Oleh: Fauziah R.

Ide dan konsep yang brilian, akan menjadi mandul jika tidak diwujudkan secara nyata. Seperti kutipan dalam The Washington Post , “jika ada pelajaran selama setengah abad yang lalu mengenai perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu”. Maka dari itu pengembangan SDM mutlak perlu, agar dapat memanfaatan SDA yang ada dan tidak hanya tergantung pada keahlian atau pengetahuan SDM asing.


Sebenarnya di Universitas Negeri Malang ada banyak karya yang telah disumbangkan oleh mahasiswa. Salah satunya karya dari Program Kreativititas Mahasiswa (PKM) yang diadakan DIKTI. Namun kebanyakan hasil ide mahasiswa hanya mentok hingga taraf kompetisi, lalu kemudian dibiarkan terbengkalai tanpa ada tindak lanjut. Tindak lanjut yang dimaksud salah satunya adalah pematenan. Alasannya bisa variatif, mulai dari rumitnnya birokrasi dalam pematenan, masalah dana, tidak ada support dari kampus, dan tidak ada waktu karena kesibukan kuliah. Fenomena-fenomena tersebut tentunya sangat urgen untuk dicermati dan ditindaklanjuti.
Meskipun memang ada beberapa yang menjuarai even nasional yang sudah dipatenkan. Misalnya, penunjuk waktu untuk orang buta. Namun, contoh ini kasus kasuistik belaka. Oleh karena itu akan lebih baik jika ide-ide dan produk-produk yang sudah dihasilkan mahasiswa dalam berbagai ajang kompetisi PKM dan semacamnya ditindaklanjuti secara serius dan dipatenkan.
Masalah pematenan ini tentu hal yang sangat penting. Bagaimanapun, dunia intelektual pun memiliki sisi gelap, dimana hal-hal seperti pencurian ide dan penjiplakan sangat mungkin terjadi. Sayangnya kesadaran masyarakat kita untuk mematenkan hasil karyanya bisa dikatakan masih sangat kurang, bahkan walaupun sang kreator berasal dari golongan mahasiswa sekalipun. Biaya pengajuan hak paten yang sangat mahal dan berbelitnya proses birokrasi membuat mahasiswa enggan untuk mematenkan hasil produk mereka.
Padahal, sebenarnya Dikti sendiri sudah menyiapkan kuota bagi  produk mahasiswa yang layak paten untuk mendapat bantuan dalam pengajuan hak paten. Sayang karena kurang sosialisasi dan kurangnya animo dari mahasiswa sendiri, jumlah kuota itu  tak pernah benar-benar terpenuhi secara maksimal. Sebagian kecil universitas di Indonesia sudah ada yang memiliki lembaga khusus yang mengurusi masalah HKI.
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri menekankan sistem HKI dimaksudkan untuk “contribute to the promotion of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conductive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations”.
Tahun 2001 WIPO telah menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia. Setiap tahun, negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia menyelenggarakan beragam kegiatan dalam rangka memeriahkan Hari HKI Sedunia
Sejak ditandatanganinya persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah satu negara yang telah sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut dengan seluruh lampirannya melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Modal intellectual capital akan menjadi lebih penting dan strategis fungsinya, bila dibandingkan dengan physical capital, yang sebelumnya menjadi sumber utama proses produk barang-barang konsumsi untuk kesejahteraan umat manusia.
Selain itu Undang-undang RI No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK Pasal 13 (3) menyebutkan: “Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya”.
Berdasarkan latar belakang itu, UM hendaknya memiliki lembaga yang bisa mengoordinir pengajuan hak paten produk-produk para mahasiswa, sosialisasi mekanisme dan urgensi HKI, dokumentasi atau pendataan produk-produk yang sudah dipatenkan, hingga menawarkannya pada berbagai perusahaan untuk memasarkan produk-produk tersebut hingga dapat meraih khalayak yang lebih luas.
Lembaga ini bertanggungjawab langsung kepada Lembaga HKI Pusat yang bertugas membantu menyalurkan karya-karya mahasiswa di suatu universitas pada DIKTI untuk mendapatkan hak paten.
Mengingat peristiwa penngambilalihan dua bisnis besar di Bangkok (rumah sakit terbaik di Thailand dan perusahaan telekomunikasi milik Perdana Menteri Thailand Taksin Shinawatra) serta rencana pembelian salah satu operator pelabuhan terbesar di dunia, P&O). tiga proyek tersebut dibeli oleh Temasek Holding, satu-satunya holding company yang membawahkan seluruh bisnis milik BUMN Singapura. Di negeri kecil itu, seluruh perusahaan milik negara di bawah satu komando, Temasek Holding.
Di bawah Temasek inilah, baru ada grup-grup baru besar. Misalnya, grup telekomunikasi (yang saat ini di Indonesia, antara lain, sudah menjadi pemilik saham dari Indosat dan Telkomsel), grup keuangan dan perbankan (di Indonesia saat ini memiliki saham Bank Danamon dan Bank NISP), grup angkutan udara (memiliki Bandara Changi, Singapore Airlines, dan banyak lagi), grup konstruksi, grup ritel, grup transportasi kelautan (memiliki Pelabuhan Singapura, PSA), serta banyak grup lagi.
Karena di bawah satu komando, Temasek menjadi sangat fleksibel dalam pergerakan ekspansinya. Kini model Temasek ini di-copy oleh pemerintah Malaysia dengan membentuk Khazanah Holdings. Semua perusahaan negara di Malaysia berada dalam komando Khazanah Holdings.
UM sebenarnya bisa belajar dari pengalaman ini, khususnya masalah HKI. Diharapkan kemudian dengan adanya lembaga HKI yang bisa mewakili semua mahasiswa se-Indonesia, mahasiswa akan lebih termotivasi lagi untuk berkarya dan berkreatifitas.

?    Penulis adalah Mahasiswi S-1 PGSD Universitas Negeri Malang dan Divisi Kaderisasi FLP Malang