Menjadi Sastrawan yang Akademis


Nama    : Tjahjono Widijanto
TTL    : Ngawi, 18 April 1969
Alamat    : Jalan Hasanudin Gang Cimanuk 1 A Ngawi
E-mail    : tjahwid@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan
– Sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang 1992
– Magister Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang 2006
Profesi
– Sastrawan (penyair dan esais)
– Dosen di STKIP PGRI Ngawi
– Guru di SMAN 1 Ngawi
Pengalaman
– Pada 1988 mendirikan majalah kebudayaan Iklim yang terbit di           Malang sekaligus menjadi salah satu redakturnya (1989-1990)
– Aktif berteater bersama teater Ideot Malang (1987-1994)
– Ikut memprakarsai berdirinya majalah kebudayaan Kalimas       Surabaya dan menjadi salah satu redakturnya (1992-1994)
– Ikut mendirikan majalah kebudayaan Lontar di Ngawi sekaligus       menjadi salah satu redakturnya (1996-2004).
– Ikut mendirikan Studi Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi dan aktif       sebagai penggeraknya hingga sekarang (1995-sekarang)
– Pendiri dan ketua kelompok teater Zat Ngawi (1998-sekarang).

di antara akar-akarnya
bayangmu bergoyang-goyang
bungkuk dan batuk-batuk di bangku batu
menganyam senja, jarak, peristiwa
juga warna malam dan awan
menunggu menjadi hantu di taman tua
merajam sunyi menjadi bunyi
(Petikan sajak ”Lukisan Perempuan di Museum Blanco”, Tjahjono Widijanto)

Produktif dan berlumur prestasi. Itulah kiranya beberapa kata yang menggambarkan sosok Tjahjono Widijanto. Bila beberapa puluh tahun lalu ia adalah mahasiswa UM (eks IKIP) Malang yang aktif berteater dan bergelut dengan dunia sastra, maka kini ia adalah sastrawan yang tak henti melahirkan karya. Nama Tjahjono Widijanto telah ada dalam daftar sastrawan Indonesia angkatan 2000 yang disusun oleh Korrie Layun Rampan. Bersanding dengan nama-nama seperti Ayu Utami, Afrizal Malna, Oka Rusmini, dan lain sebagainya. Sebuah hal yang tentunya membanggakan dan patut diteladani.
Antologi puisi tunggalnya adalah Ekstase Jemari (1995) dan Dunia Tanpa Alamat (DKJT, 2003). Buku-buku lainnya yang memuat puisinya antara lain, Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta 1996), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000),  Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Cakrawala Sastra Indonesia: Birahi Hujan (Dewan Kesenian Jakarta dan Logung Pustaka, 2004), dan lain-lain. Buku kumpulan esai dan kritik sastranya yang terbaru adalah Dari Zaman Kapujanggan hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011).
Beliau pernah diundang dalam berbagai acara sastra nasional dan internasional, antara lain diundang berceramah sastra dan membacakan puisi di Hankuk University Seoul Korea Selatan (2009), Ubud Writters and Readers (UWRF) (2009), Simposium Kritik sastra (2005), Penulis Pilihan Seminar Internasional Sutardji Calzoum Bachri (DKJ, 2005), dan lain-lain.
Beliau juga acapkali memenangkan berbagai lomba menulis, antara lain pemenang kedua Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2005), pemenang unggulan Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010),  pemenang kedua Lomba Mengulas Karya Sastra Nasional (Depdiknas, Horison) tahun 2005 dan tahun 2006, Pemenang II Sayembara Esai Sastra Korea (Korean Literature Translation dan UI).
Berikut ini wawancara kru Komunikasi dengan Bapak asal Ngawi ini.
Bagaimana awal mulanya Anda bergelut dengan dunia sastra?
Saya bergelut dengan dunia sastra sejak mahasiswa semester II di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang (UM) bersamaan dengan dunia teater yang juga saya geluti. Saya sangat berterima kasih kepada dosen, guru, dan sahabat saya, Bapak Djoko Saryono yang secara tak langsung menjadikan saya sebagai cantriknya. Saya ingat betul bagaimana hampir tiap hari saya berjalan-jalan, ngobrol, berdiskusi, dan juga berburu buku dengan beliau. Sering juga beliau bertandang ke kos-kosan saya yang waktu itu ada di Jalan Klampok Kasri Gang II/175. Saban hari pula saya berumah di sanggar sederhana teater Ideot di Jalan Gede 28, belakang SMA Dempo Malang.
Menurut Anda, bekal apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi sastrawan hebat?
Bekal untuk menjadi sastrawan hanyalah selain bakat alam juga kemauan untuk bersedia mendengar, melihat, dan membaca, serta tak pantang putus asa. Seringkali seseorang gagal menjadi penulis karena tak tahan setiap kali tulisannya dikembalikan oleh redaksi.
Adakah kiat-kiat khusus agar bisa terus produktif melahirkan karya?
Kiat khusus hanya sederhana saja. Terus senantiasa bergaul, membaca, dan akrab dengan segala hal berbau sastra.
Strategi yang Anda gunakan jika ide terhenti di tengah jalan saat menulis?
Strategi ketika harus melewati masa-masa kering produktivitas adalah jalan, membaca, dan mendengarkan apa saja.
Bagaimana tanggapan Anda sebagai lulusan UM yang berprofesi sebagai sastrawan?
Menjadi sastrawan dan menjadi guru sebenarnya bukan merupakan dua hal yang terpisah bagi saya. Keduanya dapat berjalan bersama, saling memberi dan juga saling mengisi.
Motivasi bagi mahasiswa UM yang ingin menjadi penulis?
Saran saya untuk mahasiswa UM yang ingin berkarya sederhana saja, terus membaca dan terus menulis, teruslah kirimkan ke media tanpa kenal menyerah.
Harapan untuk UM dan para wisudawan?
Harapan untuk UM dan para wisudawan, terus maju dan berkarya.Nur