Oleh:  Masbahur Roziqi

Tidak terasa kita telah memperingati kemerdekaan RI (Republik Indonesia) yang ke-64 pada tanggal 17 Agustus 2009. Umur 64 tahun sebagai sebuah bangsa dirasakan masih belum menunjukkan prospek signifikan dalam melaksanakan agenda pembangunan kerakyatan yang berbasis kesejahteraan. Bila dilihat melalui sudut pandang paling krusial seperti ekonomi dan pendidikan, Indonesia pun masih belum maksimal dalam perwujudan realitanya. Ironis bila dibayangkan dengan hamparan kekayaan alam yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke masih menunggu untuk digali. Kompleksitas masalah tersebut kerap mewarnai dinamika bangsa ini dalam mengarungi misi pengisian kemerdekaan sebagai amanat dari para pejuang kemerdekaan.
Menurut penulis, terdapat beberapa kendala destruktif yang meminimalisir hakikat perefleksian konstruktif peringatan kemerdekaan RI. Pertama, peringatan hari kemerdekaan RI seolah hanya menjadi ritual tahunan yang tidak memiliki makna historis dan hanya dilewatkan sebatas perayaan untuk kesenangan dalam wujud perlombaan dan kegiatan hiburan lainnya. Esensi peringatan proklamasi untuk merefleksikan perwujudan konstruktivisasi tindakan membangun bangsa tampak terdiskreditkan oleh gebyar lomba yang diklaim sebagai upaya memeriahkan kemerdekaan RI. Wujud praktis pelaksanaan amanat pejuang bangsa belum dapat meresap dalam setiap hati generasi penerus. Akibatnya, peringatan hari proklamasi terasa hambar dan tidak meninggalkan kesan sebagai tonggak awal bangsa ini menapaki kehidupan yang demokratis, adil, dan merdeka dari intervensi asing.
Kedua, ketidakberdayaan sosial yang mengakibatkan timbulnya berbagai kemiskinan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia. Para pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan RI berpuluh tahun silam tidak terbersit tentang kondisi mengenaskan sebagian rakyat Indonesia saat ini. Harapan tinggi mereka akan terwujudnya rakyat Indonesia merdeka yang makmur dan sejahtera sehingga mampu memaknai hasil jerih payah perjuangan seakan telah sirna dihempaskan realita. Secara eksplisit kondisi perekonomian yang mencekik sebagian besar masyarakat Indonesia Indonesia berandil besar menciptakan apatisme terhadap peringatan kemerdekaan RI. Para warga miskin akan lebih memilih memikirkan kebutuhan sehari-hari mereka agar tetap bisa bertahan hidup di tengah carut marut bangsa ini daripada harus susah payah mengenang kerja keras para pejuang kemerdekaan RI.
Ketiga, adanya anggapan bahwa kemerdekaan dalam arti sebenarnya masih belum didapatkan Indonesia. Bangsa Indonesia masih belum merdeka secara komprehensif di setiap lini kehidupan. Kemerdekaan sejati tidak didapatkan oleh bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang berbudaya tinggi ini karena masih kentalnya intervensi asing di berbagai bidang kehidupan. Ekonomi, sosial, politik, dan bidang lain masih dijajah oleh produk barat, meskipun hal tersebut dikemas dalam bentuk kerjasama bilateral, teransfer teknologi, modernisasi, dan segala dalih positif yang lain. Tidak dapat dipungkiri memang bangsa Indonesia harus bekerjasama dengan bangsa lain karena kita memang tidak tinggal sendirian dan kodrat untuk selalu membutuhkan bantuan bangsa lain. Namun, jika bangsa ini mindset dan segala kebijakannya sudah diintervensi pihak asing, pertanyaan besar yang akan muncul ialah ”dimana letak kemerdekaan dan kemandirian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur?” Terkait eksistensi kendala yang mendegradasi hakikat kemerdekaan RI, maka langkah taktis, cermat, dan strategis diperlukan untuk merevitalisasi ulang rasa kebanggaan memperingati kemerdekaan RI. Perasaan cinta kemerdekaan RI tidak akan timbul tanpa sebuah pendekatan solutif yang konstruktif dan positif.
Bila dikonkritkan, maka ada beberapa tawaran solutif terhadap degradasi rasa cinta peringatan kemerdekaan RI. Beberapa diantaranya adalah pertama, menanamkan semangat nasionalisme pada berbagai kalangan/lapisan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi/dewasa. Semangat nasionalisme ini tidak hanya boleh dikemas secara hiburan saja (lomba-lomba) karena implementasi tersebut terbukti tidak secara emosional berhasil mengingatkan generasi muda dan masyarakat terhadap esensi nasionalisme dalam kemerdekaan RI.
Kedua, sebuah langkah peminimalisiran kemiskinan dengna melakukan berbagai program inisiatif yang menyangkut peningkatan perekonomian rakyat. Setiap kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial selalu menjadi ukuran berhasil tidaknya pemberdayaan masyarakat miskin. Kekuasaan negara dalam menyelenggarakan perekonomian berbasis kerakyatan akan mendongkrak pemerataan kesejahteraan, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut memerlukan jangka waktu yang panjang. Kematangan konsep dalam tataran wacana dan aplikasi komitmen secara positif berkesinambungan dalam tataran praktis diharapkan dapat membawa ”kondusifitas situasi sosial”, sebuah kondisi positif dalam sebuah lingkungan yang masyarakatnya mampu mengaplikasikan perannya dalam berbagai lini kehidupan.
Ketiga, meningkatkan kemampuan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, merdeka, dan berdaulat. Satu kata yang terkesan biasa dan datar tetapi memiliki makna terdalam bila ditelaah secara implisit ekspositoris adalah ”kemampuan”. Kemampuan komprehensif dalam setiap lini kehidupan diperlukan sebagai langkah konkrit dalam melepaskan diri dari intervensi asing. Akhirnya diharapkan proklamasi dapat diperingati oleh semua warga Indonesia dengan penuh khidmat dan mampu berperan serta menjadikan semangat para pahlawan sebagai spirit perjuangan untuk menuju Indonesia baru yang lebih dinamis dan mandiri.

Penulis adalah wakil ketua HMJ bimbingan konseling dan psikologi angkatan 2007