Oleh Sholahuddin Al-Fatih

Sekolah berwawasan lingkungan kini sudah menjadi komuditas bisnis untuk mempromosikan lembaga yang bersangkutan. Para wali murid berbondong-bondong menyekolahkan anak mereka di sekolah yang memilki brand tersebut. Bahkan, di sebuah SD Muhammadiyah  kota Surabaya, “hijau, bersih, dan sehat” dimasukkan dalam kurikulum untuk mata pelajaran muatan lokal mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik dengan memasukkan mata pelajaran lingkungan sehat sebagai muatan lokal di tingkat pendidikan SMP dan sederajat.
Ide tersebut memang sangat brilian, mengingat semakin tingginya pengaruh pemanasan global bagi kehidupan. Namun, akan lebih arif jika hal tersebut tidak hanya dijadikan sebagai ajang promosi untuk menaikkan rating sekolah. Terlepas dari semua itu, civitas akademika di lingkungan kam­pus nampaknya juga membutuhkan hal tersebut.
Kampus merupa­kan wadah dari agent of change. Jadi, sudah sepantasnya materi lingkungan sehat dimasukkan dalam area kampus. Hal itu merupakan wujud partisipasi dalam pelestarian lingkungan demi keberlangsungan hidup generasi men­datang.
Sebagai wu­jud partisipasi, alang­kah baiknya jika mo­ment­um perayaan ulang tahun UM juga mengagendakan acara penanaman pohon untuk mencegah pengaruh buruk pemanasan global. Selain itu, minimal sebulan se­kali diadakan sum­­­­ba­ngan dengan na­ma “koin untuk bumi” yang bertujuan un­tuk mengumpulkan uang koin dari para civitas akademika di sekitar kampus. Hasil dari koin untuk bumi tersebut selanjutnya digunakan untuk kegiatan penyelamatan lingkungan. Mi­salnya dengan membeli tem­pat sampah baru yang lebih bervariasi sehingga kelak di kampus terdapat minimal enam tempat sampah berbeda dengan klasifikasi untuk sampah basah, sampah kering, sampah organik, sampah botol-botol bekas, sampah gelas dan bahan dari kaca lainnya, serta sampah koran dan kertas bekas.
Ketika sampah tersebut sudah terpilah, maka proses daur ulang dapat dilakukan dengan mudah. Sampah basah dan organik bisa digunakan sebagai kompos, botol bekas diolah kembali menjadi plastik kresek, sampah gelas dan bahan dari kaca dapat dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan bernilai seni tinggi, kertas dan koran bekas diblender kemudian diolah menjadi kertas yang siap pakai kembali.
Selain dapat mengurangi volume sampah, jika hal tersebut ditekuni secara konsisten juga dapat menghasilkan rupiah. Tentu, uang yang diperoleh dapat dimanfaatkan kembali untuk program penanganan lingkungan.
Kampus juga merupakan produsen tebesar penghasil limbah. Ribuan lembar kertas digunakan untuk tugas harian, makalah, skripsi, tesis, atau disertasi. Alangkah bijaknya jika untuk pe­ngumpulan tugas-tugas tersebut berupa soft copy yang bisa dikumpulkan lewat flashdisk, CD, atau e-mail. Penggunaan kertas yang berlebihan akan semakin memperpuruk kondisi hutan Indonesia karena kertas notabene dibuat dari bubur kayu.
Dengan adanya upaya tersebut, maka jargon The Learning University tidak hanya akan muncul di dalam area kampus saja, tetapi juga bisa diaplikasikan secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Selain sebagai upaya untuk menyelamatkan lingkungan, program tersebut juga diharapkan mampu mempererat hubungan persaudaraan antara civitas akademika UM dengan warga sekitar.
Untuk mewujudkan ide mulia tersebut tentu tidak mudah. Namun, jika ada keinginan yang kuat dari setiap individu serta kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, maka tidak mustahil jika hal tersebut dapat dilakukan. Butuh kerja sama dari setiap lapisan civitas akademika demi tercapainya kampus hijau yang bersih dan sehat.
Harapannya ke depan, selain unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pembelajaran, UM juga unggul dalam wawasan tentang lingkungan hidup. UM sebagai gudangnya para pendidik profesional nampaknya tidak harus menunggu permendiknas untuk memasukkan pendidikan lingkungan sehat ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
Dengan adanya upaya menciptakan kampus yang hijau dan sehat, ke depannya UM akan bisa dijadikan sebagai pemimpin atau pilot project dalam masalah penanganan lingkungan. Jangan menunggu orang lain untuk berubah karena sesungguhnya perubahan terbesar itu terletak pada diri kita sendiri. Mulailah dari hal-hal yang kecil, seperti membiasakan membuang sampah di tempatnya, mengurangi penggunaan kertas jika tidak diperlukan, dan tidak merusak tumbuhan hidup yang beresiko memicu pemanasan global. Tidak ada kebaikan yang bernilai sia-­sia. Satu hal kecil yang kita lakukan saat ini berdampak besar bagi kelangsungan hidup generasi kita mendatang.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman 2010