Oleh F. Rochmawati

“Beberapa tahun yang lalu,  tujuh anak ditangkap polisi karena mengakses situs porno. Terkait kasus ini, sampai sekarang warnet yang bersangkutan ditutup…,” ujar bapak dosen ketika saya kuliah.
Satu harapan saya saat itu adalah ingin bertemu dengan anak-anak tersebut.
Pada suatu hari, ketika kami PPL di salah satu SD Negeri di Kota Malang, beberapa siswa kelas enam menghampiri saya di kantor. Awalnya kami bercerita tentang kegiatan sehari-hari hingga akhirnya mereka menceritakan pengalaman unik yang mereka alami. Salah satu cerita mereka membuat saya terkejut. Ternyata, dua dari mereka adalah bagian dari tujuh anak yang pernah ditangkap karena melihat situs yang tidak terpuji itu.

Selain cerita di atas, tentu ada banyak cerita yang tidak jauh berbeda yang bisa kita lihat di televisi dan yang kita dengar dari radio. Misalnya, kisah seorang anak kelas lima SD yang membakar diri hingga tewas setelah dimarahi orang tuanya dan laki-laki yang mencoba bunuh diri karena orang tuanya tidak punya uang untuk membeli perlengkapan sekolah.
Data di atas adalah sekelumit dari  banyaknya reduksi kualitas yang dialami oleh anak-anak Indonesia. Data ini memerlihatkan kondisi anak-anak yang semakin egois, emosional, malas, cepat putus asa, tidak empati, konsumtif, dan hedonis.
Mengapa hal itu  terjadi? Jika dilacak, salah satu penyebabnya adalah sistem dan model pendidikan yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia masih mengedepankan segi kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional dan spiritual. Hal ini harus segera diatasi bila bangsa ini ingin memiliki generasi penerus yang eksis di kancah global. Era globalisasi membutuhkan sumber daya manusia yang terdiri atas tiga potensi utama, yaitu, pertama, dari segi rasionalitas, logika, dan kemampuan penalaran. Kedua,  dari segi budaya, rasa, dan estetika. Ketiga, dari segi ketaqwaan dan keimanan serta moral dan etika.
Untuk mewujudkan hal itu, seharusnya pendidikan di Indonesia tidak hanya mengedepankan aspek kecerdasan intelektual karena ternyata Intelegence Quotient (IQ) hanya menyumbang 6%, maksimal 20% dari kesuksesan (Goleman, 2003). Kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh Emotional Quotient (EQ). EQ mampu memberikan sumbangan efektif sebesar 80% yang meliputi kecakapan sosial, empati, dan motivasi.
Kecerdasan Spiritual (SQ) merupakan kecerdasan yang menempatkan perilaku dan hidup kita secara profesional dalam konteks lingkup yang lebih luas. Kecerdasan spiritual dapat dijadikan landasan yang diperlukan untuk memungsikan kecerdasan intelektual dan emosional. Kecerdasan spiritual berkaitan dengan kemampuan  untuk memahami makna hidup, mengembangkan, dan mengoptimalkan kemampuan manusia dalam mengungkap misteri dirinya. Hidup yang lebih bermakna senantiasa melingkupi orang-orang yang mengembangkan kemampuan SQ-nya secara optimal (Kathani, 2007).
Pendidikan perlu diorientasikan pada peningkatan kualitas pendidikan dengan mengedepankan nilai-nilai emosional dan spiritual yang sinergis dengan nilai-nilai intelektual. Hal ini diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan bermakna bagi dirinya, lingkungan, bangsa, negara, dan agama. Kita harus sadar bahwa pendidikan yang dibangun melalui pendekatan kecerdasan emosional, spiritual, dan intelektual akan  melahirkan produk manusia unggul yang dapat mengedepankan nilai keadilan, kemuliaan, kejujuran, kebenaran, dan nilai-nilai yang sesuai dengan anugerah hati yang diberikan Tuhan (God Spot). Oleh karena itu, alangkah baiknya bila pendidikan di Indonesia berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Penulis adalah Mahasiswi S-1 PGSD Universitas Negeri Malang dan Guru SDN Sumberpucung 07