Oleh Ayu Sri Darmastuti

Yang terlintas pertama dalam benak adalah sebuah petualangan. Sejak pertama tempat tinggal Putri Rengganis ini muncul dari sela-sela gumpalan awan, yang terjadi pada tubuhku begitu rumit. Antara andrenalin, pacu jantung, dan keringat dingin di tanganku. Tertantang, penasaran, dan rasa takut. Berlima, dan aku satu-satunya perempuan. Secara fisik aku ingin mengimbangi temanku yang lain dan secara mental aku tak ingin terlalu menyusahkan. Aku tahu batas kemampuanku dibanding empat temanku yang bertubuh tinggi dan besar, fisik petualang hutan. Pegunungan Hyang Argopuro adalah jalur pendakian terpanjang se-Jawa.
Melalui Gunung Gendeng yang terjal,  kami memicingkan mata memandang terjalnya tanah menjulang, tanah itu perlahan runtuh. Menjatuhkan gumpalan tanah berlumut dan debu batu. Perjalanan semula menanjak perlahan  melalui hutan kopi, hutan waru, dan hutan damar, kemudian semakin menjulang. Terjal, terlilit tumbuhan tanah, terjebak dalam serasah, dan melompati bonggol batang  kayu mati.
Aku sadar ini adalah belantara. Karena di setiap jejakan kakiku dapat kurasakan kegelisahan kehidupan. Lantai hutan berupa serasah dedaunan yang jatuh melindungi bermacam hewan tanah dalam kelembapan. Tiap suara kepakan sayap Rangkong yang tiba-tiba datang atau langkah-langkah babi hutan di balik rimbun pohon membuat kami waspada. Rasa penasaran membuatku ingin melihat mereka lebih dekat tapi naluriku berkata, “Cukup, jangan mendekat lebih jauh.” Mereka tak akan mengganggu kami bila mereka juga tidak merasa terganggu oleh kami.
Matahari semakin menyingsing ke barat dan kami memutuskan untuk menghabiskan sisa malam pertama di Hutan Damar. Masih terlihat dari Kamp kami lampu-lampu rumah Desa Bremi Probolinggo. Romantis dan eksotis. Suara tawa penduduk desa sayup-sayup terbawa angin.  Mereka tak mendengar suara kami dari sini. Hal ini karena angin gunung malam yang mengalir dari lembah-lembah ke puncaknya.
Tikungan membingungkan antara jalan setapak buatan pemburu atau jalan buruannya berhasil kami lewati dengan bermodal peta, kompas, dan GPS. Kekecewaan sempat melanda kelompok kami karena menemukan jalan setapak pendaki yang penuh sampah. Namun, kami tetap melanjutkan perjalanan, terkadang melalui jalan itu kami bertemu dengan pendaki lain. Perlahan pula tikungan-tikungan jalan hutan mengantar kami pada genangan air Danau Taman Hidup yang megah. Malam kembali merayapi perjalanan kami.
Dua hari kamp Taman Hidup harus kami lakukan karena  harus menerapkan sistem pendakian himalayan yang lebih efisien bila kami ingin melakukan ekspedisi. Menyisakan dua orang penjaga kamp dan tiga orang sebagai tim advance. Tim advance adalah mereka yang terlebih dahulu menjajaki dan memersiapkan medan yang akan ditempuh oleh seluruh anggota kelompok. Untuk memermudah ruang gerak, mereka hanya membawa perbekalan secukupnya agar tidak terlampau berat. Mereka harus kembali ke kamp ketika hari menjelang sore dan melaporkan kondisi pada seluruh anggota tim.
Hari keempat dimulai dengan packing perbekalan dalam tas ransel carier kami yang semua masih terlihat oversize. Perbekalan tiga hari telah kami habiskan, tapi rasa berat yang menarik pundak dan punggung masih ada. Meninggalkan Danau Taman Hidup beserta cahaya pagi yang mengintip malu-malu melewati kabut menuju remang-remang hutan lumut. Kembali memasuki petualangan. Meninggalkan jalan setapak jalur pendakian ke dalam hutan.
Aroma lembab, basah, dan siluet cahaya yang  masuk melewati celah-celah akar gantung dan kanopi pohon kami rasakan seperti suatu pengalaman magis. Argopuro yang masuk dalam rantai Pegunungan Hyang memang surga pendakian karena dipenuhi oleh air. Menawarkan keeksotisan alami dan cerita-cerita mistis tentang putri Kerajaan Majapahit cantik. Diasingkan dalam pertapaan kawah puncak gunung. Menjelma menjadi puncak Rengganis dan kawahnya yang putih, meninggalkan jejak-jejak bangunan masa lampau dan hanya tersisa reruntuhan.
Sinyal GPS sesekali muncul menembus lebat kanopi pohon. Rimbunnya vegetasi hutan menyulitkan kami untuk melakukan orientasi medan. Namun, tim advance melakukan tugasnya dengan baik. Kami menelusuri jejak-jejak tali streamline terikat di kiri jalur yang meski kadang menonjol dan sering tersembunyi di balik ranting-ranting pohon atau rekahan kayu tua.
Hujan datang pukul sebelas, tapi kami tetap memaksa berjalan menembus hujan. Hanya sebentar karena akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan menggelar flysheet (lembaran kain parasit tahan air, umumnya sebagai pengganti tenda) untuk berlindung dari hujan petir yang semakin deras. Serangga-serangga beterbangan mengerumuni kami karena panas tubuh yang kami hasilkan. Perapian dibuat di bawah flysheet dan menghasilkan asap untuk mengusir mereka. Sebatang cokelat menambah hangat suasana hutan yang dingin.
Menjelang setengah dua sore, hujan melunak. Perjalanan dilanjutkan untuk membelah rimbun ilalang yang tingginnya melebihi tinggi tubuhku. Susah payah menahan antara beban ransel, mencari pijakan kuat dalam tanah becek menanjak, dan menyingkirkan ilalang yang seakan menenggelamkanku. Ransel dan pakaian yang separuh basah menambah beban berat dan beban dingin. Terkadang aku berhenti karena tak kuat menahan beban dan seluruh kelompok ikut berhenti. Kamp keempat diputuskan berada di punggungan bawah Puncak Taman Kering.
Rupanya kebakaran hebat yang sempat melanda Argopuro beberapa waktu lalu masih menyisakan bongkahan-bongkahan kayu hitam, pohon tumbang menjadi arang. Bersungut-sungut di antara pohon tumbang, kami telah melewati batas 2500 mdpl. Lukisan hutan yang semula berupa evergreen, sekarang berganti pepohonan konifer, seperti cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Salah satu tanaman khas dari Argopuro adalah jancukkan (dinamai oleh pendaki dan penduduk lokal) dan selada air atau arnong. Tak seperti selada air yang dapat dikonsumsi, jancukkan adalah tanaman dengan duri trikhoma beracun di sekujur permukaan batang dan daunnya. Saat tersentuh, kulit akan merasakan gatal dan panas yang bertahan hampir satu jam seperti tersengat lebah.
Setelah melewati Sungai Aengkenek, tim sampai di Sungai Cisentor. Dua hari tanpa bertemu manusia, akhirnya kami kembali bertemu pendaki yang menempati sebuah shelter. Layaknya tradisi para pecinta alam yang menganggap pecinta alam lain bagaikan saudara, begitulah kami bertegur sapa. Kami mendirikan kamp dua hari di sana. Kamp tersebut akan ditinggalkan, sementara kami menyusuri jalanan menuju Rawa Embik sebelum puncak.
Pendaki lain datang dan pergi meninggalkan kami sekali lagi dalam kesepian setelah canda dan gurau dalam api unggun semalam. Kami bersiap menyusuri hamparan vegetasi yang berubah sesuai dengan ketinggiannya. Sekarang kami berada di padang savana. Sesekali cemara gunung dan sesekali masih jancukkan. Di antara tingginya ilalang dan licinnya tanah bekas hujan, kami berjalan di bawah pohon yang tingginya mencapai lebih dari tiga puluh meter. Diameter batang utamanya tak akan cukup bila tanganku dan kedua temanku digabungkan untuk merangkulnya. Perjalanan kami rupanya menarik para owa, sejenis kera hitam yang bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain. Lebih dari sepuluh di atas kami. Mungkin mereka mengira kami akan merebut wilayah kekuasaan mereka, atau mungkin hanya rasa penasaran seperti yang aku rasakan.
Bangkai pohon kayu tumbang yang melintasi lembahan sisa sungai, kami jadikan jembatan untuk menyeberang ke punggungan berikutnya. Lima meter dari atas tanah, kami berjalan beriringan meniti jembatan pohon, berhati-hati dan sedikit ngeri. Masih ditemani suara gelayutan owa dan terkadang pekik suara burung merak. Sedikit terseok-seok kebingungan mengitari punggungan, ternyata kami justru sampai di sumber air Rawa Embik yang asli. Berupa genangan air luas seperti kolam dengan tumbuhan-tumbuhan air dan paku equisetum. Rawa Embik inilah sumber air sungai yang nantinya akan mengalir ke Sungai Cisentor.
Puncak di depan mata, tinggal tak lebih dari satu karvak. Artinya, tak ada satu kilometer perjalanan. Namun, hari yang beranjak gelap memaksa kami untuk kembali ke kamp karena di sanalah kami meninggalkan perlengkapan kemah. Kami memang memutuskan tidak mendirikan kemah di Rawa Embik karena disinyalir adanya harimau hutan (Panthera pardus) yang tahun lalu turun ke perkampungan penduduk Situbondo akibat kebakaran hutan, selain tak ada shelter di sana. Terlebih lagi misi telah selesai, yaitu menembus jelajah jalur hutan, bukan jalur pendakian sepanjang lima karvak (kurang lebih lima kilometer).
Penting untuk mengingat dalam suatu ekspedisi, yaitu memiliki tujuannya masing-masing, tapi langkah kaki yang sebenarnya bukanlah pada titik tertinggi, tapi pada sejauh mana tapak terakhir kaki dapat melangkah. Perjalanan masih tersisa dua hari untuk kembali ke peradaban melewati jalur Desa Baderan, Jember. Masih melewati padang rumput sangat luas di atas ketinggian 3000 mdpl yang terbelah sebuah sungai jernih dan hangatnya matahari. Cikasur merupakan sisa proyek pembuatan landasan pesawat terbang zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Saat ini tinggal puing-puing bekas bungker perang yang teronggok dan masuk dalam Kawasan Suaka Margasatwa Pegunungan Hyang.
Lupa hari dan tanggal, yang kami ingat hanyalah berapa hari telah berada di belantara ini. Hari terakhir turun, kami mengucapkan selamat tinggal pada tanah mistis yang cantik. Tak pernah bosan memandang gugusan hutan konifer, hamparan savana, turun ke lebatnya evergreen dan hutan lumut, kemudian berganti ke ladang penduduk. Akhirnya, selamat datang peradaban.

Penulis adalah mahasiswa Biologi 2008 dan giat di MPA Jonggring Salaka