Oleh Mohammad Faisal

K      ita bisa pintar menulis dan membaca karena siapa?
Itulah sedikit syair lagu yang kita dengarkan pada peringatan Hardiknas selain “Himne Guru”. Sungguh ironis bila kita belajar menulis dari seorang guru yang kurang pengalaman menulis. Bagaimana mungkin seorang murid diminta untuk bisa menulis jika gurunya saja juga kesulitan menulis? Apakah cara seperti ini masih eksis dan sering terjadi di lingkungan sekolah? Jika ada, kita harus introspeksi diri, terutama para guru. Melalui peertanyaan tersebut, masihkah guru mengatakan malas untuk menulis atau mengambinghitamkan kesejahteraannya sebagai alasan menunda menulis?


Ada beberapa strategi menulis, salah satunya  yang telah kita ketahui adalah ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi). Namun, mengapa masih sedikit guru yang menulis meski mereka tahu strateginya dan mempunyai niat? Menurut Muhammad Zen (2008), niat saja tidak cukup. Keinginan yang kuat juga harus tertanam dalam hati seorang guru. Segera memulai adalah langkah awal memerkuat niat menulis. Sebagaimana dituturkan oleh Horace (2004:17)  dalam buku Langitkan Dirimu! ia mengatakan, ”Seseorang yang memulai sesuatu telah melakukan setengah dari upaya itu sendiri.”
Sebagai teladan bagi murid-murid, seorang guru harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menulis. Dari pengalaman Bapak Zen, minimal satu hari kita harus menulis satu halaman satu folio. Selain itu, beliau menegaskan bahwa seorang penulis tidak mutlak membutuhkan keahlian/ bakat khusus. Dengan niat baik dan tekad bulat untuk bermanfaat bagi orang lain, seseorang yang bukan dari Jurusan Bahasa-pun bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Contohnya adalah Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi.
Sebelum memulai dan menerapkan strategi menulis yang diketahui, kita sebagai guru harus membasmi delapan racun yang menghalangi. Racun-racun tersebut, pertama, saya tidak mungkin. Kedua, bagaimana kalau. Ketiga, wajar, dia kan…. Keempat, nanti saja setelah…. Kelima, saya belum layak. Keenam, silau melihat hasil. Ketujuh, tidak sabar. Kedelapan, minder. Racun pertama, “saya tidak mungkin” adalah suatu pernyataan yang keluar dari orang yang pesimis. Cara membasminya adalah tidak menyerah terlebih dahulu sebelum mencoba menulis. Racun kedua, “bagaimana kalau” adalah perwujudan dari sikap manusia yang berburuk sangka. Cara membasminya adalah dengan melakukan apa yang kita bisa hari ini. Sebagaimana Mario Teguh berprinsip, ”Masa depan kita tergantung pada apa yang kita lakukan sekarang”.Dengan kata lain, hasil yang didapat manusia untuk hari esok akan dapat terlihat dari usaha manusia sekarang (pada saat itu). Racun ketiga, “wajar, dia kan….” Tiga kata tersebut adalah hasil dari sikap manusia yang hanya melihat sekilas kemampuan/bakat seseorang, bukan dari proses/usaha keras seseorang dalam mencapai apa yang diinginkan. Cara membasminya adalah kita harus berusaha sekeras mungkin untuk menambal faktor bakat/kemampuan kita yang biasa-biasa saja. Racun keempat, “nanti saja setelah…” Perasaan seperti itu muncul ketika kita merasa bahwa umur kita masih panjang dan merasa harus menjadi manusia sempurna. Cara membasminya adalah jadikan alasan kematian dan slogan “Tidak ada manusia yang sempurna” sebagai pemicu kuat untuk keluar dari perasaan menunda-nunda. Sebagai tambahan, kita harus menciptakan suasana kepepet dalam menulis. Racun kelima, “saya belum layak”. Perasaan negatif ini mirip dengan racun pertama. Cara membasminya adalah dengan men-settle pikiran kita agar belajar memulai. Memulai sesuatu akan lebih mudah selama kita yakin mampu dan mau untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik. Racun keenam, “silau melihat hasil”. Jenis racun ini disebabkan kita tidak tahu masa lalu dan suka duka penulis yang sudah terkenal. Cara membasminya adalah dengan memerbanyak bacaan biografi penulis terkenal. Racun ketujuh yaitu “tidak sabar”. Cara membasminya adalah kita harus menerapkan konsep “jangan selingkuh”. Dengan kata lain, ketika menulis kita harus memfokuskan ide pertama yang muncul, bukan ide kedua, ketiga, atau keempat. Setelah ide pertama selesai dikembangkan, maka kita bisa beralih pada ide selanjutnya. Terakhir, racun kedelapan, “minder” atau bahasa kerennya nggak percaya diri. Cara membasminya adalah dengan menyakini bahwa menulis plus membaca adalah mandat atau bakat yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir. (Jonru, 2010) .
Semoga dengan mengenal strategi menulis, delapan racun yang menghalangi dapat kita basmi. Memulai membaca dan menulis akan menjadikan kita seorang guru yang berbeda dalam lima tahun ke depan.

Penulis adalah mahasiswa PPS UM