Oleh Wandah Wibawanto

Google sebagai mesin pencari terpopuler di dunia maya mencatat lebih dari 2,7 milyar pencarian setiap bulannya. Facebook diakses lebih dari 8,9 juta pengguna yang aktif. 150 juta panggilan telepon terjadi setiap detik. 40 exabyte (40 terabyte) halaman baru dirilis melalui internet pada tahun 2009 dan berkembang dua kali lebih banyak setiap tahunnya dan angka penjualan laptop yang fantastis yaitu 47 juta unit  pada tahun 2009 merupakan beberapa indikasi yang menunjukan bahwa saat ini kita berada pada sebuah era yang dikendalikan oleh lalu lintas informasi.  Sebuah era ketika posisi manusia berada di antara milyaran data-data yang terhubung dalam sebuah sistem jaringan elektronik. Era yang menuntut manusia untuk selalu meng-up date informasi untuk memertahankan eksistensi atau keberadaannya dalam sebuah komunitas.
Dalam era informasi, terdapat empat isu etika, yang meliputi privacy, accuracy, property dan accessibility. Privacy atau privasi merupakan informasi individu yang memiliki akses terbatas. Keberadaaan jejaring sosial semacam facebook dan friendster, blog, serta microblog seperti twitter menjadikan transaksi informasi berlangsung dengan sangat cepat dan meliputi area yang tidak terbatas. Pada akhirnya, batas-batas privasi menjadi sedikit kabur, karena mudahnya akses informasi tersebut. Sebuah hal yang seharusnya orang lain tidak boleh mengetahuinya menjadi mudah tersebar dalam hitungan detik. Kebocoran privasi menjadikan hal-hal yang bersifat rahasia menjadi rahasia umum dan bahan perbincangan, baik di dunia riil maupun di dunia maya.  Sebagai kalangan edukatif, kita dituntut dapat memosisikan diri ketika menggunakan produk-produk teknologi seperti situs jejaring, blog, atau mikrobloging. Pastikan bahwa informasi yang kita berikan dapat dipertanggungjawabkan, tidak melanggar hak-hak orang lain, dan tidak berisi sesuatu yang menimbulkan perdebatan.
Isu kedua adalah accuracy atau akurasi. Karena setiap individu dapat menampilkan segala informasi melalui jaringan elektronik (web, media interaktif, media televisi, dan sebagainya), hal tersebut menyebabkan  keakuratan, ketepatan, dan keautentikan data patut dipertanyakan. Sebagai contoh seorang mahasiswa dapat dengan mudah mengatakan bahwa sumber artikel yang diperolehnya berasal dari sebuah situs A, padahal sebenarnya situs A mengutip artikel tersebut dari situs B dan seterusnya. Ketepatan informasi data yang ditampilkan oleh mahasiswa tersebut menjadi dipertanyakan. Sebagai seorang mahasiswa, sering kali kita mendapati dosen yang melarang kita untuk mengutip informasi-informasi ilmiah yang berasal dari website. Tentunya kita akan beranggapan bahwa dosen tersebut terlalu kuno, tidak mengikuti perkembangan zaman atau memang gaptek. Akan tetapi, bila kita lihat dari isu akurasi tersebut, kemungkinan besar dosen tersebut bermaksud menghindari ketidakakuratan data. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah semua informasi dari website selalu diragukan keakuratannya? Tentu saja tidak. Banyak informasi-informasi yang teruji keakuratannya di sebuah situs website. Poin penting ketika kita hendak menggunakan informasi dari sebuah website adalah  kita harus memastikan asal-usul informasi tersebut, adakah referensi-referensi yang berasal dari sumber yang terpercaya dan pastikan data tersebut up to date.
Property atau hak milik menjadi hal yang sangat sensitif ketika dibawa ke media digital. Dunia maya sangat rentan ketika menangani kekayaan intelektual (intelectual property). Seseorang dapat dengan mudah mengklaim sebuah produk kekayaan intelektual orang lain sebagai hasil ciptaannya disebabkan lemahnya proteksi informasi.  Sebagai seorang mahasiswa, ketika mendapatkan tugas dengan mudah, kita ketik kata kunci pada mesin pencari, kemudian puluhan bahkan ribuan hasil akan muncul. Lalu kita mengambil secara utuh hasil pemikiran orang lain untuk memenuhi tugas tersebut (sering disebut dengan istilah copas), kemudian kita mengklaim bahwa pemikiran tersebut adalah hasil pemikiran sendiri. Maka di sinilah letak kelemahan proteksi informasi. Tidak hanya sampai di situ, lemahnya proteksi akan properti di dunia maya juga sering disalahgunakan oleh beberapa orang untuk membuat identitas palsu, pencurian identitas, dan perusakan citra identitas. Di sebuah situs jejaring sosial, tidak jarang seseorang karena ingin menunjukan eksistensinya kepada orang lain, mereka menyalahgunakan informasi dengan menampilkan informasi yang kurang tepat atau kurang penting keberadaannya, memergunakan tanda-tanda rekayasa sampai dengan memalsukan semua informasi yang ada. Pada dasarnya, eksistensi seseorang tidak ditentukan dengan seberapa sering seseorang tersebut meng-up date statusnya, akan tetapi eksistensi seseorang ditentukan oleh sumbangan-sumbangannya yang berupa informasi-informasi terpercaya atau hasil pemikirannya yang membawa perubahan ke arah positif.
Accessibility dapat diartikan sebagai seberapa mudah sebuah informasi diakses atau didapatkan oleh pengguna. Di era informasi, arus data sangat cepat sehingga akses dari masing-masing informasi hampir tidak dibatasi oleh jarak dan waktu. Ketika sebuah informasi, baik informasi yang bermuatan positif maupun negatif dapat dengan mudah diakses di mana pun dan kapan pun. Maka, pengaruh yang ditimbulkan oleh informasi tersebut hampir tidak dapat terbendung.
Lalu, bagaimanakah kita bersikap terhadap permasalah tersebut? Apakah kita harus keluar dari era informasi?
Setiap teknologi selalu membawa perubahan ke arah positif dan negatif. Era informasi sebagai akibat dari perkembangan teknologi tentu saja membawa kedua perubahan tersebut. Ketika dihadapkan pada dua hal, pilihan tentu saja dikembalikan kepada masing-masing individu. Penghargaan atas pemikiran-pemikiran orang lain, pemahaman atas privasi sebuah data, penyampaian informasi yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan, pemahaman atas informasi yang bermuatan positif dan informasi yang bermuatan negatif, serta kemampuan untuk mengendalikan diri ke arah positif merupakan kunci untuk sukses di era informasi.
Penulis adalah alumni DKV UM 2001, mahasiswa Magister Desain ITB 2010.