Oleh Abd. Latif Bustami

Candi merupakan bangunan keagamaan Hindu yang merupakan warisan kebudayaan. Candi yang tersebar di Indonesia berdasarkan gaya percandian bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu candi bergaya Mataram Kuna (abad VIII-X M), Singhasari (abad XII-XIV M), dan Majapahit (abad XIII-XV M) (Santiko 1995: 3-4; 1999: 8-10). Khusus untuk Majapahit masih bisa dibedakan lagi berdasarkan kronologisnya, yaitu candi dari sekitar abad XIV M dan XV M. Menurut J. Dumarcay, kelompok candi dari sekitar abad XV masih memperlihatkan ciri-ciri Candi Kidal dari masa Singhasari, sedangkan candi sekitar abad XV M lebih memperlihatkan ciri-ciri masa Majapahit (Dumarcay, 1989: 78; 86).
Soekmono (1974) menyatakan bahwa candi di Indonesia itu  mempunyai fungsi yang berbeda dengan India sebagai pusat  penyebaran ajaran Hindu. Orang yang mendiami wilayah Indonesia memiliki kearifan budaya yang mengakulturasi ajaran Hindu sesuai dengan nilai budaya mereka. Ajaran Hindunya dipertahankan, sedangkan aktualisasi keagamaan dipahami dan dianalisis sesuai dengan konstruksi kebudayaan masyarakat setempat sehingga muncul Hindunisasi Jawa dan Jawanisasi Hindu. Bahkan, ajaran Hindu disinkretinisasi dengan agama Budha menjadi Tantrayana (baik prawerti, sedangkan nirwerti terdiri atas pancama-matsya, mada, mudra, mamusa, maituna).
Di sisi lain, Cinandi di India semata-mata disatukaitkan dengan tempat sembahyang, sedangkan di Indonesia, dikembangkan Candikagraha yang berfungsi untuk menyimpan abu jenazah atau makam para raja. Santiko menyatakan bahwa adanya relasi antara Cinandi dan Candikagraha dapat dipahami melalui  proses ritual dengan cara  mengitarinya secara simbolik. Cinandi dengan pradaksina (sesuai dengan putaran jam), sedangkan Candikagraha dengan prasawya (berlawanan dengan putaran jam). Secara simbolik, pradaksina yaitu menganankan candi merepresentasikan kebaikan, kemuliaan, kehidupan yang sesuai dengan peran dan fungsi candi, serta kesakralan. Sedangkan prasawya yaitu mengirikan, kematian, candi sesuai dengan peran dan fungsi candi sebagai makam (Santiko, 1999). Menurut penulis, relasi pradaksina dan prasawya bukan oposisi biner sebagaimana dalam perspekif strukturalisme Levy Strauss, tetapi Rwa Bhineda (saling melengkapi) (Bustami, 2009).
Tulisan ini menjelaskan tentang candi sebagai mitigasi penanggulangan bencana yang relatif belum dikaji. Temuan penelitian terdahulu tentang candi selalu dikaji dari aspek keagamaan (Megatsari, 1991 dan Wahyudi 2005), kesusasteraan (Robson 1979; Noorduyn 1982; Klokke, 1990), kesenian (Brandt-Buys, l922) dan Kunst, 1927), arsitektur (Galestin, 1936). Dalam penanggulangan bencana diklasifikasikan menjadi tiga kegiatan, yaitu prabencana (mitigasi), bencana (tanggap darurat), dan pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).
Bustami mempunyai hipotesis tentang candi berkaitan dengan penanggulangan bencana alam (mitigasi, pengurangan resiko bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi). Semua candi yang tersebar di Indonesia selalu dibangun di wilayah gunung berapi aktif  yang rawan bencana. Misalnya candi di kawasan Gunung Kelud (Panataran) (Wahyudi 2005), Bromo (Hasyim, dkk 1994), Semeru, Merapi (Mundardjito 2003), dan  Lawu (Bustami dkk, 1995). Gunung-gunung itu merupakan replika imajinatif gunung-gunung sakral di India (sebagaiamana yang dijelaskan dalam kitab Samudramantana (Hasyim dkk, 1994; Bustami dkk, 1995).
Edy Sedyawati menguatkan bahwa keberadaan arca Ganesha secara teologis selalu dikaitkan dengan strategi kultural manusia untuk menanggulangi bencana. Ganesha sebagai dewa penjaga dari bahaya. Penempatannya pada tempat-tempat yang dipandang berbahaya. Milsanya, Ganesha Karangkates dengan posisi berdiri dan Bara-Jimbe di tepi Sungai Brantas. Wilayah rawan bencana itu ditempatkan Ganesha dengan tujuan sebagai  persembahan (offering).
Candi Panataran merupakan salah satu candi yang dibangun oleh Dinasti mulai dari Kadiri sampai dengan Majaphit (257 tahun atau dari 1197-1454 M). Candi Panataran berfungsi sebagai candi kerajaan ketimbang candi pendharmaan (Wahyudi, 2005: 8-11). Pendirian bangunan itu dalam kurun waktu yang lama. Candi itu menunjukkan pentingnya candi itu untuk mitigasi bencana dan pengurangan resiko bencana. Waspada bencana menjadi inisiatif kerajaan untuk mengurangi resiko bencana. Bahkan, ikonografi candi bersatu kait dengan penangulangan bencana. Ketinggian candi Panataran dikaitkan dengan aliran lahar karena di sisi barat sampai saat ini berfungsi sebagai jalan lahar (kali mati) yang terbesar dari Gunung Kelud.
Begitu juga dengan keletakan candi Panataran berada di lembah Gunung Kelud. Arca ganesha dalam grabagraha candi angka tahun yang menyimpang dari penempatan arca dalam pantheon Hindu, yaitu Ganesha yang diletakkan di relung candi sebalah barat atau timur. Fungsi Ganesha jelas berkaitan dengan penghalang marabahaya. Dewa Siwa yang bersifat pralina (menghancurkan)  sebagaimana yang dinyatakan dalam naskah Tantu Pagelaran yang mengisahkan Batara Gana yang mampu meramal setelah diberi buku oleh Batara Guru. Batara Brahma meminta diramal jumlah kepalanya. Batara Gana meramal bahwa jumlah kepala Brahma ada empat padahal jumlahnya lima. Batara Gana mau dibunuh oleh Brahma, tapi ditolong oleh Batara Paramasiwa. Kepala yang kelima dipotong dan dikubur di Gunung Kampud sehingga dikenal sebagai Gunung Samadagni karena bersifat api (agni) (Pigeaud, 1924: 74-76). Artinya, Gunung Kelud/Kampud sesuai dengan karakteristiknya sebagai gunung berapi aktif yang membara (agni). Dahulu, masyarakat di kawasan rawan bencana sudah mempunyai strategi kultural simbolik dan realis untuk menanggulangi bencana. Mengapa kita tidak belajar dari masa lalu?

Penulis adalah dosen Sejarah UM