oleh Royyan Julian

Pada dasarnya, definisi politik adalah usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara etimologi, kata ‘politik’ berasal dari bahasal Yunani, yakni polis yang berarti ‘kota’. Dalam pengertian yang lebih modern, politik bisa dipahami sebagai “segala aktivitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya terkandung unsur kekuasaan untuk membuat aturan hukum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan” (Salim dalam Ridlwan, 2009). Sedangkan ‘politik Islam’ bisa didefinisikan sebagai penetrasi nilai-nilai Islam ke dalam aktivitas perpolitikan untuk menjalankan roda pemerintahan. Dengan kata lain, politik Islam sebenarnya adalah esensi atau substansi Islam yang dihadapkan pada sebuah kekuasaan negara untuk membuahkan aktivitas politik yang pada akhirnya dapat mewujudkan cita-cita Islam. Perpolitikan yang berbasis Islam ini tentu saja tidak hanya diharapkan berkutat pada organ-organ pemerintahan dan aktivitasnya, melainkan diharapkan dapat berimbas pada sektor-sektor lain, semisal sektor ekonomi, budaya, sosial, dan lain sebagainya. Bila berbicara masalah Islam, tidak lengkap rasanya bilamana tidak menyinggung soal Al Quran yang merupakan landasan primer Islam. Dalam Al Quran tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai tata cara praktis politik karena Al Quran bukanlah kitab yang sibuk dengan bentuk, melainkan hanya menyediakan nilai-nilai yang sifatnya substansial. Al Quran tidak akan membahas masalah bentuk negara, sistem pemerintahan, atau apa pun yang menyangkut sistem atau strategi praktis. Islam hanya menyediakan seperangkat moral yang bisa dikolaborasikan dengan formula apa pun.
Beberapa alasan menurut Ridlwan (2009: 267) tentang persoalan tersebut, antara lain, pertama, Al Quran pada prinsipnya adalah petunjuk etis bagi manusia dan bukan sebuah kitab disiplin politik. Kedua, institusi politik yang harus menyesuaikan diri sesuai dengan iklim yang setiap saat bisa berubah memang sebuah keniscayaan yang tak dapat dicegah.
Aktivitas politik Islam dapat dikatakan berhasil bilamana prinsip-prinsip Islam yang terkandung di dalamnya benar-benar terimplementasikan dalam kehidupan praktisnya. Prinsip-prinsip itu antara lain keadilan, egalitarianisme, dan persatuan. Apa pun bentuk negara dan sistem perintahannya, sekali lagi tidak jadi masalah jika prinsip-prinsip itu dapat dirasakan kehadirannya.
Mengenai politik Islam ini, umat muslim memiliki pandangan yang beragam. Secara garis besar, keberagaman itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga pandangan. Pertama, kelompok yang dikenal dengan sebutan Islam Politik. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islam diterapkan secara formal ke dalam undang-undang negara yang menjadi pedoman kehidupan komunal masyarakat. Ringkasnya, pandangan ini menginginkan ‘kitab fikih’ menjadi landasan konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, kelompok moderat yang berpandangan bahwa relasi antara Islam dan politik hanya bersifat komplementer. Bentuk negara dan sistem pemerintahan merupakan alat untuk menjalankan cita-cita Islam. Jadi, pandangan ini menyatakan bahwa bentuk negara boleh bermacam-macam tetapi nilai Islam adalah kekuatan yang melatarbelakanginya.
Ketiga, kelompok sekuler yang sama sekali memisahkan antara Islam dan politik. Mereka menganggap bahwa agama (Islam) merupakan dimensi privat sedangkan politik adalah ranah publik. Ridlwan memberikan tiga alasan yang dipedomani kelompok ini. (1) masalah politik adalah kebetulan sejarah, bukan masalah akidah. Dengan memiliki pijakan demikian, maka Islam dan politik harus berpisah agar terhindar dari manipulasi agama yang hanya dijadikan kepentingan tertentu. (2) Islam bersifat universal dan partikular. Urusan politik bukan merupakan kewajiban agama. (3) Jihad fi sabilillah yang merupakan pijakan kelompok konservatif dipandang sebagai sebentuk degradasi citra Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Adanya varian pandangan mengenai politik Islam dikalangan umat Islam itu sendiri disebabkan oleh penafsiran yang beragam dan fleksibel terhadap teks-teks agama (baca: Al Quran dan hadist).  Setiap kelompok bebas menginterpretasikan teks-teks itu dengan pijakan yang dimiliki masing-masing.
Dewasa ini, isu tentang khilafah dalam Islam semakin hangat dibicarakan. Sebuah kelompok konservatif membangun jejaring di seluruh dunia membuat agenda kolosal agar umat Islam di seluruh dunia membangun pemerintahan yang integratif di bawah pimpinan seorang khalifah sebagaimana masa Islam dahulu. Mereka menganggap bahwa dengan membangkitkan sistem kekhilafahan dari kubur, maka umat Islam di seluruh dunia akan mengalami kemajuan peradaban sebagaimana dahulu. Mereka berpikir, sistem Islam—yang masih berupa cita-cita itu—lebih manjur ketimbang sistem Barat yang kafir seperti demokrasi.
Semua orang tahu bahwa sebuah organ tentu saja mutlak harus memiliki seorang imam. Imam di sini tidak berarti sempit seperti apa yang mereka duga. Imam di sini bisa berupa presiden, direktur, raja, CEO, sultan, atau pun khalifah. Meskipun tidak ada dalil tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin, hukum sosial pun tetap akan mengangkat seorang pemimpin karena hal ini adalah sebuah keniscayaan.
Sekali lagi, tidak ada bentuk yang baku mengenai politik di dalam Islam. Perkara politik dan pengangkatan seorang pemimpin mutlak adalah kerja keras nalar manusia (ijtihad). Sistem khilafah merupakan satu di antara sekian banyak sistem yang menjadi alternatif pemerintahan. Apakah dengan ditegakkannya khilafah Islam lantas umat Islam akan semaju dahulu? Khilafah Islam hanya cocok bila diterapkan pada saat itu, bukan untuk saat ini.
Sistem khilafah/kedinastian yang dipakai umat Islam pasca-empat sahabat adalah sistem yang mereka adopsi dari imperium Romawi dan Persia. Sistem seperti ini tidak dikenal pada masyarakat Arab sebelumnya karena prinsip yang mereka pegang adalah egalitarianisme. Oleh karena itu, tidaklah tepat bila sistem khilafah diterapkan untuk saat ini.
Adanya doktrin bai’at seorang muslim kepada imamnya tidak memiliki makna yang sempit. Bai’at adalah sumpah kesetiaan (Abdallah, 2007) seorang muslim kepada pemimpinnya. Dalam konteks saat ini, bai’at bisa berupa pencontrengan gambar bila pemilu tiba. Jadi, sebenarnya tidak ada arti spesifik pada sistem bai’at.
Akhirnya, semua sistem politik cocok dalam Islam. Islam tidak menentukan bentuk tertentu dalam mengatur masyarakat. Islam dahulu mengalami perkembangan karena nilai-nilai Islam pada saat itu sudah melakukan negosiasi dengan bentuk yang paling cocok diterapkan pada saat itu. Untuk saat ini, nilai-nilai Islam harus melakukan negosiasi dengan bentuk yang paling cocok dan memungkinkan sebagaimana sistem demokrasi. Wallahua’lam.

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia