Oleh F. X. Domini B. B. Hera

Pernahkah Anda melihat atau mendengar sebuah grup gamelan untuk 24 pemain? Pernahkah Anda melihat atau mendengar musisi tradisional dari dalam dan luar negeri berkolaborasi untuk sebuah konser?
Senin, 19 Juli 2010, penulis berkesempatan menyaksikan Konser Gamelan Big Band: Kyai Fatahillah (Bandung-Indonesia) Meets Ensemble Gending (Utrecht-Belanda) di Erasmus Huis, Kompleks Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Kuningan, Jakarta. Sering terdengar tepuk tangan yang meriah dan standing ovation dari para penonton untuk sajian simfoni nan memikat hati tersebut. Takjub penulis dibuatnya. Bukan hanya karena komposisi-komposisi baru yang disajikan dan pertama kalinya dipertunjukkan di Indonesia, melainkan keseluruhannya merupakan sebuah kerja sama interkultural yang menyatukan musik gamelan kontemporer terbaik dari Indonesia dan Belanda.
Di balik kesuksesan konser tersebut, terdiam penulis merenung. Ada aktor intelektual yang memegang vitalnya konser berlangsung. Dialah sang Konduktor. Empat jempol penulis berikan untuk kreativitas kedua Konduktor, Iwan Gunawan dan Jurrien Sligter yang mampu memadukan sekian banyak perbedaan di antara mereka dalam konser bersama tersebut. Dimulai dari perbedaan kultural negara mereka berasal, langgam permainan masing-masing, tingkat kesulitan alat-alat musik gamelan, hingga emosionalitas setiap musisi untuk penampilan mereka. Tujuannya satu, yakni kolaborasi apik.

Simfoni Bernama Organisasi
Dari ilustrasi konser kolaborasi gamelan tersebut, penulis belajar bagaimana tantangan dan nikmatnya mengatur, mengarahkan, dan membimbing sekian banyak orang dalam satu tujuan yang diwadahi dalam sebuah organisasi. Dalam organisasi, setiap individu akan belajar beradaptasi terhadap setiap individu lainnya. Kesadaran individu (egoisme dan egosentrisme) mau tak mau harus direduksi menjadi kesadaran kolektif yang menghasilkan kekompakan.
Sejak awal, penulis menyadari bahwa setiap kepala memiliki ukuran ketombe yang berbeda panjang, tinggi, dan lebarnya. Demikian dengan setiap kepala tentu memiliki pemikiran yang berbeda. Dalam organisasi, seorang pemimpin–sebagai manajer–dituntut untuk dapat mengakomodasi setiap perbedaan pendapat, menjadikan kelemahan sebagai kekuatan, dan mengubah masalah menjadi potensi positif. Sekilas berat memang terasa, tapi tergantung sejauh mana perspektif setiap pemimpin maupun para anggota melihat fenomena ini. Hal yang sulit diubah untuk menjadi mudah, berat menjadi ringan. Inilah tantangan yang dapat dinikmati setiap organisasi.

Problematika Hidup Berorganisasi
Adapun penyakit klasik dalam organisasi ialah munculnya mayoritas dan minoritas, aktif dan pasifnya anggota, lebih banyak “pembicara” dibandingkan “pendengar”, dan dominasi pimpinan (diktator-otoriter) yang berujung perpecahanĀ  hingga kehancuran organisasi tersebut. Dalam perspektif etika organiasi, benang merah dari sekian problematika di atas ialah pengaruh egoisme dan egosentrisme individu maupun kelompok yang mengancam kepentingan umum. Hidup dalam organisasi memang sulit karena harus bisa saling mengalah untuk menghargai pendapat orang lain dengan tidak membesarkan egonya sendiri. Sebab, sepandai-pandai seorang pemimpin menggiring pendapat mayoritas, belum tentu benar, tetapi bisa diarahkan pada titik temu yang sama saat terjadi masalah (musyawarah untuk mufakat).
Jika alam memiliki SDA, maka organisasi memiliki SDM yang terus dapat memerbarui energinya. Mengatur organisasi ibarat mengolah potensi SDM yang beragam. Salah satu indikator baik dari organisasi yang sukses ialah mampu melakukan terobosan maupun inovasi dalam program kerjanya. Celakanya, masih banyak dijumpai organisasi, di mana setiap pergantian pengurus menjelma menjadi “rezim foto copy bin plagiat”, yakni pengurus tiap periode masa bakti membuat proker yang sama dari tahun ke tahun seperti pengurus-pengurus terdahulu tanpa ada variasi yang baru dan berbeda setiap tahunnya. Memahami tradisi proker sebuah organisasi memang penting, tapi patut diingat jangan menyikapi tradisi secara tradisional. Pada dasarnya, menyusun dan mengemas proker membutuhkan pengalaman dan perhitungan yang cermat. Belum ditambah dengan perluasan jaringan dan studi banding pada institusi sejenis di luar universitas ini.
Studi banding diperlukan agar organisasi dan segenap jajaran pengurusnya tidak terjebak dalam paradigma “bagai katak yang megaloman dalam tempurung mini” dalam arti merasa telah menjadi yang terbaik tanpa melakukan koreksi dan evaluasi. Namun, sayangnya, masih banyak organisasi yang belum mengoptimalkan studi banding secara proporsional. Di lapangan, “studi banding” hanyalah judul dari kamuflase ngelencer, yakni rekreasi ataupun berpesiar.

Amanat Kemandirian Organisasi
Di tengah gempuran globalisasi; kepicikan perasaan kedaerahan (etno-nasionalisme); budaya konsumerisme hedonistik; dan ideologi-ideologi totaliter, konsep Trisakti Bung Karno pada era dewasa ini masih relevan untuk dijalani. Penulis menghimbau pentingnya dalam manajemen organisasi manapun, khususnya organisasi mahasiswa intrakampus untuk berdikari dalam ekonomi guna menghindari defisit dana dan mengikis habis mentalitas organisasi “manja dana” pada universitas. Berdaulat dalam bidang politik untuk menghindari intervensi politis manapun supaya terwujud independensi organisasi yang profesional. Berkepribadian dalam bidang budaya untuk memberi ciri khas, karakter, dan langgam pada organisasi yang digeluti untuk membedakan dengan organisasi yang lain. Sebab, setiap organisasi memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masingĀ  untuk menuju tujuan yang sama. Akhirnya, manajemen organisasi yang kredibel, profesional, dan visioner dengan program jangka panjang dan jangka pendek, merupakan kebutuhan yang mutlak dan mendesak dalam era kompetisi global bersama bangsa-bangsa di dunia ini. Inilah era di mana prestasi dan industri kreatif menjadi pemenang di setiap pertandingan, baik dalam maupun luar negeri.

Penulis adalah mahasiswa Sejarah, Ketua BEM FIS, juara I Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2010 kategori opini.