Dalam setiap perjalanan, perubahan menjadi hal yang pasti dengan syarat perubahan tersebut dibarengi dengan nilai-nilai positif yang mampu membawa ke arah yang lebih baik. Hal tersebut juga berlaku dalam hal pendidikan. Dari waktu ke waktu, pendidikan harus terus mengalami perkembangan, perubahan, dan perbaikan agar tetap relevan dengan tuntutan zaman. Hal tersebut nampaknya juga disadari oleh Universitas Negeri Malang (UM). Untuk berjalan ke arah yang lebih baik harus ada perubahan dan perbaikan pada setiap kondisi yang dilakukan melalui langkah-langkah tertentu. Setelah melakukan serangkaian perubahan dan perbaikan, baik secara fisik maupun nonfisik, kini saatnya bagi UM untuk ‘ganti baju’. ‘Ganti baju’ di sini mengandung pengertian bahwa sudah saatnya UM mengganti namanya dengan nama yang lebih kredibel.
Disampaikan oleh Rektor UM pada Peringatan hari Pendidikan Nasional (02/05) lalu, Universitas Negeri Malang akan berubah nama menjadi Universitas Malang. Perub­ahan nama ini diputuskan oleh Senat UM melalui rapat pada Kamis (28/04) sebelumnya. Dalam sambutannya, rektor me­­­­n­g ­­­­­­­u­ngkap beberapa latar belakang perubahan nama ini. Alasan pertama adalah fenomena perguruan tinggi-perguruan tinggi yang saat ini mulai menanggalkan kata ‘negeri’ karena telah memiliki kredibilitas dan popularitas yang tinggi. Misalnya, Universitas Negeri Jember menjadi Universitas Jember.
Alasan lain dari perubahan nama ini adalah niat senat UM ketika menggunakan nama UM dahulu adalah agar suatu hari kata ‘negeri’ dapat dihilangkan. Konsistensi nama panjang dan singkatan juga menjadi salah satu alasan perubahan nama ini. Alasan terakhir adalah sudah saatnya UM berani menggunakan nama Universitas Malang dengan percaya diri. Hal ini disebabkan UM telah memiliki kredibilitas, kapasitas, dan popularitas sebagai perguruan tinggi bermartabat.
Selain itu, saat diwawancara oleh kru Komunikasi, Rektor UM, Prof. Dr. Suparno mengungkapkan bahwa usulan perubahan nama ini sebenarnya bertolak dari rapat senat tahun 1998. Rapat senat yang dilakukan saat itu memutuskan bahwa nama Universitas Negeri Malang pada saatnya nanti akan diganti dengan menghilangkan kata ‘negeri’ sehingga menjadi Universitas Malang.
“Ini amanat senat karena merupakan kelanjutan dari rapat senat. Pemegang amanah yang baik tentunya adalah orang meneruskan amanat yang disampaikan kepadanya dengan baik pula,” ungkap rektor.
Selanjutnya, Bapak Suparno juga me­­­ngungkapkan bahwa perubahan nama ini memang untuk menghindari kerancuan dan kerepotan yang seringkali muncul. Kita sering mendengar bahwa masyarakat salah kaprah menyebut Universitas Negeri M­a­lang dengan sebutan UNM. Padahal, UNM adalah kepanjangan dari Universitas Negeri Makasar. Selain itu, ketika mendengar nama UM, masyarakat seringkali mengira bahwa UM adalah singkatan dari Universitas M­uhammadiyah Malang (UMM).
Dengan perubahan ini, menurut Pak ­Suparno, diharapkan UM akan terhindar dari berbagai ‘kerepotan’ yang selama ini terjadi. Pasalnya, kerancuan tersebut ternyata bukan hanya berdampak pada persepsi masyarakat yang salah kaprah, tetapi berdampak secara substansial. Misalnya saja pernah beberapa kali terjadi surat nyasar. Beberapa kali surat penting yang ditujukan ke UM salah kirim sampai ke UNM atau UMM. Hal ini sangat mengganggu dan bisa berdampak negatif terhadap kelembagaan UM sebagai universitas yang telah dikenal bermartabat dan bereputasi baik di masyarakat.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pembantu Rektor IV UM, Drs. H. Isnandar, M.T. Beliau mengungkapkan bahwa perubahan nama ini selain untuk membuat panggilan UM lebih ringkas, juga didasarkan atas keputusan rapat pimpinan (rapim) yang kemudian dibawa ke rapat senat. Tujuan perubahan nama ini tidak lain untuk menghindari kekacauan yang terjadi selama nama Universitas Negeri Malang masih disandang oleh UM.
Perubahan nama dengan versi Inggris The University of Malang ini tentunya tidak serta-merta dilakukan begitu saja. Tindakan ini diikuti dengan sejumlah langkah yang menyangkut aspek hukum dan administrasi. Langkah antisipasi pun disiapkan untuk menghadapi masa transisi yang tentunya akan berhadapan d­engan hal-hal positif dan negatif.
Ketika ditanya, apakah persiapan UM menuju perubahan tersebut sudah cukup atau belum, Bapak Suparno mengungkapkan bahwa sebenarnya proses yang telah dilakukan sejak rencana tersebut diusulkan dalam rapat senat 1998 sudah sangat cukup bagi sebuah perguruan tinggi untuk memulai hari-hari dengan nama baru. Walaupun perubahan nama tersebut tentu akan berdampak pada popularitas, kapasitas, dan kredibilitas lembaga UM, tapi beliau sangat optimis bahwa dengan berbagai langkah yang telah dilakukan selama ini, UM akan mampu menyesuaikan diri dengan baik.
“Proses sepuluh tahun itu bukan proses yang lama untuk membangun sebuah perguruan tinggi dengan nama baru,” jelas mantan dekan Fakultas Sastra UM tersebut.
Berbeda dengan pandangan rektor, Bapak Isnandar selaku Pembantu Rektor IV justru menyatakan bahwa pada dasarnya orientasi perubahan nama hanya untuk menghindari kerancuan. Walaupun nantinya perubahan tersebut akan membawa dampak, tapi menurut beliau tidak harus ada persiapan khusus untuk mengubah nama sebuah perguruan tinggi.
“Usulan perubahan ini orientasinya hanya pada nama,” ungkap Pak Isnandar. Beliau melanjutkan bahwa pembangunan fisik dan nonfisik yang kemarin dilakukan dalam skala besar oleh UM semata-mata hanya sebagai usaha perbaikan institusi dan bukan dalam rangka menyambut nama baru UM yang akan segera diusulkan. Namun, jika berbicara masalah potensi, beliau juga mengungkapkan bahwa beliau optimis UM akan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang mungkin terjadi.
Selanjutnya, rektor menjelaskan bahwa langkah yang harus ditempuh adalah segera mengusulkan legalisasi nama baru UM tersebut. Rencana perubahan nama tersebut harus segera diusulkan kepada pemegang kebijakan yang berwenang, dalam hal ini negara. Selanjutnya usulan tersebut akan ditindaklanjuti dengan mekanisme administrasi yang legal. Saat ini perubahan sudah dalam proses pengajuan dan masih menunggu persetujuan pihak yang berwenang.
Untuk masalah sosialisasi, UM akan memaksimalkan semua potensi yang dimiliki. Antara lain melalui media massa, pembuatan pamflet, stiker, dan media lain yang memungkinkan dan potensial. Selain itu, UM juga akan menggunakan website UM sebagai media sosialisasi yang dianggap paling efektif. Dari sini, kita bisa lihat bahwa rencana UM bukan sekadar rencana tanpa perhitungan, tapi telah dikonsep dengan matang agar hasilnya maksimal.

Dampak Perubahan Nama UM
Sehubungan dengan perubahan nama tersebut, akan muncul berbagai konsekuensi terhadap UM. Konsekuensi tersebut antara lain adalah munculnya kekhawatiran akan menurunnya popularitas UM di mata publik karena kehilangan kata ‘negeri’. Selama ini masyarakat tertarik pada UM karena menyandang kata ‘negeri’. Dengan perubahan nama ini, apakah nanti popularitas UM  dijamin akan tetap bertahan hingga sekarang?
Menanggapi masalah tersebut, Rektor UM angkat bicara. Beliau mengungkapkan bahwa kekhawatiran tersebut tidak perlu ada, karena saat ini popularitas UM sudah sangat tinggi di masyarakat sehingga tidak perlu khawatir UM akan kehilangan pamor setelah namanya diubah.
“Kita harus punya keyakinan. UM memiliki banyak hal yang bisa diandalkan, antara lain kapasitas, fasilitas, dan banyak hal lain,” ungkap Bapak Suparno. “UM sudah diakui masyarakat. Karenanya, kita harus punya keyakinan dan kepercayaan diri. Apalagi perubahan ini akan didukung oleh berbagai sosialisasi, promosi, dan pencitraan,” lanjut beliau.
Rektor UM melanjutkan bahwa saat ini semua universitas eks-IKIP secara bertahap telah melepaskan kata ‘negeri’. Saat hampir semua universitas hanya menggunakan nama kota tanpa embel-embel ‘negeri’, faktanya hal tersebut tidak berpengaruh pada popularitas mereka.
Hal serupa juga diungkapkan oleh PR IV UM yang menyatakan bahwa reputasi UM sudah sangat dikenal baik oleh masyarakat. Contoh yang nyata adalah bagaimana UM meraih peringkat 10 dari 3000 perguruan tinggi dalam perangkingan Webometric. “Pihak kami percaya UM memiliki bekal yang cukup untuk melepaskan nama ‘negeri’. UM reputasinya baik dan banyak berperan dalam pendidikan. Sebut saja peringkat UM dalam Webometric. Selain itu, UM juga dipercaya mengelola naskah SNMPTN,” papar Bapak Isnandar.
Jika masalah popularitas sudah terjawab, maka kekhawatiran berikutnya yang muncul adalah masalah kenaikan biaya SPP. Selama ini perubahan kebijakan perguruan tinggi selalu identik dengan peningkatan biaya pendidikan. Oleh karena itu, memang sempat muncul kegelisahan akan naiknya biaya pendidikan. Padahal biaya pendidikan yang saat ini ditetapkan saja kadang masih menyusahkan mahasiswa. Selain itu, mengingat dampak perubahan nama yang tentunya akan memerlukan biaya, beberapa pihak sempat khawatir biaya tersebut akan dibebankan kepada mahasiswa dalam bentuk penarikan-penarikan tertentu. Bayangkan saja jika nama UM berubah, tentunya segala macam sistem administrasi, persuratan, identitas, dan banyak hal lain tentunya harus diubah untuk menyesuaikan nama baru. Dengan kata lain, akan ada perombakan besar-besaran di berbagai aspek untuk menyesuaikan kondisi tersebut. Dari sini muncul rasa khawatir di kalangan mahasiswa akan adanya penarikan baru yang akan memberatkan mereka
Namun, menanggapi masalah tersebut, Bapak Isnandar menegaskan bahwa perubahan tersebut tidak akan memberatkan mahasiswa. Walaupun beliau membenarkan bahwa membutuhkan dana dalam jumlah besar sehubungan dengan perubahan nama tersebut, tapi biaya yang diambil diperoleh dari anggaran sehingga tidak akan memberatkan mahasiswa. “Sumber dana perubahan ini diambil dari dana APBN, rupiah murni (gaji, biaya adminsitrasi, dan lain-lain), dan PNPP (dana dari masyarakat),” ungkap Bapak Isnandar.
Intinya, perubahan ini pada dasarnya telah diantisipasi sebelumnya sehingga sedapat mungkin tidak akan membebani mahasiswa. Selama ini, mahasiswa telah menyumbang anggaran melalui SPP mereka. Oleh karena itu, mahasiswa tidak perlu khawatir karena sumbangan yang dibebankan kepada mereka sudah termasuk ke dalam SPP yang mereka bayar sekarang.

Apa Kata Mahasiswa UM?
Pada dasarnya usulan perubahan nama ini disambut positif oleh mahasiswa UM. Presiden Mahasiswa UM 2011, Rudi Hariyanto mengungkapkan bahwa masalah nama sebenarnya bukanlah hal yang substansial. Menurut Rudi, hal yang terpenting adalah bagaimana kemajuan ke depan. Dia berharap bahwa perubahan nama tersebut akan muncul perubahan ke depan ke arah yang lebih baik.
“Pernah ada dana hibah yang lari ke UMM akibat adanya kerancuan nama. Mungkin perubahan nama ini adalah salah satu langkah Rektor UM untuk memopulerkan nama UM,” ungkap mahasiswa Teknik Sipil 2007 tersebut. “Mengubah nama memang tentunya akan membutuhkan dana. Tapi saya sangat yakin bahwa perubahan nama ini akan membawa manfaat di kemudian hari,” lanjut Rudi.
Presma UM tersebut juga menambahkan bahwa dengan perubahan nama ini, UM yang selama ini justru populer dengan nama Universitas Muhammadiyah tersebut akan dikenal dengan baik oleh masyarakat. Diharapkan masyarakat tidak lagi salah menyebut UM, karena antara UM dan UMM jelas berbeda secara kelembagaan.
Selanjutnya Rudi juga yakin bahwa masalah nama ini tidak akan berimbas pada biaya pendidikan karena sebagaimana dijelaskan, nama bukan sesuatu yang substansial dalam hal biaya pendidikan. Apalagi saat ini UM didukung dengan status BLU,  yaitu UM mengelola sendiri sistem keuangannya. Oleh karena itu, UM pasti sudah memperhitungkannya dengan cermat.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Muhamad Fajarisman. Mahasiswa Ekonomi Pembangunan tersebut mengaku tidak ada masalah dengan perubahan nama yang sedang diusulkan. Dalam pandangannya, perubahan nama tidak akan berdampak pada sistemik UM, tetapi hanya akan mempengaruhi brand name UM, baik dalam aspek kemahasiswaan maupun aspek lainnya. “Kita sudah berganti nama beberapa kali. Mulai dari IKIP Malang, Universitas Negeri Malang, hingga sekarang sedang diusulkan menjadi Universitas Malang. Saat ini yang terpenting dan perlu diketahui adalah karakter yang akan dibawa oleh nama baru tersebut,” ungkap Fajarisman. “Kalau kemarin Universitas Negeri Malang mengusung The Learning University sebagai karakter, sekarang apa yang akan diusung oleh Universitas Malang ke depannya,” lanjut mahasiswa angkatan 2007 tersebut.
Menanggapi masalah kekhawatiran akan naiknya biaya SPP setelah pergantian nama nanti, Fajarisman mengungkapkan bahwa kekhawatiran semacam itu memang wajar jika muncul. Namun, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, nama bukan hal yang substansial. Selain itu, untuk menyandang status perguruan tinggi negeri (PTN), sebuah perguruan tinggi tidak harus mencantumkan kata ‘negeri’ dalam namanya. Maka, kekhawatiran tersebut ada baiknya ditepis karena nyatanya memang tidak ada hubungannya antara nama dengan biaya pendidikan. Kalaupun ada perubahan nama, semoga diiringi dengan peningkatan kualitas akademis, sehingga tujuan pendidikan di kampus UM tetap terlaksana.Ris/Yas