Oleh Fauziah Rachmawati

Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultural. Sampai saat ini, tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik  tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen, tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung serta saling memengaruhi satu sama lain. Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu. Hal ini  merupakan modal sosial bagi terbentuknya suatu hubungan antar etnik dan antar budaya yang sehat, sejahtera, dan maju.


Adanya kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural, baik dari aspek suku, ras, maupun status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, ras, etnik, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Seperti pada 18 Februari 2001 di Sampit terjadi kerusuhan antar etnis karena warga merasa diperlakukan tidak adil oleh pendatang. Enam orang tewas, dua belas rumah terbakar, dan puluhan ternak dibantai. Menyusul, pada 2 April 2001 di Pangkalan Bun dan Kumai terjadi perusakan dan pembakaran rumah milik etnis Madura, 45 ribu warga Madura dievakuasi (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2001).
Dalam buku Pendidikan Berbasis Realitas Sosial tercatat bahwa pendidikan harus mampu menciptakan harmonisasi sosial dalam sebuah kehidupan masyarakat yang beragam secara kultur. Sebab, pendidikan bukanlah menara gading yang harus menjauhi hiruk-pikuk kehidupan sosial. Apalagi di Indonesia  rentan terjadi konflik.
Untuk itu,l dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia, terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin Islam, tidak ada perbedaan etnik, ras, dan lain sebagainya dalam pendidikan. Semua manusia adalah sama. Yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan ini dan itu, tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, bukan saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut. Hal ini dapat diimplementasikan, baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

Penulis adalah alumni UM, guru SDIT
As-Salam