Cerpen Royyan Julian

Perempuan itu melayang-layang di atas padang tanah retak lubang menganga dan membentuk labirin ular yang tak tentu ujung pangkalnya. Perempuan berselubung hitam berkibar-kibar diterpa angin beku dan segala yang di sekitarnya menjadi beku. Tatap matanya nyalang menembus tajam dan menimbulkan kengerian bagi siapa-siapa yang memandangnya. Hari bagaikan tak  siang dan tak malam. Matahari begitu terik, tapi langit gelap abu-abu dan bintang-gemintang bertabur rupa di atas cakrawala. Semburat matahari dihalang melintang oleh arak-arak sehampar awan komulonimbus yang lalu lalang dikalang butbut deru angin.
Perempuan itu siap menjadi pemangku sekaligus korban semesta. Tiga hari yang lalu ia telah mengunyah beragam bunga dan dedaunan atsiri hingga mulutnya yang acap berkicau serampangan menimbulkan wewangian melati, kemboja, sedap malam, kaca piring, dan aroma menyengat sirih, cengkeh, kayu manis beragam rempah. Tiga hari yang lalu sebelum ini terjadi ia telah bermeditasi di mihrab sucinya yang mengepul asap hio sambil memilin-milin biji rosario, berputar gasing seperti tarian Rumi menyapa Ilahi. Dan sehari sebelum ritual ini, ia berpuasa, berendam di kuali perak yang dicampur minyak wangi Konstantinopel.
Berawal dari kekeringan yang lembab pada sebuah kota yang tak diguyur hujan, namun tanah serasa basah tak berair. Mereka heran perkara ini bisa terjadi. Ada yang menyangka kabutlah yang membuat segalanya menjadi basah. Tapi rasa haus mereka tak terperikan. Mereka ingin hujan. Hanya hujan yang bisa menyembuhkan kota mereka yang kering bukan alang-kepalang. Di kota itu tak ada sebatang pohon pun yang berdiri. Hanya gedung-gedung rumah cokelat tanah berbetuk kotak dengan jendela-jendelanya yang juga kotak.
Mereka menghendaki hujan, tapi tak tahu caranya. Semua orang di kota itu tak bertuhan. Bukan karena mereka tak percaya, tapi karena malas saja. Mereka juga tak punya pawang hujan. Maka setiap senja lahir untuk kesekian kalinya, beberapa di antara mereka berlari ke ujung dermaga dan berteriak histeris mengumpat bola api raksasa yang jatuh di kaki langit dan tenggelam sempurna di ujung segara. Barangkali Tuhan—yang mereka tak yakini keberadaannya itu—mendengarkan jerit nestapa mereka yang haus. Ini serasa disiksa perlahan-lahan. Mereka dibiarkan menderita tanpa kematian. Berkubang dalam hidup yang tak ada tepinya. Seolah-olah mereka menikmati cengkeraman antara hidup dan mati.
Di tengah kegalauan yang meresahkan, mendadak mereka diingatkan oleh sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam benak. Mereka tahu bahwa salah seorang dari mereka telah menjalin hubungan dengan dunia supranatural. Ya, perempuan itu akan menjadi jembatan dunia nyata dengan alam gaib dan mereka percaya bahwa hujan datang dari yang gaib. Yang langit.
Perempuan itu kahin yang bila kambuh akan menceracau di jalan-jalan kota dan melontarkan kata-kata yang bukan keluar dari rasa sadarnya. Atraksi itu menarik bagi warga karena kalimat-kalimat yang diucapnya begitu indah. Seperti syair dan ayat-ayat suci. Dengan gerak-gerik gemulai nan cantik, ia bersenandung kidung abstrak. Orang-orang tak mengerti tapi menikmati.
Mereka memang tidak punya kesenian sehingga tontonan itu menjadi barang langka yang tidak setiap saat bisa mereka saksikan. Bila mereka mendengar sebuah raungan panjang seperti orang kesurupan, mereka telah menduga bahwa perempuan itu akan bertingkah. Lalu mereka mempersiapkan segala alat untuk mengabadikan momen langka itu. Buku tulis untuk mencatat sabda-sabda yang diucapkan perempuan dan bahkan ada yang membawa perekam suara. Suatu kali mereka membukukan kalimat-kalimat perempuan itu dan menerbitkannya. Alhasil, buku itu laku dijual. Di mana-mana orang membacanya. Di taman, kereta, dan ada pula yang membaca sambil menirukan gerakan-gerakan perem­puan itu di jalanan. Seakan-akan tidak mau kalah, si perekam suara perempuan itu menjual kaset hasil rekamannya. Terdengarlah nyanyian-nyanyian perempuan itu diputar di berbagai radio kota.
Begitulah mereka menganggap perempuan itu kahin dan suka jampi, nujum, ramal. Perempuan sebatangkara yang asal-usulnya tidak jelas dari mana muncul. Mereka memang menyukai perempuan itu. Perempuan itu menjadi permata tersendiri bagi kota mereka. Tapi, mereka juga tahu bahwa bila ada sesuatu yang tidak beres di kota itu, mereka harus mengorbankan milik mereka yang paling berharga. Mereka tahu hukum alam harus dipenuhi. Maka, ketika kota telah lama tidak disiram hujan, warga menimpakan masalah ini pada perempuan kahin. Karena hanya ia yang berhubungan dengan alam gaib, warga memintanya mendatangkan hujan. Hanya ia yang bisa, kata mereka.
Langit tak jua menampakkan tanda-tanda hujan. Angin terus-menerus mendesir kencang menyiulkan kesiut. Perempuan itu berdiri melenggak-lenggokkan tubuhnya di padang yang dikelilingi bukit batu berdebu. Sendirian. Wajahnya pucat dan bibirnya gelap merapal mantera-mantera bercampur pekik elang yang sedari tadi beterbangan melintas di atas kepalanya.
Ia menutup mata sangat lama. Berharap ketika telah membuka matanya, tubuhnya telah kuyup oleh hujan. Namun, ini tak terjadi. Bajunya masih kering tatkala kelopak matanya membuka. Ia meliuk-liuk lagi dengan gerakan-gerakan absurd memain-mainkan gaunnya yang berkobar-kobar seperti api hitam. Lantas ia bergerak-gerak merukuk, berjongkok, dan menungging hingga jadi anjing hitam besar bermata sayu. Anjing jelmaan itu berlari kencang dan pada sebuah titik, menyalak-nyalak berharap kendang telinga langit runtuh hingga tumpah ruah membuang airnya, membanjiri hujannya ke atas bumi. Ketika kepalanya menengadah ke atas, ia kecewa karena setitik air pun tak ada. Matanya silau oleh matahari yang terik tanggung. Anjing itu merebahkan tubuhnya dan menjelma perempuan lagi.
Perempuan itu melayang-layang kem­bali dan terbang. Tubuhnya ditarik ke atas. Terangkat bagaikan Kristus moksa. Perempuan itu hilang ditelan langit. Senyap. Beberapa menit berlalu, tiba-tiba perempuan itu muncul dari sibakan awan kelabu dengan tubuh lemah dan jatuh di atas tanah. Matanya sembab dan agak bengkak. Ia telah memohon-mohon kepada para Dewa, tapi usahanya tak berbuah.
Ia takkan menyerah. Ia meliuk-liukkan tubuhnya lagi. Lalu bersila. Berpindah posisi duduk. Mendadak perempuan itu menjadi tiga. Ketiga-tiganya merapal mantera dengan suara lantang agar langit mendengar riuh rendah suara-suara itu. Pekik suara perempuan-perempuan itu panjang dan mengerikan. Bunyi-bunyian entah dari bahasa apa. Seperti gumaman-gumaman purba. Tapi lagi-lagi ia gagal. Tubuhnya menjadi satu kembali.
Perempuan itu melenggak-lenggokkan tubuhnya. Duduk di atas tanah. Kedua tangannya membentuk pose-pose aneh. Seperti tangan Budha di atas teratai. Kadang saling menggenggam seperti Yesus berlutut di Taman Getsemani. Adakalanya tangannya menengadah serupa Muhammad yang beruzla di Gua Hira. Pada akhirnya ia bersujud dengan tangannya yang penuh rajah-rajah sakral merentang di atas tanah antara gerakan tai chi dan yoga. Antara yin dan yang. Berharap bisa menyedot air dari segala penjuru mata angin. Tubuhnya berbaring dan kedua kakinya menirukan bayi Hagar yang menghentak-hentak tanah Bukit Safa dan Moriah agar sepancur air menyembul dari seliang tanah.
Tapi ia tak berhasil juga. Perempuan itu berdiri dengan dada bergemuruh turun naik diburu napas. Mukanya jadi merah. Rambutnya acak-acakan. Matanya memejam, lalu membelalak. Di bola matanya ada percik bara Jahanam. Liontin safir hitam omkara yang melingkar pada leher jenjangnya menyala-nyala berwarna saga. Memancarkan cahaya remang. Kedua tapak tangannya saling menyatu di dadanya membentuk sembah.
Ia menumbangkan tubuhnya yang kaku. Tumpah di atas tanah dan berhamburan menjadi ribuan gagak. Kepak sayap-sayap mereka membuat badai beradu padu dengan angin padang. Pada kepakan kesekian, burung-burung itu membentuk formasi segi tiga hitam raksasa. Serentak bermanuver menyerbu langit meruncingkan paruh hitamnya yang berkilat-kilat ke arah langit. Bulu-bulu mereka bergerai melawan angin. Ribuan burung itu lenyap ditelan ozon.
Tiba-tiba langit meletup-letup seperti suara mercon yang disulut beberapa kali. Guntur bergemuruh dan petir menyambar-nyambar. Langit kelap-kelip cahaya putih. Angin yang berpusing di padang itu berhenti pada zenit dan mengerucut hingga lenyap, lalu senyap. Padang itu seperti mati dan waktu berhenti.
Rintik gerimis mencercap tanah retak menganga. Hujan datang tiba-tiba. Hujan darah merah pekat mengguyur, menggusur tanah beku, membanjiri pandang yang kering kerontang dan kota itu. Warga kota berhambur keluar rumah mereka yang seperti dicat merah. Meloncat-loncat seperti orang gila. Gembira bermandikan darah amis dan anyir dijilat ramai-ramai sambil menari-nari di jalanan.

Malang, 10 Mei 2011
Penulis adalah mahasiswa Sastra
Indonesia 2008