Oleh Zulkarnain Nasution

Media massa sebagai sarana menyampaikan informasi, pendidikan dan hiburan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat dahsyat. Perkembangan media massa ini tidak terlepas dari pengaruh begitu cepatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya Information Communication and Technologi (ICT) yang mempengaruhi kehidupan dalam masyarakat modern ini.
Kemajuan TIK sangat berkembang pesat, mau tidak mau  mempengaruhi perkembangan media massa, baik cetak, elektronik, maupun media online. Perkembangan media massa ini berpengaruh pada timbulnya persaingan antarsesama media dan antarmedia massa tersebut.
Sebenarnya, persaingan media dewasa ini, antara  media elektronik khususnya televisi, media cetak, media online, dapat dilihat pada kelebihan dan kekurangan serta segmentasinya. Tegasnya, ketiga media tersebut memiliki peminatnya masing-masing dalam mendapatkan informasi.
Di sisi lain, ada asumsi, media online dan media cetak bukan dijadikan sebagai saingan tetapi dijadikan partner untuk menambah cakupan masyarakat dan mempromosikan berbagai acara-acara serta berita yang akan ditayangkan di televisi. Pendapat ini di sepakati oleh Gin-gin (Jurnal Pos, 06/01/11), yaitu media cetak tidak perlu kuatir dengan maraknya media online saat ini. Masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih mendapatkan berita lewat media cetak atau elekronik. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia belum banyak yang bisa mengakses internet secara personal.
Memang ada data yang menyebutkan bahwa media cetak terutama surat kabar menurun dari semula 5,1 juta eksemplar pada tahun 1997 menjadi 4,7 juta eksemplar pada saat ini. (Jurnal Pos, 06/01/11). Berdasarkan data tersebut, menimbulkan istilah “yang cepat mengalahkan yang lambat” bukan lagi “yang besar mengalahkan yang kecil” dalam artian berita yang cepat sampai kepada khalayak itulah yang banyak diminati.
Masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat informasi yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan media komunikasi dan menggunakan teknologi informasi seperti ponsel dan komputer. Masyarakat Informasi yang berbasis data digital pada gilirannya akan mudah melakukan pertukaran data informasi karena saat ini, untuk berhubungan tidak diperlukan lagi saluran yang berbeda-beda untuk berkomunikasi.
Konvergensi media tidak hanya mengubah basis data dan medium yang menyalurkannya, tetapi juga secara keseluruhan mengubah proses produksi, pengolahan, dan distribusi informasi sehingga media-media seperti koran, radio, televisi, dan lain-lain akan berubah dengan bentuk-bentuk media baru yang sepenuhnya digital, seperti televisi, World Wide Web, dan internet.
Lantas bagaimana tren perubahan media dalam masyarakat informasi? Jelasnya lagi, konvergensi komputer, telekomunikasi, dan sistem media massa konvensional membawa berbagai perubahan fundamental dalam fungsi media. Sumber media massa menjadi semakin banyak dan less authoritative and less profesional. Kemampuan media massa untuk bertindak sebagai gatekeeper akan menghilang.
Kemajuan teknologi memunculkan masyarakat prosumen  (masyarakat produsen dan konsumen). Maka, fokus produksi yang dipegang media, kini berpindah ke tangan konsumen. Contohnya, citizen journalism yang sekarang sedang marak di mana-mana. Media sebagai pabrik informasi tidak hanya bersaing dengan sesama produsen, tetapi juga harus berkompetisi dalam pasar dengan khalayak alias konsumennya sendiri.
Persaingan bukan hanya di antara media cetak, media elektronik dan media online tetapi sekarang ini persaingannya dengan khalayak dari ketiga media tersebut yang kini bertransformasi menjadi khalayak prosumen.

Persaingan media ditinjau dari teori Niche
Persaingan antarmedia sangat dipengaruhi oleh segmen pasar. Karena itu, untuk menumbuhkan segmen pasar diperlukan segmen yang sangat spesifik tapi menguntungkan. Di era digital seperti ini, tentu bukan hal yang sulit bagi kita untuk memperoleh berbagai informasi, bahkan yang gratis sekalipun seperti dari internet, TV, radio, atau media lain. Semua informasi yang Anda terima melalui berbagai media tersebut tidak semuanya sesuai dengan kebutuhan public. Bahkan, kadang-kadang, kita perlu berjam-jam sampai berhari-hari mencari informasi yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.  Sampai saat ini, mungkin sudah tak terhitung berapa banyak media atau situs yang Anda kunjungi untuk membangun media tersebut. Namun, dari semua itu, sudahkah sesuai dengan kebutuhan publik?
Oleh karena itu, ada beberapa alasan mengapa media massa cetak, media massa elektronik, dan media online harus sesuai dengan Niche market. Pertama, pengunjung saat ini memiliki kecenderungan untuk mencari informasi dari seorang professional di bidangnya karena dapat memberikan informasi secara komprehensif dan tuntas. Dalam dunia offline, hal tersebut sudah terbukti kebenarannya. Saat ini banyak sekali bermunculan toko-toko yang menjual produk spesifik yang tidak Anda jumpai di mall atau supermarket.
Kedua, akan memudahkan kita mempelajari dan kemudian memberikan informasi berkualitas dan mendetail kepada pasar atau segmentasi publik. Sebagai gambaran, layaknya seorang dokter.Ketiga, memudahkan pengunjung dalam memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Teori Niche merupakan suatu frase kata untuk topik atau subjek bahasan tertentu yang  terfokus dan diminati oleh kalangan tertentu (popular). Dalam bahasa Indonesia, Niche diartikan sebagai bagian dari sektor pasar yang terfokus dan dapat ditargetkan.
Media di Indonesia saat ini telah tumbuh menjadi sebuah komoditas bisnis. Hal ini ditandai dengan komersialisasi pada dunia media massa, baik media televisi, cetak, dan online. Perkembangan media massa di Indonesia selanjutnya diwarnai dengan kompetisi dan persaingan yang ketat. Hidup-mati stasiun media massa, khususnya media televisi swasta, baik nasional maupun lokal di Indonesia dapat dikatakan bergantung pada iklan. Jika tahun-tahun sebelumnya hanya ada lima stasiun televisi swasta yang berebut “kue iklan”, kini dengan munculnya stasiun televisi swasta baru, mau tak mau “kue iklan” tersebut harus dibagi. Pembagian “kue iklan” ini, tentunya menimbulkan kompetisi yang ketat di antara stasiun televisi swasta.
Kehadiran televisi lokal tentunya mempunyai plus dan minus. Televisi lokal  akan hadir dengan isi lokal dan dengan sedikit porsi informasi nasional. Sedangkan televisi swasta nasional seperti RCTI, SCTV, dan Metro TV hadir dengan format nasional dan sedikit informasi lokal.
Selain itu, program-program acara televisi nasional masih sangat bersifat sentralistik. Kebutuhan orang daerah terhadap informasi di sekitarnya sering terabaikan. Namun, dengan kehadiran televisi lokal, penduduk lokal tidak perlu lagi dijejali peristiwa, cerita, dan gambar tentang Jakarta saja seperti contoh ekstrem yang sering kita lihat tiap tahun tentang mudik lebaran orang Jakarta.
Media massa elektronik, khususnya televisi lokal, saya yakini akan tumbuh dan berkembang pesat. Alasannya, pemuatan iklan tentu akan sangat bergantung pada pasar yang ditargetkan. Oleh karena itu, jika produk lokal yang hanya ditujukan pada daerah atau beberapa daerah tertentu, mengapa harus memasang iklan secara nasional? Namun, optimisme akan hidupnya televisi lokal juga bergantung pada potensi daerah. Provinsi-provinsi seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Bali tentunya mempunyai prospek cerah untuk tempat berdirinya televisi swasta.
Dapat dilihat bahwa ketentuan dalam UU Penyiaran tampaknya sesuai dengan prinsip dasar diversity of ownership dan diversity of content. Dengan demikian, terbuka peluang munculnya keragaman tayangan televisi, peluang masyarakat lokal menikmati siaran tentang segala hal yang terkait erat dengan kehidupan di tempat mereka tinggal.
Berbicara soal bisnis media massa lokal, tentunya kita dapat mengkajinya melalui sebuah ekologi televisi. Stasiun-stasiun televisi swasta nasional dan lokal di Indonesia sebenarnya tak berbeda dengan makhluk hidup. Mereka memerlukan sumber-sumber kehidupan yang menunjang kelangsungan hidup media. Dengan sumber kehidupan media yang terbatas, dapat dipastikan kehidupan televisi akan terancam. Oleh karena itu, dapat dipastikan dengan kondisi saat ini, ketika persaingan (kompetisi) di antara stasiun televisi begitu ketat, maka kemungkinan akan ada stasiun televisi swasta nasional dan lokal yang mati.
Kompetisi antarmedia saat ini dapat dicermati mengarah pada dua hal. Pertama, ekologi media massa elektronik seperti  stasiun televisi swasta di Indonesia. Untuk memahami ekologinya, sebuah stasiun televisi swasta harus punya orientasi yang jelas dengan memperhatikan sumber-sumber penunjang media. Paling tidak ada tiga sumber penunjang kehidupan televisi yang harus diperhatikan dalam ekologi televisi di Indonesia saat ini, yakni khalayak, isi, dan modal (Dimmick, Rothenbuhler & Sendjaja, 1988).

Persaingan antarsesama media cetak, media elektronik, dan media online
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 230 juta jiwa, semestinya pasar media cetak terbentang luas karena hingga 2008, total tiras media cetak di Indonesia baru mencapai 19,08 juta eksemplar. Jumlah itu terdiri atas surat kabar harian 7,49 juta eksemplar, surat kabar mingguan 1,03 juta eksemplar, tabloid 4,62 juta eksemplar, majalah 5,92 juta eksemplar, dan buletin 7.800-an eksemplar. Kenyataannya, pangsa pasar media cetak justru terasa semakin sempit, baik karena terjadinya persaingan antarmedia cetak sendiri (sekitar 950 penerbit) maupun persaingan antara media cetak dan media elektronik serta media baru (internet).
Menurut survey Nielsen Media Research di sembilan kota di Indonesia (populasi 43,87 juta dengan umur 10 tahun ke atas), pada kuartal III 2009, konsumsi koran justru mencapai titik terendah dalam  lima tahun terakhir (awal 2005 mencapai 28%, tetapi terus menurun tinggal 18% pada kuartal III 2009 (Kompas.com, 19/10/02).
Konsumsi majalah pun turun dari 20% menjadi 11%, tabloid turun dari 20% menjadi 13%).  Sebanyak 34% dari pembaca koran adalah pengguna internet dan 41% pembaca koran juga mengakses berita lokal dari internet. Sejak 2006, persentase pengguna internet yang berusia muda terus bertambah, dari 12% menjadi 20% (usia 10-14 tahun) dan dari 24% menjadi 33% (usia 15-19 tahun), sedangkan untuk usia 20-29 tahun turun dari 40% menjadi 30% (Kompas, 19/10/02).
Sejalan dengan itu, tumbuh generasi yang disebut dengan generasi C (umur antara 10-35 tahun dengan ciri khas gandrung terhadap penggunaan media digital). Mereka yang bersikap sangat terbuka terhadap berbagai macam media dan merasa berumur 24 tahun itu disebut generasi C karena memiliki ciri: content creators, connected, co-creation, customize, community, curious, dan control “C” (suka meniru atau mencontoh figur idolanya).
Kalau sekarang semakin banyak anak muda menggunakan internet, ke depan semakin banyak anak di bawah usia sepuluh tahun yang juga gandrung mengakses internet. Mereka disebut generasi Y atau digital native yang sejak balita banyak bersentuhan dengan teknologi digital sehingga tidak akrab dengan media cetak. Kita, para orang tua akan kewalahan mengajak mereka membaca koran atau media cetak yang lain. Selain sudah kecanduan nonton televisi, ke depan mereka akan juga semakin gandrung atau berakrab-akrab dengan internet atau berbagai jenis media sosial seperti Facebook dan Twitter. Prospek suram itulah yang memunculkan sikap pesimistis.
Di lain pihak, banyak pula pengamat dan praktisi media yang optimistis. Setidaknya hal itu tergambar dari hasil studi perilaku masyarakat dalam mengonsumsi media massa seperti yang dilakukan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bekerja sama dengan SPS Pusat pada pertengahan 2009. Penelitian di lima belas kota besar di Indonesia itu melibatkan 2.971 responden yang dipilih secara acak distratifikasi tidak proporsional pada masing-masing kota, seimbang secara gender dan kategoris, remaja usia 12-18 tahun, dan dewasa usia di atas 18 tahun (Kompas.com, 10/10/02).  Ternyata animo membaca media cetak masih relatif besar. Media cetak masih bisa diharapkan kelangsungan hidupnya asalkan mampu meningkatkan isi/kualitas berita untuk menandingi keunggulan media online dan televisi. Kedalaman berita (indepth news) menjadi modal masa depan media cetak.
Media cetak lokal bisa menjadi “psikografis” masyarakat. Surat kabar mengidentifikasi dirinya dengan masyarakat kota atau daerah bersangkutan. Media cetak tetap berpotensi menyajikan berita-berita yang lebih luas, mendalam, dan lengkap. Media cetak masih menjadi sarana untuk mengomunikasikan jati diri si pembaca. Media cetak bisa menjadi sarana lingkungan pergaulan sosial karena media is the extention of yourself.
Disimpulkan pula, tidak semua kebutuhan informasi terpenuhi melalui televisi dan media online. Orang masih terdorong membaca media cetak dengan harapan dapat menggali informasi lebih mendalam. Meski pelaku media cetak optimis media online belum menjadi ancaman serius dalam waktu dekat, tetapi kebijakan bisnis media cetak tak urung dibayang-bayangi kekuatiran tren penurunan pembaca media cetak. Media cetak melakukan antisipasi dengan kebijakan penerbitan dua versi, media cetak dan online. Penerbitan media online umumnya lebih bersifat reaktif untuk menyaingi kecepatan pemberitaan media online yang memang secara sadar menjadikan dirinya sebagai situs berita, contohnya persaingan antara media massa cetak nasional dengan media massa cetak lokal.
Temuan lain yang menarik, potensi kebangkrutan media lokal bukan akibat maraknya media online, melainkan per­saingan tajam di kalangan grup media besar di daerah. Kualitas media profesional tidak bisa terjadi jika kesejahteraan wartawan rendah, setidaknya pada tingkat standar yang se­cara paralel mencerminkan kompetensi dan kemampuan profesional wartawan.
Studi tersebut memberikan beberapa rekomendasi. Fakta menunjukkan, media lokal masih unggul. Sajian isi berita yang menekankan kedalaman dan kekuatan melalui laporan investigatif dan liputan mendalam merupakan syarat penting untuk keberlangsungan hidup media cetak.
Penulis adalah pengamat sosial
dan dosen PLS FIP