Oleh Guk Sueb

Walaupun konsep kebangsaan Indonesia telah terpikirkan sejak dulu, deklarasi konsep Kebangsaan Indonesia dilakukan pada 28 Oktober 1928—yang kemudian kita kenal sebagai hari Sumpah Pemuda. Namun, kenyataannya, konsep tinggallah konsep, tanpa adanya arti dan makna bagi kehidupan berbangsa di negeri ini.
Singkat kata, penemuan konsep bangsa Indonesia merupakan buah pikir yang besar tapi belum dapat dilihat aplikasinya hingga kini. Kekerasan antarumat, rendahnya to-leransi, hingga konflik antargolongan masih menjadi saksi bagaimana rasa persatuan di negeri ini masihlah sangat tipis dan labil.

Masyarakat Multikultural
Bangsa Indonesia terdiri atas masyarakat majemuk. Kita bisa melihat realitas bahwa berbagai elemen dan golongan masyarakat hidup berdampingan dalam suatu tatanan sosial yang berada dalam satu tatanan pemerintahan. Konsep dasar dari kebangsaan Indonesia merupakan suatu gagasan dan kita adalah bagian dari masyarakat mampu menyatukan masyarakat yang plural ini menjadi suatu kesatuan bangsa Indonesia.
Upaya tersebut tentu tidak serta merta memaksakan satu dominasi budaya atau golongan atas lainnya, atau bahkan penyeragaman budaya atas budaya tertentu, tetapi bagaimana menjadi pluralitas tersebut sebagai perekat persatuan. Tentu dengan cara meningkatkan pemahaman, penilaian positif,  dan penghargaan atas keunikan antarbudaya di masyarakat. Di sinilah jika kita mau memahami makna bangsa Indonesia adalah terdiri atas masyarakat multikultur.
Untuk menjadi masyarakat yang multikultur, paling tidak dibutuhkan beberapa hal yang harus dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian penting dari suatu masyarakat. Setiap individu seharusnya mampu menjawab berbagai kenyataan yang meliputi rasa toleransi, perbedaan etnis dan agama, bahaya diskriminasi, hak asasi manusia, hingga prinsip-prinsip keteguhan atas peraturan yang berlaku.
Selain itu, adanya alat yang mampu membentuk individu yang dewasa dan intelektual, yang berfikir terbuka dan objektif, serta mampu melihat suatu kenyataan dengan pandangan kritis dalam mengevaluasi dan memecahkan masalah. Sebagai masyarakat multikultural, kita seharusnya menjadi individu yang mengikatkan intelektual kita pada kesatuan fundamental kemanusiaan karena mau tidak mau, benturan antargolongan di tengah pluralitas budaya tidak dapat dihindari—bukan hanya di lingkup Indonesia (lokal) melainkan bersifat global.

Pendidikan Multikultural
Alat yang mampu membentuk masyarakat multikultural tersebut adalah pendidikan. Dengan pendidikan, derajat manusia akan menjadi lebih baik, tentunya dengan melakukan aktivitas dengan cara yang terbaik dan bijaksana.
Pendekatan pendidikan yang digunakan adalah pendidikan yang berbasis multikultural. Peserta didik akan dihadapkan dengan rasa berani dan mampu mengapresiasi budaya lokal, budaya golonga, dan budaya golongan lain dengan persepsi yang lebih empatik dan simpatik (objektif). Melalui pendidikan multikultural ini, masyarakat—generasi masyarakat yang dalam hal ini adalah peserta didik—akan memosisikan dirinya sebagai agen perubahan. Suatu agen yang mampu mereduksi potensi adanya konflik antargolongan.
Selain itu, penanaman rasa kesatuan, kesamaan misi dan visi sebagai bangsa yang satu, yang dalam istilah kita menyebutnya sebagai rasa nasionalisme, sangat penting. Nasionalisme merupakan esensi dalam pembelajaran masyarakat multikultural. Kita harus tahu bahwa tidak ada bangsa yang hadir tanpa adanya rasa nasionalisme.
Dengan adanya pendidikan multikultural ini, konsep Kebangsaan Indonesia yang telah digagas oleh para elite pendahulu kita tidak serta merta menjadi pemikiran belaka. Namun, ke depan konsep inilah yang akan menjadi landasan kita untuk menjadi bagian dari masyarakat yang multikultural, masyarakat yang dewasa, yang mampu menghargai satu sama lain, dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Yang terpenting adalah sebagai bangsa Indonesia, kita mampu mewujudkan suatu impian bangsa ini menjadi bangsa yang bhineka tunggal ika.
Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris