Oleh Yusuf Hanafi

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap praktik nikah siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Dalam RUU yang telah sampai di meja Sekretariat Negara itu, nikah siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal tiga bulan dan denda lima juta rupiah. Tidak hanya itu, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara siri. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya akan dikenai sanksi pidana satu tahun penjara. Pegawai KUA yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda  enam juta rupiah dan kurungan penjara satu tahun.


Perlu ditambahkan di sini, sementara ini ada sebagian orang yang berasumsi bahwa mereka yang melakukan nikah siri, maka suami-istri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka istri atau anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya, demikian pula sebaliknya.
Terlebih dahulu penulis perlu mendefinisikan nikah siri itu sendiri. Pasalnya, nikah siri itu sering diartikan secara beragam oleh masyarakat. Pertama, nikah siri itu didefinisikan sebagai pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia karena pihak wali perempuan tidak merestui. Atau, karena mereka yang melakukan nikah siri itu menganggap absah pernikahan tanpa wali karena ingin memuaskan nafsu birahi belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan dan norma agama. Kedua, nikah siri itu diartikan sebagai pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil. Ada yang karena tidak mampu membayar administrasi pencatatan. Ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain sebagainya. Ketiga, nikah siri merupakan pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu nikah siri atau karena pertimbangan kompleks lainnya yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya itu.
Mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali, sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Adapun fakta nikah siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat, tapi tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, maka ada dua persoalan yang harus dikaji secara berbeda, yakni, pertama, hukum pernikahannya, kedua, hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan sipil negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiatan apalagi kriminal.  Sebab, pernikahannya itu, sekali lagi, telah  memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT. Rukun-rukun pernikahan yang dimaksud itu adalah adanya wali, dua orang saksi, dan ijab-qabul. Jika tiga hal tersebut telah terpenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat, walaupun tidak dicatatkan di lembaga pencatatan sipil.
Adapun berkaitan dengan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah satu materi yang dianggap absah sebagai bukti legal adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Hanya saja perlu pula dicatat di sini, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti legal. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti legal. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian lisan, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut juga absah dan harus diakui sebagai alat bukti legal. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil.
Kedua, Nabi SAW sendiri melakukan pernikahan, tapi kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa beliau melakukan pencatatan atas pernikahannya itu atau beliau mewajibkan para sahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka—walaupun perintah untuk mencatat aktivitas muamalah telah disebutkan di dalam Al-Quran.
Ketiga, jika nikah siri dilakukan karena faktor biaya, maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh memidanakan dan menjatuhkan sanksi penyimpangan (mukhalafah) kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya karena ketidakmampuannya. Sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Terlepas dari itu semua, pada dasarnya Nabi SAW telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy (resepsi pernikahan) .
Atas dasar itulah, mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara tetap relevan demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami-isteri dan masyarakat, dan untuk mencegah adanya fitnah.

Penulis   adalah dosen  Sastra Arab dan peneliti  di Universitas Negeri Malang. Saat ini, ia menempuh Program Doktor Tafsir-Hadits di PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya