Pada saat Orde Baru, kita tabu membincang Pancasila. Saat ini mungkin kita merasa jenuh dan bosan untuk membincangkan Pancasila. Di tengah gencarnya pragmatisme politik, korupsi, elit, krisis kepemimpinan, konflik horizontal yang terjadi di mana-mana, nilai-nilai Pancasila dan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara mulai dipertanyakan kembali. Yang lebih parah, masyarakat kita mulai tidak mau lagi membicarakan Pancasila. Pancasila dinilai telah gagal membangun negara-bangsa ini. Kenyataan Indonesia saat ini dengan berbagai krisisnya menjadi patokan, bahkan penawaran ideologi lain, seperti Islam mulai dilakukan untuk menggantikan Pancasila. Ideologi Islam ini yang menghendaki berdirinya negara Islam dan dinilai oleh para penawarnya merupakan salah satu solusi untuk mengatasi problem bangsa yang tidak kunjung berakhir. Lebih dari itu, menurut pandangan mereka, umat Islam tidak pantas mengideologikan Pancasila dan menerima Islam sebagai satu-satunya ideologi.
Berbeda dengan pandangan di atas, bagi Gus Dur, Pancasila merupakan penemuan terbesar bangsa ini. Pancasila yang kita punya tidak ada di belahan dunia mana pun. Nilai-nilai yang ada di dalamnya mencerminkan jati diri bangsa Indonesia yang selama ini membentuk dan menyatukan masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan keindonesiaan sejati tanpa menghilangkan jati diri keagamaan yang ada dan tumbuh di Indonesia. Pancasila bukan juga wajah sangar liberalisme dan sekulerisme. Jadi, pandangan tentang Pancasila di atas perlu pembacaan kembali sehingga selimut tebal pragmatis elit, korupsi, konflik, dan lain-lain mengaburkan pemahaman tentang pancasila.
Buku seorang intelektual muda NU, Kang Nur Khalik ini secara holistik mencoba menghadirkan sepercik pemikiran seorang Gus Dur tentang negara Pancasila. Sebuah negara yang dengan segala resikonya akan beliau bela karena hal itu kesepakatan luhur antara semua golongan yang ada di Indonesia dan arena keluhuran itulah semua warga negara Indonesia wajib menghormatinya sampai kapan pun. Hal inilah yang mungkin merupakan bentuk penghormatan kita kepada para pendiri bangsa ini. Meskipun demikian, Gus Dur mengaku bahwa seluhur apa pun sebuah kesepakatan, ia tidak akan berfungsi jika tidak didudukkan pada status yang jelas.
Kang Nur Khalik berhasil membaca pemikiran Gus Dur tentang Pancasila dan berhasil mendudukkan pemikiran Gus Dur ini dalam dua hal. Pertama, Pancasila sebagai ideolgi bangsa dan falsafah negara berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti oleh undang-undang dan produk hukum yang lain. Tata pikir seluruh bangsa, menurutnya ditentukan oleh falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara.  Kedua, sebagai falsafah dan idiologi negara, harus jelas dikatakan adanya tumpang tindih  antara Pancasila dengan sebagian sisi kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di sini, Gus Dur berargumentasi, di satu sisi agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengandung unsur-unsur universal (meskipun semuanya juga mengandung unsur-unsur eksklusif) sehingga sulit dibatasi hanya dalam konteks keindonesian dan sisi lain Pancasila adalah keindonesiaan itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan agama, Pancasila tidaklah bertentangan sama sekali. Pancasila oleh Gus Dur diposisikan sebagai polisi lalu lintas dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan dengan rumusan sederhananya, yaitu, “Semua agama diperlakukan sama oleh undang-undang dan diperlakukan sama oleh negara.” Berangkat dari pemikiran inilah Kang Nur Khalik berpendapat bahwa Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara memiliki fungsi yang batasan-batasan minimalnya tidak boleh ditundukkan oleh agama-agama dan kepercayaan yang ada. Di sini Gus Dur melihat Pancasila berposisi netral, tidak memihak terhadap apa pun yang akan memunculkan kerawanan dan kegentingan. Semuanya itu harus didudukkan demi kepentingan nasional sebagaimana yang diidamkan dan dicita-citakan Gus Dur. Lebih dari itu Gus Dur menolak negara Islam karena perjalanan ijtihadnya, Gus Dur tidak menemukan konsep negara Islam.
Penolakan akan negara Islam dan penerimaannya negara Pancasila merupakan bentuk final dari hasil perjuangan bangsa Indonesia umat Islam, khususnya bukan tanpa alasan. Sebagai seorang jurnalis yang lahir dan kental dengan nilai dan budaya islam, selain argumentasi ilmiah berdasar konteks kesejarahan dan realitas kebangsaan, pendapat Gus Dur juga bersandar pada pada argumentasi agama yang terdapat dalam Al-Quran dan sumber lainnya. Kritik teks contohnya, berbagai ayat Al-Quran yang digunakan para pejuang Islam mendapat koreksi dari beliau. Misalnya, QS. Al Maidah ayat 3 dan 44 yang menurut Gus Dur tidak benar  jika dijadikan argumentasi mendirikan negara Islam dan adanya negara dalam tegaknya hukum-hukum Islam. Ketidakseragaman suksesi kepemimpinan dalam sejarah Islam memberikan gambaran tidak adanya konsep itu. Jadi, jika suatu negara telah memberikan wewenang kepada kaum muslimin untuk menegakkan tauhid atau bahasa slogannya, li I’la’I kalimatillah hiya al-‘ulya (meluhurkan asma Allah Yang Agung), maka pemerintah negara sudah harus ditaati. Jadi, tidak perlu yang namanya negara Islam atau khilafah.
Buku ini layak untuk dibaca untuk menemukan formula baru berislam dalam sebuah kerangka negara Pancasila. Hal ini menjadi penting karena bangsa kita (sebagian besar orang Islam) yang semakin jauh dari nilai Pancasila (keindonesiaan) sehingga membaca buku ini akan menggugah kembali rasa kebangsaan kita tanpa menghilangkan jatidiri keislaman kita yang saat ini luntur akibat pragmatisme elit, korupsi, dan lain-lain. Yang lebih riskan, acapkali Pancasila kehilangan tempat di dalam hati dan pikiran generasi bangsa saat ini. Tidak jarang ada yang dibaca mereka yang sepakat akan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara dan layak juga dibaca mereka yang tidak sepakat, karena dalam masalah ini umat Islam selalu tidak seragam.

Peresensi adalah mahasiswa HKn