Oleh Maya Rosa Nanda

Penghujung Oktober tahun ini sudah jelas bukan akhir bulan yang indah untuk dikenang bagi Indonesia. Ibu Pertiwi kembali menangis.  Gunung yang telah terkenal kegagahanya, Gunung Merapi yang terletak di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman DI Yogyakarta  kembali menunjukan aksinya setelah beberapa tahun tertidur sejak 2006 lalu. Pada tahun 2006 silam, dikabarkan bahwa Gunung Merapi akan meleteus. Hal ini diperkuat oleh pihak terkait  dan tanda alam yang sangat mudah terlihat, yaitu keberadaan awan panas yang lebih dikenal oleh masyarakat lokal sebagai wedhus gembel.  Namun, hal yang telah diramalakan oleh berbagai pihak dengan bukti-bukti ilmiah tersebut tidak terjadi.
Keberuntungan negara ini pada tahun 2006 nampaknya

hanya sebagai bencana yang tertunda. Senin, 25 oktober 2010 gunung berjenis stratovolcano (bentuknya tinggi mengerucut) yang dapat mengeluarkan lahar panas kental dengan ketinggian 2.968 meter yang daerahnya melingkupi Klaten, Boyolali,  Magelang (Jawa Tengah) dan Sleman (DI Yogyakarta) ini mulai menampakan aktivitasnya lagi yang lebih berbahaya dari pada tahun 2006. Kronologi terjadinya peristiwa ini, menurut Harian Surya (27/10/10)  dimulai pada Senin saat  gunung teraktif di dunia ini mengeluarkan hujan abu tipis pada siang hari. Kemudian esoknya hujan abu mulai mengguyur wilayah selatan seperti Turgo dan Kinaherejo.  Setelah itu, dilanjutkan dengan keluaranya  wedhus gembel  yang menewaskan dua bocah  berumur tiga bulan dan dua tahun.  Wedhus gembel yang bernama ilmiah pyroclastik density flow ini adalah gas yang juga disertai batu, bersuhu 1000 derajat celcius.
Seharusnya, tanda-tanda tersebut merupakan alasan yang kuat untuk semua warga yang tinggal di sekitar gunung tersebut untuk segera mengevakuasi diri, tapi tidak bagi warga Kinahrejo. Nampaknya prestasi juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan, yang sukses membuktikan bahwa letusan Gunung Merapi pada tahun 2006 yang tidak terjadi amat memengaruhi keyakinan warga, bahwa mereka akan baik-baik saja tinggal di daerah tersebut selama Mbah Marijan belum mengungsi. Padahal, para pihak yang terkait, yaitu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Jogjakarta telah memberi gambaran yang jelas akan aktivitas wedhus gembel yang kecepatanya dapat mencapai 200 km/jam dan dampak yang mungkin dapat ditimbulakanya. Ditambah lagi fakta tentang tiga belas warga  dari Dukuh Kinahrejo dibawa ke RS Panti Nugroho Palem Selatan karena menderita luka bakar hebat, bahkan tetangga dari Mbah Marijan yang saat itu enggan meninggalkan rumah mereka yang bernama Pujo dan Walijan masing-masing mengalami luka bakar 75% dan 90%. Fakta lain yang tidak kalah mencengangkan yang dilaporkan oleh tribunnews.com tentang dua tim SAR yang berangkat ke Kinahrejo untuk menjemput Mbah Marijan. Namun, setibanya di sana mereka  menemukan sepuluh orang terkapar lemas yang diduga mengalami luka bakar karena awan panas. Sementara itu, rumah Mbah Marijan telah dipenuhi oleh abu vulkanik dan potongan-potongan kayu.
Bencana serupa gunung berapi yang meletus ini memang tidak bisa dikatakan bahwa hal ini terjadi diakibatkan karena kesalahan manusia, tetapi murni karena kejadian alam. Namun, tidak berarti kita hanya bisa pasrah akan apa yang akan terjadi. Kita sebagai mahluk berakal yang dibekali oleh ilmu pengetahuan tentu saja dapat memprediksi tentang apa yang akan terjadi sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan terburuk yang dapat menimpa kita. Belajar akan pengalaman memang sangat dianjurkan. Namun, bukan berarti pengalaman tersebut selalu kita jadikan patokan dan tolok ukur akan semua hal. Keyakinan akan suatu hal yang tidak bersifat ilmiah (kecuali keyakinan pada agama) sebaiknya kita hindari. Pertimbangan yang berlandaskan logika, perlu dijadikan prioritas. Hal yang terjadi pada warga Kinahrejo tersebut  dapat dicegah jika warga lebih mengedepankankan logika dan bersedia meninggalkan rumah mereka. Menurut penulis, kita harus lebih memercayai pihak-pihak terkait yang berkompeten di bidangnya. Semua ini dilakukan demi keselamatan kita. Memercayai hal-hal yang kurang bisa dipertanggungjawabkan dan memertaruhkan nyawa kita sendiri  merupakan perbuatan yang kurang bijak. Terlepas dari semua itu, kita tahu bahwa sebagian besar masyarakat kita masih mempercayai hal itu.

Penulis adalah mahasiswa Sastra Jerman angkatan 2009,  juara III Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi  2010 kategori opini.