”Manusia diciptakan tidak ada yang sama. Itu berarti bahwa Tuhan menyukai perbedaan yang indah. Setiap manusia diciptakan dengan karakternya masing-masing, berbeda-beda budaya. Jadi, kenapa semua harus pakai bahasa lo gue? Orang Malang berbicaralah dengan gaya Malang, tidak perlu menggunakan logat Jakarta biar dianggap modern.”  Begitulah sedikit kutipan materi yang disampaikan oleh Slamet Rahardjo Djarot. Rabu (19/01) lalu, pemeran Kiai Penghulu Kamaludiningrat ini menjadi pemateri dalam seminar bertajuk “Tantangan Seni Pertunjukan Masa Depan dalam Membentuk Karakter Bangsa”. Seminar ini merupakan salah satu bagian dalam Karnaval Sastra yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Sastra UM.
Dengan gaya bicara yang santai dan lugas, Slamet mengajak seisi Gedung Sasana Budaya UM merenungi budaya bangsa yang mulai tercabut dari akarnya. Aktor senior ini juga mengungkapkan keprihatinan atas maraknya film-film yang tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan budaya bangsa, tetapi justru memperoleh rating yang tinggi. Fenomena tersebut menurut Slamet merupakan suatu bentuk dari pengkhianatan budaya.
Dalam sesi tanya jawab, pertanyaan yang disampaikan oleh peserta beragam. Salah satunya mengenai masa depan dari seni, khusunya seni pertunjukan. ”Kalau ditanya masa depan seni pertunjukan itu apa, saya malah berharap jangan sampai kita menemukan masa depan itu. Karena kalau sudah ketemu, berarti sudah selesai. Berhenti,” kelakar Slamet yang disambut tawa peserta. ”Ciptakan panggung Anda sendiri. Di mana panggung Anda? Anda sendiri yang memilih dan menentukan,” lanjutnya.
Acara yang dibuka dengan penampilan tari dan musik dari Nusantara Etnik ini memperoleh sambutan positif dari masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peserta dari luar UM, bahkan dari luar Kota Malang yang hadir dalam seminar. “Saya sangat puas dengan materi yang disampaikan Pak Slamet,” ujar salah satu mahasiswa UM yang menjadi peserta.
Yas