Gedung Sasana Budaya mendadak gelap. Bukan karena pemadaman listrik yang sering terjadi di kota Malang, melainkan bagian dari pementasan Teater Pelangi pada hari Kamis (01/03). Para penonton yang hendak masuk harus berhati-hati mencari tempat duduk, salah langkah bisa jadi menginjak tangan atau kaki penonton lainnya. Memang tidak seperti pementasan-pementasan drama umumnya, tempat duduk yang disediakan di dalam gedung adalah tempat duduk lesehan dengan panggung yang berada di tengah-tengah penonton sehingga jarak antara pemain dengan penonton relatif dekat.
Dengan tata panggung yang rapi, miniatur-miniatur pintu rumah, efek lampu sorot lengkap serta properti kursi bambu, drama yang mengusung judul “Blokeng” ini, mampu membius perhatian penonton. Secara keseluruhan, teater yang di­sutradarai oleh lima orang ini menceritakan tentang kebingungan para penduduk desa yang digegerkan dengan hamilnya seseorang bernama Blokeng. Dia adalah seorang wanita yang kurang waras, suka tidur di tempat-tempat berbau seperti pasar, selokan dan parit.
Cerita yang diilhami dari cerpen Ahmad Tohari ini mencapai klimaks saat Blokeng ditanyai oleh seorang hansip tentang siapa orang yang telah menghamilinya. Dia menjawab orang yang menghamilinya adalah orang yang memakai sandal jepit. Gegerlah seluruh laki-laki yang ada di desa tersebut. Semua sibuk membuang sandal jepitnya karena takut dituduh menghamili Blokeng. Setelah sandal jepit, Blokeng mengaku orang yang menghamilinya membawa senter. Semua laki-laki kembali sibuk membuang atau merusak senternya.
Saat isu mereda, Blokeng yang sejatinya perempuan biasa melahirkan anaknya. Pak lurah yang dari awal sudah kelabakan mencari solusi jitu untuk mencari tahu siapa ayahnya akhirnya menyerah dengan mengumumkan bahwa anak yang dilahirkan Blokeng diangkat sebagai anaknya sendiri. Mendadak Blokeng membuka kopyah pak Lurah lalu berkata, “Hihihihihi, bukan ini, bukan orang ini. Gak gundul, gak gundul, bukan ini…” Para lelaki desa tersebut cepat-cepat pulang dari acara tersebut dan segera menggundul kepala mereka dan membabat habis rambut yang menempel di kulit kepala mereka.
Acara pertunjukan diakhiri dengan sara­sehan atau meet and greet yang menawarkan penontonnya untuk bertanya seputar pro­duksi, latihan dan perekrutan pemeran. Dialog berlangsung seru sehingga acara penutup tersebut bukan hanya jadi ajang diskusi, tetapi dijadikan ajang penyampaian kritik dan saran yang membangun.Tanti