Sajak Suhartono

Wahai, hamparan hijau memenuhi lembah dan ngarai
kedamaian, kecukupan, telah memenuhi seluruh kawula negeri ini
seruling anak gembala mengiringi derasnya keringat para petani
mereguk ketenangan membasahi hati
gaung suara adzan pun menggema
menghempas di antara dinding tebing maupun dinding hati
yang menghantarkan tangis dan syukur kehadirat Ilahi
Kini, hamparan hijau tak ada lagi oleh lindasan masa
kegersangan meliputi persada
teraniaya, terpedaya, dan
ronta pertiwi hanya meletupkan bara-bara kecil
yang terpisah pisah dan mudah terpadamkan oleh nafsu angkara, kerakusan, keserakahan, kemunafikan
yang terpicu oleh kebencian asing

Wahai, suara seruling gembala tak lagi terdengar
karena para gembala kini terlena oleh ninabobo mereka
yang menawarkan teknologi
yang hanya menjanjikan fatamorgana
Wahai, panggilan adzan pun tak lagi menggetarkan hati
pengenalan Ilahi pun tersisa diujung hati
sedang pertiwi pun ikut menjerit, mengapa,
mengapa. Mengapa mata airnya yang melimpah itu
harus dibeli oleh anak anaknya

PenulisĀ  adalah staf di Subag RR BAAKPSI