Ilustrasi: salah satu bentuk kontruksi bangunan

Oleh Bije Putri Sylvana

Berbicara masalah bangunan (khususnya  rumah) sangatlah bermacam-macam. Apalagi  keberadaan teknologi semakin membumi dengan pesat. Dewasa ini banyak bangunan yang menjiplak konstruksi-konstruksi maupun gaya desain dari  Barat tanpa pengetahuan tentang maksud dan asal mulanya. Hal ini  mengakibatkan tersingkirnya konsep bangunan  nenek moyang kita dahulu yang sebenarnya lebih bijaksana dalam mengkonstruksi rumah.
Arsitek-arsitek nenek moyang kita jauh lebih ahli dalam menilai kekuatan konstruksi bahan (kayu, bambu ijuk, dll). Bahan tersebut cukup fleksibel. Bahan itu tidak roboh pada saat gempa bumi atau angin kencang, tetapi hanya melenggang saja.


Masyarakat Jawa kuno yang membuat konstruksi saka guru dan balok-balok tumpuk pada rumah atau pendopo joglo Jawa kuno sering dikritik oleh teksnisi yang mengaku medern. Mereka dianggap menghamburkan kayu dan pemborosan biaya. Maka pada suatu saat, lembaga resmi pemerintah membangun pendopo joglo dengan konstruksi ringan dan ekonomis. Satu kali terkena angin kencang dan ambruklah pendopo itu. Nyatanya, arsitek-arsitek nenek moyang kita jauh lebih ahli dalam menilai kekuatan tekanan dan penghisapan angin terhadap rumah.
Pengaruh alam memang sangat menentukan bentuk dan konstruksi yang akan kita pakai dalam membangun rumah. Negara kita termasuk daerah iklim tropis yang bercurah hujan banyak dan memiliki kelembapan yang sangat tinggi. Apalagi kelembapan bangunan sangat merugikan (karena menunjang tumbuhnya jamur dan organisme pembusukan kayu), pengaratan logam, pengembangan dan pengeriputan panel dan bahan pelat yang tidak kedap air (seperti karton, hard board, lapisan cat tembok), rontoknya plesteran, dan sebagainya. Dari segi keindahan, cat-cat dan bahan-bahan berubah warna serba tidak teratur.
Kelembapan dalam unsur bangunan datang dari perembesan air hujan dari luar ke dalam dinding dan atap. Penyusupan air hujan masuk melalui sela-sela pintu, jendela, dan tempat-tempat sambungan lain yang tidak rapat dan yang dihisap oleh daya kapiler itu sendiri.
Oleh karena itu, para nenek moyang kita  atau saudara-saudara kita yang masih  tradisional lebih memilih membangun rumah panggung. Lantai rumah dibuat tinggi di atas permukaan tanah. Keamanan dan kesehatan terhadap kelembapan dapat terjamin dengan baik.
Sebenarnya, rumah panggung pada masa lalu memunyai banyak fungsi, di antaranya untuk melindungi penghuni rumah dari gangguan binatang liar dan air laut pasang. Sayangnya, saat ini rumah panggung sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat karena bentuknya dinilai ketinggalan zaman. Padahal, di banyak tempat di tanah air kita yang serba lembab ini, rumah panggung merupakan solusi yang paling baik.
Maka tidak berlebihan bila kita memuji arsitektur pribumi kita yang memakai bahan-bahan yang sekarang sering dianggap bermutu rendah, tetapi justru memenuhi permintaan arsitektur di daerah tropis. Seperti misalnya pemakaian dinding bambu (bilik) dan ijuk. Rumbai-rumbai ilalang atau daun kelapa juga termasuk bahan yang baik dari segi penyerapan panas. Oleh karena itu, rumah-rumah pribumi biasanya sejuk di siang hari dan hangat di malam hari. Berkat anyaman bilik-bilik yang tidak rapat, ventilasi angin bisa berjalan dengan baik tetapi terkendali. Lain halnya dengan bangunan-bangunan ala Barat yanga banyak kekurangannya.
Bahan seperti bambu, ijuk, sirap kayu ulu, rumbai, dan bahan oraganik lainnya memang tidak tahan zaman, tetapi mudah dan murah didapat dan mudah penggunaannya. Sebenarnya, bukan bahan tersebut yang mesti kita singkirkan, tetapi teknik konstruksinya yang harus diperbaiki, karena tidak ada bahan bangunan satu pun yang tidak baik walaupun hanya bambu dan tanah liat. Harga yang tinggi dan sifat fisik yang bermutu tinggi bukanlah sebuah jaminan. Dengan sistem dan peralatan modern seperti saat ini, bahan-bahan organik itulah yang mesti kita berdayakan (misalnya dengan pengawetan).

Penulis adalah mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Bangunan 2009