Menyambut hadirnya sarjana
dan ilmuwan baru

Oleh M. Dahlan Ridlwan

Satu tahapan lagi dalam proses mencari ilmu telah dilalui oleh para pencari ilmu. Setelah selesai menempuh studi di jenjang-jenjang sebelumnya, sekarang mereka diwisuda sebagai sarjana. Wisuda harus disikapi dengan penuh kesyukuran dan ketundukan hati kepada Allah bukan dengan hura-hura apalagi mengumbar syahwat, karena wisuda bukan akhir dari perjalanan seorang ilmuwan, melainkan titik awal sebagai orang yang menyandang gelar baru di pundaknya, yaitu “sarjana”, alumni perguruan tinggi. Sarjana masih menjadi dambaan bagi setiap pencari ilmu. Ia menjadi kebanggaan, kelegaan, bahkan mungkin kepuasan. Dengan predikat itu dia dapat menduduki kedudukan di lingkungan masyarakat.

Kedudukan ilmuwan
Dalam berbagai hadist, Rasulullah SAW memuji ilmuwan lebih dari yang lain. Kedudukan mereka seperti bulan di antara bintang-bintang. Tingkat ibadat mereka lebih tinggi daripada yang lain. Allah pun mendudukkan mereka lebih tinggi dari makhluk yang lain sekalipun jin yang sakti dan berilmu tinggi sebagai mana kita temukan dalam An-Naml: 38-40:
Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku se belum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”  Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”  Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AIKitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia”.
Kedudukan ini tidak diberikan kepada sembarang ilmuwan. Ini hanya diberikan kepada mereka yang memahami benar hakikat ilmu dan ilmu hakikat. Mereka yang akan memeroleh anugrah ini adalah yang berhati suci, bersih dari kekotoran hati, dan jauh dari maksiat. Ilmu adalah cahaya Allah. Ia adalah suci. Sesuatu yang suci tidak akan bercampur dengan yang kotor. Kepada merekalah Allah akan menurunkan kebenaran hakiki dari suatu ilmu karena dengan ilmu yang dimilikinya dia akan mengerti siapa sebenarnya dia dan dari mana dia memeroleh ilmu itu. Dengan ilmunya, dia akan tahu siapa Tuhannya dan bersyukur dengan ilmu yang dimilikinya. Dengan ilmunya pula dia akan tahu kebenaran hakiki yang menjadi tujuan setiap orang. Itulah yang akan membawa kebahagiannya di dunia dan akhirat .

Syarat yang harus dipenuhi bagi para pencari ilmu
Agar ilmu yang didapatnya bisa benar-benar bermanfaat bagi dirinya atau lainnya, beberapa syarat harus dipenuhi oleh mereka yang menginginkan ilmu. Menurut Imam Al- Ghozali, syarat pertama yang harus dimiliki oleh para pencari ilmu adalah hati yang suci dan bersih dari kekotoran sifat-sifat tercela, jauh dari sifat sombong, riya’, hasud, dengki, suka marah, dan gila harta. Sifat-sifat ini akan menutup hatinya dari menerima hakikat kebenaran ilmu. Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar dengan sanad yang sahih, Rasulullah SAW ditanya: “siapakah orang yang baik itu?” Beliau menjawab: “Yaitu setiap mukmin yang makhmumul qalbi. Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud dengan makhmumul qalbi?” Rasulullah SAW menjawab:  “Dia adalah orang yang bertakwa, yang bersih hatinya, tidak menipu, jahat, culas, dengki, dan hasud.”
Sifat-sifat ini dan akhlak yang kotor menghalangi perolehan ilmu karena hatinya tertutup olehnya seperti cermin yang tidak dapat menangkap bayangan di depannya karena kekotoran yang melekat di permukaannya. Bagaimana pun benarnya ilmu, cemerlangnya cahaya yang dipancarkan, ia tidak akan dapat menangkapnya. Inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Barang siapa yang bergelut dengan dosa, akal warasnya akan memisahkan diri darinya dan tidak akan kembali selamanya.”
Sekalipun hadist ini tidak ditemukan sumbernya oleh Imam Al-Ghozali, tetapi beliau mengutipnya untuk menunjukkan betapa berbahayanya ilmuwan yang suka berbuat maksiat, hatinya kotor, culas, dan penuh rekayasa. Bahaya yang ditimbulkan oleh ilmuwan yang berhati kotor lebih dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang berasal dari orang bodoh. Rasulullah SAW mengingatkannya dalam sabdanya:
“Kehancuran umatku adalah ulama (ilmuwan) yang jahat dan penyembah yang bodoh. Sejelek-jeleknya orang jelek adalah ilmuwan yang jelek akhlaknya dan sebaik-baiknya orang baik adalah ilmuwan yang baik akhlaknya.” (Ad-Darimi dari Al-Ahrash bin Hakim)
Semuanya akan teratasi manakala dia mau berjuang dengan kesungguhan hati untuk patuh dan taat kepada Allah serta menghindarkan diri dari keinginan syahwaniyah, berjihad melawan godaan ambisi duniawinya demi mencapai rida Allah, karena inilah jalan yang dapat membersihkan dan menjernihkan hatinya dari kekotoran jiwa. Ini yang dimaksudkan Allah dalam Al-Ankabut: 69:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Bahkan Rasulullah SAW menyatakan: “Barang siapa yang berbuat dengan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang tidak diketahui.”
Dengan hakikat ilmu yang dimilikinya, dia mengetahui banyak hal yang tidak diketahui oleh orang lain. Dia mempunyai kelebihan ilmu dari yang lain karena Allah menghendakinya.

Etika seorang ilmuwan
Dengan ilmu yang dibarengi hati yang suci dan cahaya Allah serta sinar kebenaran dari-Nya, Allah memberinya kesadaran untuk berpekerti luhur, akhlaknya terpuji meski dia berilmu tinggi, pengetahuannya luas dan pribadinya terhormat. Dia menyadari keterbatasan ilmunya dan selalu memohon tambahan ilmu kepada Allah seraya berdoa: “Ya Allah, ajarilah aku apa yang bermanfaat bagiku dan berilah manfaat apa yang Engkau ajarkan padaku, dan tambahilah aku ilmu.” Ilmu yang dimilikinya tidak menjadikannya sombong dan tidak memandang rendah orang lain karena keangkuhan itu menjadi tanda kebodohan dan kepicikan akalnya sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib: “Seseorang tidak dikatakan berilmu sehingga tiga hal ada dalam diri nya; dia tidak merendahkan orang yang di bawahnya, tidak dengki kepada orang yang di atasnya, dan tidak meminta harga dari ilmu yang dimilikinya.”
Meskipun dia sudah pandai dan berilmu, tetapi dia tetap menghormati orang yang menjadikannya berilmu seperti yang dicontohkan oleh Imam Syafii yang tidak ber-qunut di mesjid Nabawi karena menghormati gurunya, Imam Malik meski beliau telah tiada.  Selanjutnya, dia berusaha agar ilmunya bermanfaat bagi lainnya sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Ilmuwan itu ada tiga macam. Pertama, ilmuwan yang hidup dengan ilmunya dan dengannya yang lain hidup bersamanya. Kedua, ilmuwan yang hidup dengan ilmunya dan tidak seorang pun bisa hidup dengannya. Ketiga, ilmuwan yang orang lain bisa hidup dengan ilmunya tetapi ilmunya itu menghancurkannya.”
Pekerti mulia yang ditunjukkan oleh ilmuwan sejati adalah menjaga benar anugerah yang dimilikinya. Ilmu yang ada untuk dimiliki sebagai bekal hidupnya, bukan sekadar mengetahui apa yang tidak diketahui, kemudian menyukurinya dengan sepenuh jiwa.

Kewajiban seorang sarjana
Di sisi lain, selain berpengetahuan luas, didikan yang diterima selama ini seharusnya menjadikannya berbudi luhur. Setinggi atau serendah apa pun derajat pendidikan yang diterima, seluas atau sesempit apa pun ilmu yang dimiliki, akhlak mulia dan budi pekerti menjadi kriteria kehormatan seorang ilmuwan. Orang yang akhlaknya jelek, tidak mempunyai kehormatan diri. Dia tidak layak menjadi guru. Rasulullah SAW melarang kita untuk berguru kepada guru yang berakhlak buruk. Dalam hadist yang diceritakan oleh Abu Naiem dalam “Al-Hilyah” dan Ibnu Jauzi dalam “Al-Maudhu’at”, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berguru kepada setiap guru kecuali guru yang mengajak lima hal: dari ragu ke yakin, dari riya’ ke ikhlas, dari cinta dunia ke zuhud, dan dari permusuhan ke persaudaraan.”
Jika selama ini banyak dikeluhkan buruknya kelakuan anak didik kita, sebagai guru mungkin kita perlu bercermin diri, intropeksi, dan muhasabah terhadap diri dan apa yang telah kita kerjakan. Mungkin ada yang salah dalam diri kita. Akhlak dan kepribadian kita tidak pernah kita up grade, ibadat kita tetap itu-itu saja, Al-Quran tidak setiap hari kita baca, seminggu mungkin tidak tersentuh, salat tahajjud kadang ya kadang tidak,  pencerahan hati jarang kita lakukan, sementara maksiat selalu menyertai kita dan jalan terus. Mungkin kita terbuai dengan gelar yang kita miliki. Dengannya kita menjadi sombong dan lupa diri atau arah pendidikan kita  yang terlalu memberat kepada kognisi, akal dipacu agar cerdik dan pandai, serta nyaris mengabaikan budi pekerti. Mungkin kita perlu kembali kepada bahan ajar pada tahun 50an-60an yang masih mencantumkan budi pekerti sebagai bahan ajar agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa yang bermartabat. Ini perlu kita lakukan agar kita dan anak cucu kita benar-benar menjadi ilmuwan yang berbudi luhur dan berpengetahuan luas. Semuanya berpulang kepada kita, we will or not.
Penulis adalah dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Sastra