemimpinan   negara   secara   umum   dimotori   oleh   keterlibatan   unsur kampus,   yakni   mahasiswa.  Simak   saja   sejarah   tergulingnya   Sukarno, Suharto, dan Gus Dur.
Namun, perjalanan organisasi kemahasiswaan lambat laun mulai bergeser dari khittahnya (arah perjuangan), jargon  agent of change, agent  of   social   control,  agent  of   change,  dan  iron  stock sudah tidak terdengar lagi, mereka sibuk dengan rutinitas kuliah yang demikian padat. Ditambah lagi pekerjaan tambahan yang harus dilakukan untuk membiayai hidup mereka masing-masing.
Penulis  tidak bermaksud mengkritik BLU atau BHP secara detail. Namun yang jelas, perubahan   status   ini   secara   tidak   langsung membawa kecenderungan  sendiri  yakni  orientasi  mahasiswa yang  cenderung  study oriented karena didorong oleh adanya kenaikan biaya pendidikan yang akan membebani.
Kejadian di atas menyebabkan perbedaan orientasi mahasiswa.  Ada yang memilih berorganisasi  dan ada yang memilih studi  saja. Banyak mahasiswa yang mengaku aktivis tulen yang ternyata kuliahnya amburadul atau bahkan ujung-ujungnya dikeluarkan (drop out) karena sering membolos.  Di sisi lain, banyak  juga  mahasiswa  dengan orientasi  hanya   kuliah  yang  tidak   acuh dengan   dunia   organisasi  atau   bahkan  apatis   dengan   keadaan   sosial   di sekitarnya.  Ketidakacuhan   sejumlah   aktivis   terhadap   kuliah   diantaranya disebabkan   oleh   kecenderungan   kampus   yang  menjadi  “menara   gading”, mengembangkan   ilmu   yang   kerap   kali  mengambil   jarak   dengan   realitas sosial atau kebutuhan masyarakat.  Sementara, mereka yang memilih hanya kuliah beranggapan bahwa kuliah saja sudah cukup menjamin keberhasilan karier  mereka   nanti.  Fenomena   ini  menghadirkan   dikotomi   antara   dunia akademik dengan dunia kemahasiswaan.
Meskipun fakta menunjukkan di universitas negeri rata-rata  mereka yang berprestasi di bidang akademik (kalau tidak di kuliah, di bidang penalaran) adalah berasal dari organisatoris yang tiap harinya aktif menjalankan fungsionaris organisasi. Tidak kalah hebatnya, rata-rata lulusan UM sukses karena melalui skill yang mereka dapatkan di organisasi, diantaranya: public speaking, birokrasi, manajerial, manajemen waktu, dan lain-lain.
Menurut pendapat saya, dikotomi   dunia   akademik  dengan  dunia   kemahasiswaan  diperkokoh dengan  dua   realitas.   Pertama,  kebijakan   universitas   menempatkan organisasi   kemahasiswaan  hanya   sebatas   kelengkapan   nonstruktural. Walaupun   bukan   faktor   determinan,   status   ini   memosisikan   kegiatan kemahasiswaan   sebagai   kegiatan   ekstrakurikuler   yang   sifatnya komplementer (pelengkap). Dengan kata lain, aktivitas keorganisasian hanya dijadikan   aktivitas   pelengkap   kuliah   atau   akademik.  Kedua,  ormawa  pun merasa sebagai  bagian  terpisah dari  dunia akademik.  Ormawa mengklaim dirinya sebagai wahana pengembangan potensi diri dan ajang aktualisasi diri untuk  menimba   ilmu  dan  pengalaman   yang   tidak  bisa   didapatkan  dunia akademik.  Dengan   sebilangan   jargon   yang   sering   digaung-gaungkan (independensi,  agent  of   social   control,  agent  of   change,  dan  iron  stock), terkadang,  aktivitas  ormawa   kurang  mendapat   perhatian   dari   pengambil kebijakan  kampus.   Terlebih lagi ada ormawa   sering  kali  menggelar   aktivitas  atau membuat program kerja yang tidak bersinergi dengan aktivitas akademik (visi dan misi kampus)
Kemudian muncul pertanyaan, apakah   mahasiswa   yang   orientasinya   hanya   studi/kuliah   bisa dikatakan sebagai orang yang benar-benar studi sementara mahasiswa yang orientasinya berorganisasi tidak dianggap sebagai orang yang studi? Apakah studi   hanya   dibatasi   dalam  lingkup   pembelajaran   di   ruang  kelas atau kuliah?
Apakah orang yang orientasinya ganda semisal kuliah dan berorganisasi bisa ditilik  sebagai  orang yang belum sepenuhnya melakukan  studi?  Lalu apa itu studi?
Selama  ini,  studi  atau belajar hanya dimaknai  sebagai  proses  formal dimana   di   dalamnya   berlangsung  proses   pemberian  materi   dari   seorang pengajar kepada anak ajar (baca: anak didik, karena universitas hanya bisa melangsungkan proses  pengajaran   daripada  proses  pendidikan).  Bahkan, proses penugasan tanpa dosen acap kali dianggap bukan studi, tidak belajar. Implikasinya,  orang yang berorganisasi  dianggap tidak studi. Aktivitas yang berlangsung di dunia organisasi pun dipandang tidak akademik/tidak ilmiah.
Apabila dicermati, tidak banyak aktivitas organisasi yang ditujukan untuk   mengasah   kemampuan   akademik   mahasiswa.   Sekalipun   ada, misalnya,  sering kali   tidak bersinergi  dengan  pemangku kebijakan kampus atau bahkan kurang mendapatkan respon dari  mahasiswa yang  lain.  Ironis memang. Padahal, kalau kita gali dari berbagai literatur pendidikan, studi/belajar atau pembelajaran sering diasosiasikan dengan longlife learning, learning by doing.   Bahkan,    agama Islam  mengamini   hal   ini.  Islam mewajibkan  setiap pengikutnya  (baik   laki-laki  maupun perempuan)  untuk menimba  ilmu dari  mulai  dilahirkan sampai  dikuburkan  tanpa memandang apakah seseorang mampu atau tidak mampu secara finansial.
Belajar yang hakiki  adalah proses bagaimana kita memahami  makna hidup dengan semua aspek kehidupannya.  Belajar  sejatinya bukan hanya dalam  rangka  membekali   anak   ajar   dengan   sejumlah   pengetahuan dan keterampilan yang akan diaplikasikan dalam dunia kerja  atau dunia usaha, melainkan harus dilihat sebagai upaya memahamkan kita sebagai manusia untuk sadar akan keberadaan kita, untuk apa kita hidup, dan mau ke mana setelah kehidupan ini.   Jika   dipahami   seperti   ini maka proses   belajar   tidak selalu  mensyaratkan adanya pertemuan dengan pengajar,  adanya  ruang kelas, dan hal-hal lain yang sifatnya formal. Belajar bisa berlangsung kapan saja dan di mana  saja.  Selama kita bisa mengambil sebentuk makna dari setiap episode kehidupan kita, maka kita sedang melakukan pembelajaran.
Dalam  konteks  ini,  organisasi  bisa dijadikan  sebagai   salah  satu alternatif untuk belajar, betulkah? Di   lihat  dari   fungsi,  organisasi  dibangun untuk memberikan wahana pengembangan potensi diri. Setiap anggota bergabung ke dalam organisasi dengan tujuan untuk mencari ajang aktualisasi diri, ajang penyaluran minat atau   bakat,   atau   sebilangan   tujuan   ‘mulia’   lainnya  kendati pun   nyata-nyatanya tidak sedikit orang yang mengikuti organisasi hanya untuk mengisi waktu luang, iseng,  atau hanya ikut-ikutan. Terlepas dari semua motivasi di atas,  organisasi adalah kumpulan manusia yang di dalamnya pasti terdapat interaksi,  dinamika atau bahkan konflik.  Anggotanya  akan berkomunikasi, bekerja   sama   untuk  mencapai   sebuah   tujuan   yang   disepakati,   layaknya sebuah masyarakat. Inilah alasan mengapa organisasi diklaim juga sebagai miniatur   masyarakat.  Oleh   karenanya,   tentu   saja,  akan  banyak   sekali pelajaran dan pengalaman yang bisa diperoleh dengan melibati organisasi.
Proses  belajar  akan berlangsung  di  dalamnya   selama  anggota   organisasi menyadari   proses   karena   pembelajaran   baru   berlangsung   ketika   timbul kesadaran pembelajar akan proses. Organisasi   memang   bukan   satu-satunya   alternatif   wahana pengembangan diri  karena masih ada alternatif   lain yang bisa membantu mahasiswa  mengembangkan   potensi   dirinya   semisal   dunia   usaha,   dunia kerja atau bahkan keluarga  (menikah saat  kuliah).  Akan  tetapi,  organisasi sebagai wadah yang menampung orang terutama organisasi kemahasiswaan nampaknya  bisa  memberikan  nilai   lebih.  Simak   saja   sebilangan   aktivitas ormawa yang  selama  ini  ada  (baik  intra ataupun ekstra kampus)—penuh dengan   pembelajaran   akan   perjuangan   nilai   idealis   atau   bahkan keterampilan praktis semisal  berinteraksi/berkomunikasi  baik  interpersonal maupun masal,  bersosialisasi,  memimpin  orang,  menggelar   kegiatan dan sebagainya  yang   pada   intinya   membelajarkan   anggotanya   bagaimana berurusan dengan orang  lain.  Keterampilan-keterampilan  inilah  yang akan kemudian menjadi  bekal berharga untuk terjun ke dalam masyarakat paska lulus.   Apa pun   bentuk   aktivitas   yang   nanti   dilakukan—bekerja   atau berwirausaha—keterampilan   tersebut   akan   sangat   dibutuhkan   karena sebagian besar aktivitas tetap berurusan dengan orang.
Dilihat dari perspektif lain, kita sebagai manusia dianugerahi dengan potensi   yang   luar   biasa.   Sadarkah   kita   bahwa   otak   sebagai   salah   satu anugerah   Allah  memiliki   kemampuan  menyimpan   dan  mengakses   data yang belum bisa dikalahkan oleh komputer  secanggih apa pun, seandainya otak ini difungsikan optimal niscaya mampu menghafal 90 juta jilid. Belum  lagi potensi atau bakat lain yang belum kita gali. Artinya, dengan potensi besar itu,  kita sebenarnya diciptakan untuk bisa mengemban peran ganda atau bahkan   multi.   Seorang   laki-laki,   misalnya,   bisa   memangku   peran   atau jabatan multi  sebagai  anak,  ayah,   lurah, direktur,  pemuka masyarakat, dan lain sebagainya.
Jelas sudah bahwa paradigma dikotomis tidak laku lagi.  Mahasiswa hari ini   dituntut   untuk   bisa  memegang   peran  multi   sebagai   insan   akademik, anggota  masyarakat,   agen   perubah   sosial,   selain  memadukan   orientasi akademik dengan organisasi.  Kuliah memang  tugas pokok mahasiswa  tetapi bukan   berarti   menjadi   satu-satunya   aktivitas   yang   harus   dilakukan. Berorganisasi   juga   memang   kebutuhan   mahasiswa   dalam   rangka menyalurkan   idealisme   tapi   bukan   berarti  menomorduakan   atau   bahkan meninggalkan   kuliah.   Sudah   saatnya   mahasiswa   bisa   ‘berpoligami’—mengkawinkan orientasi studi dengan organisasi, menjadi mahasiswa ber-IPK tinggi sekaligus menjadi aktivis sejati. Keren kan?
Timbul   pertanyaan,   apa   yang   harus   dilakukan   untuk   ‘berpoligami’?
Bang Eri salah satu motivator asal bandung memberikan beberapa tips buat pembaca.  Pertama,   evaluasi   diri   secara   mendalam.   Apa   kelebihan   dan kekurangan kita? Apa visi dan misi hidup kita? Ini wajib dilakukan agar kita tahu mana  area akademik  yang harus kita pertahankan dan mana  yang harus   ditingkatkan.  Kita  pun   bisa  memilah   organisasi  mana   yang   sesuai dengan potensi,  minat dan bakat kita  dan  juga di  divisi  atau bagian mana kita harus bergabung.   Jika  ini  dilakukan,  maka kita bisa mengatur prioritas aktivitas sesuai dengan kriteria mana yang penting dan mendesak. Alhasil, kita pun bisa sukses dalam “berpoligami”. InsyaAllah.  Kedua,  tingkatkan kemampuan diri  untuk mengemban amanah multi. Bukankah untuk  berpoligami,  kita harus  memiliki   kemampuan diri   secara fisik,   psikis,   materi,   dan   pemahaman  yang   lebih   dari   mereka   yang bermonogami?  Bukankah  untuk   bisa   memiliki   fasilitas   multi,   sebuah komputer   harus  memiliki  memori   RAM  dan   harddisk   sekaligus  processor tinggi? Dengan kata lain, kita harus meng-upgrade kapasitas diri kita untuk bisa  ‘mempoligami’  orientasi  studi  dengan organisasi.  Sibukkan diri  untuk terus   belajar  memaknai,  membaca   dan  meneliti,  menggali   dan   berbagi pengalaman   dari   dan   dengan   orang   lain,   dan   belajar   sambil   berbuat (learning by doing).
Ketiga,  organisasi   harus   bisa  melakukan   sinergi   dengan   pemangku kebijakan   kampus   agar   aktivitas   yang   diprogramkan   bisa   dijalankan   dan bahkan didukung secara optimal.  Sembari  secara  internal  berbenah untuk meninjau   ulang   aktivitas   atau   program   yang   tidak   bertemali   dengan pengembangan   diri   anggotanya   (mahasiswa)   termasuk   pengembangan akademik.  Dalam konteks  ormawa,   tidak salah  rupanya,  kalau penentuan struktur,  regulasi  dan program kerja  didasarkan salah satunya pada upaya pengembangan kemampuan akademik mahasiswa.
?Penulis adalah ketua BDM al Hikmah UM