Oleh: Sri Rahayu Lestari

Persepsi adalah suatu proses (psikologis) yang berlangsung pada diri kita sewaktu kita mengamati berbagai hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses ini menjadi “tahu” atau “mengerti” hal-hal yang kita hadapi, khususnya menyangkut orang yang ada disekitar kita. Sampai taraf tertentu bahkan kita “mampu menjelaskan” mengapa suatu tingkah laku atau peristiwa muncul, setidak-tidaknya menunjukkan pangkal penyebabnya. Namun demikian kesimpulan-kesimpulan yang kita tarik pada dasarnya bukanlah hasil penalaran logis ataupun pemikiran intuitif, melainkan bertolak dari asosiasi-asosiasi umumnya dengan hal-hal yang ada dalam benak kita sendiri. Proses ini berlangsung dengan sangat cepat dan tanpa kita sadari sepenuhnya. Apa yang kita sadari kemudian adalah bahwa kita telah membuat kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang hal-hal yang kita inderai.
Persepsi pada dasarnya adalah suatu proses memberi makna terhadap informasi sensoris yang kita terima melalui seleksi, organisasi dan interpretasi terhadap rangsangan-rangsangan mengenai hal-hal yang kita temui. Oleh karena itu persepsi kerja dinyatakan sebagai suatu proses suatu kesan (forming impresionis) atau membuat penilaian (making judgements). Adanya unsur interpretasi ini membuat persepsi kita, sedikit ataupun banyak mengandung muatan-muatan subyektif. Hal ini menyebabkan persepsi seseorang tentang sesuatu hal dapat berbeda dari persepsi orang lain ataupun tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya (bias).
Persepsi sosial  adalah sekedar penawaran yang dikenakan pada persepsi terhadap obyek-obyek yang memuat unsur-unsur sosial seperti, diri orang, sebuah kelompok, perilaku khas seseorang, peristiwa sosial, dan lain-lain (termasuk kita sendiri: self perception). Persepsi sosial jauh lebih rumit daripada persepsi benda-benda biasa. Hal ini terjadi tidak saja sekadar rangsangan-rangsangan tetapi seringkali lebih kompleks, seperti juga unsur mediasinya (misalnya: dengan orang lain), tetapi benyak melibatkan proses kontruksi maknanya.
Apabila kita persepsikan biasanya adalah hal-hal yang terdapat di balik dari hal-hal yang tampil secara nyata di hadapan kita (misalnya: watak, emosi, sikap dan juga motif/kehendak). Selain itu sikap yang kita refleksikan adakalanya juga merupakan hal yang abstrak seperti, modalnya, paham, loyalitas atau pun kepemimpinan seseorang. Hal-hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi antarpribadi dan/atau kekeliruan persepsi menjadi lebih besar daripada persepsi benda-benda biasa, yang jelas bersifat lebih konkret.
Banyak faktor yang memengaruhi persepsi kita. Secara umum, kesemua faktor yang ada dapat dipilah-pilah kedalam tiga kategori variabel, yaitu:
a.karakteristik dari rangsangan-rangsangan;
b.situasi yang melatari kehadiran obyek       persepsi itu sendiri; dan
c.diri kita sendiri sebagai subyek yang mengalami proses ini.
Ketiga variabel ini saling berinteraksi dalam menentukan hasil persepsi kita. Variabel terakhir merupakan variabel yang mempunyai peranan terbesar, terutama sekali karena di dalam diri kita banyak yang ‘membingkai’ pengamatan kita menimbulkan personal bias. Kita memiliki pengalaman-pengalaman, kebutuhan-kebutuhan, sikap-sikap atau pun asumsi nilai-nilai tersendiri yang mewarnai persepsi kita. Kita cenderung untuk “melihat” sebagaimana yang ingin kita lihat, “mendengar” sebagaimana yang ingin kita dengar, dan seterusnya.
Masalah yang ada pada diri kita ialah bahwa kita cenderung percaya atau berpegang pada hasil persepsi kita sendiri. Dalam hubungan antarmanusia kecenderungan ini semata-mata dapat menimbulkan kesalahpahaman yang dapat menjadi sumber timbulnya pertikaian, hubungan menjadi renggang, penentuan tindakan yang dipilih dalam menghadapi situasi yang ada menjadi keliru atau kurang tepat dan lain sebagainya.
Untuk menghindari timbulnya hal-hal tersebut, tentunya kita perlu meningkatkan ketajaman persepsi kita atau setidaknya-tidaknya “menyamakan” persepsi kita dengan orang lain dengan siapa kita berhubungan. Banyak cara ditempuh untuk mewujudkan hal ini, seperti antara lain menunda penarikan kesimpulan, menghimpun informasi sebanyak-banyaknya, berupaya melakukan check-recheck realitas, memperkaya perbendaharaan pengetahuan kita. Dengan suatu pengenalan terhadap bias-bias pribadi merupakan suatu condition simequanon. Pengembangan kepekaan, sebagai ketrampilan sosial, perlu diupayakan. Hal ini antara lain dapat dicapai melalui pengasahan kemampuan kita untuk berempati dan meningkatkan kemampuan kita dalam mendudukkan diri dalam posisi orang lain (i.e. role-talking). Dengan perkataan lain meninjau segala sesuatunya dari sudut orang lain juga.

?Penulis adalah dosen jurusan Biologi UM sekaligus penyunting majalah Komunikasi