Warung bercat biru itu nampak lengang saat kru Komunikasi datang. Hamparan rumput dan rimbunan pohon tumbuh serampangan di depannya. Tampak rangkaian kursi dan meja dari beton yang dibuat melingkar di antara jalanan berpaving yang ditata berundak.
Sekumpulan mahasiswa asyik bercanda dengan gerombolannya di atas kursi, bahkan beberapa lainnya nekat duduk berjejer di atas beton pembatas jalanan, sibuk menghabiskan makanan di piringnya. Sisanya, beberapa mahasiswa yang melamun atau sibuk mengecek ponselnya. Kantin Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) yang bertetangga dengan asrama puteri UM itu tidak terlihat ramai seperti biasanya. Maklum, jam istirahat sudah lewat. Pengunjung yang biasanya berlama-lama duduk di sana sudah kembali ke kelasnya. Yang tersisa hanya beberapa mahasiswa yang mungkin kebetulan tidak ada kelas atau sengaja meliburkan diri demi mengisi perut.
Kru Komunikasi berjalan tergesa menuju salah satu warung dengan cat biru mencolok yang menempati ruangan paling pojok di antara deretan kantin di sana. Tampak seorang perempuan paruh baya duduk sembari mengamati pengunjung kantin FIP. Sesekali, perhatiannya teralihkan dengan beberapa mahasiswa yang memesan atau membayar makanannya. Melihat gelagat kami yang sedikit tidak biasa, dia melongokkan kepalanya dan serta-merta menyunggingkan senyum ramah.
Kikuk, kami mengutarakan maksud kedatangan kami setelah menyapa dengan sedikit basa-basi. “Minta izin mau wawancara, Buk. Boleh ya?” Tiga detik yang hening dan keukeuh. Perempuan paruh baya itu tampak kaget sekaligus setengah tidak percaya. “Damel nopo, Mbak?” lanjutnya ragu. Kami pun dengan lancar menyebutkan majalah Komunikasi seraya terang-terangan mengacungkan buku dan pulpen.
Dan dimulailah wawancara menarik siang itu. Perempuan pemilik warung yang tengah kami kunjungi ini menyebutkan namanya, Sugianto, yang merupakan adaptasi dari nama suaminya. Nama aslinya sendiri, Lilik Sumiati. Ibu Sugianto tersenyum lagi seraya memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. Walaupun sibuk melayani pengunjungnya, kami bisa melihat keseriusannya menjawab pertanyaan kami dari sorot matanya yang melirik kami sambil tersenyum ringan beberapa kali.
Ibu Sugianto merupakan salah satu pemilik warung yang letaknya paling selatan di antara jajaran warung di kantin FIP. Senioritasnya tidak diragukan lagi, 24 tahun berjualan di kawasan UM. Di warung yang luasnya hanya 4×3 meter itu, Ibu Sugianto menata makanannya di atas rak panjang berwarna biru, selaras dengan warna dinding warungnya.
Ibu Sugianto tidak berjualan seorang diri. Anaknya, Lia Tania, yang merupakan alumnus Pendidikan Luar Sekolah (PLS) UM, juga ikut membantu. Benar saja, memang ada seorang perempuan lagi di warung itu. Perawakannya yang mungil sempat membuat kami salah mengira Lia masih sebaya dengan para mahasiswa di sana. Lia, yang namanya disebut, tersenyum sumringah menyapa beberapa pelanggan yang berebutan menyambut gelas-gelas es yang diulurkannya. Rambutnya dipotong pendek dengan cat merah. Ia kemudian disibukkan dengan deretan makanan yang harus diantarnya ke sejumlah pengunjung di depan warungnya.
Sambil melanjutkan perbincangan ber­sama Ibu Sugianto, kami menengok dan mengabsen satu per satu makanan di atas rak. Ada tahu telor, tempe penyet, dan lalapan. Harganya pun cukup terjangkau. Misalnya, satu porsi tempe penyet dengan sambal tomat bisa dinikmati dengan Rp3.500,-. Saat ditanya perihal menu primadona di warungnya, Ibu Sugianto menunjuk dengan antusias sepiring tahu telor siap antar di atas mejanya. “Ini favoritnya, Mbak.”
Selain beberapa makanan di atas rak, tampak juga beragam minuman saset yang bergelantungan sesak di depan jendela warungnya, seperti teh hangat, kopi, susu, dan sari buah dalam berbagai merk. Rata-rata minuman tersebut dijual dengan harga Rp2.000,-/gelas. Sangat terjangkau dan sesuai dengan budget mahasiswa.
Setelah sederet menu makanan dan minuman, nampaklah sepetak ruangan yang mungkin hanya berukuran 1×2 meter. Panci, wajan, dan berbagai perabot memasak ditata berjajar. Beberapa alat masak yang tengah digunakan terlihat sedikit kotor karena terciprat noda masakan. Sekalipun sedikit sesak, ruang memasak itu terlihat cukup efisien. Lia yang baru saja kembali dari mengantarkan makanan, kini repot dengan makanan yang sedang digorengnya. Dengan cekatan, dia juga menata makanan di atas piring dan menyeduh minuman dalam gelas.
Ibu Sugianto melanjutkan ceritanya dengan menyebutkan se­jarah berdirinya warung milik­nya. Awalnya, warungnya tidak berlokasi di sana, tetapi di dalam gedung FIP. Seiring dengan pembangunan gedung FIP, warungnya pun dipindahkan di sebelah selatan luar gedung FIP. Menurutnya, hal itu lebih menguntungkan karena lokasinya yang lebih mudah dijangkau oleh mahasiswa di luar fakultas.
Mendengar penyataan Ibu Sugianto, kami serentak menoleh dan mengawasi lokasi warungnya. Lokasinya memang strategis. Pepohonan yang rindang dengan beberapa jalan setapak berundak, kursi dan meja dengan bentuk lingkaran, juga lokasinya yang luas. Belum lagi ditambah dengan harga merakyat dan pelayanan yang ramah, mahasiswa pasti tidak punya alasan menolak makan di tempat itu.
Lagipula, rumahnya juga masih tetap dekat dengan lokasi warungnya yang sekarang. “Itu lo, Mbak. Dekat kok, kelihatan dari sini. Jalan Ambarawa gang sebelas,” jelasnya sambil menunjuk deretan bangunan di sebelah barat asrama puteri UM. Ibu Sugianto kembali sibuk melayani dua mahasiswa yang memesan makanan. Setelah dua menit, Ibu Sugianto kembali bercerita tentang suaminya yang seorang pegawai di UM, juga dua anaknya yang membantunya mengangkuti makanan menuju warung. “Kan cedek, Mbak. Dadi yo nggawe gerobak,” ungkapnya dengan logat Malang kental.
Topik bergulir, kali ini tentang kesan Ibu Sugianto berjualan di warung itu. Selama 24 tahun berjualan, Ibu Sugianto mengaku banyak suka duka yang dialaminya. Di antaranya, mahasiswa yang ngutang atau bahkan tidak membayar makanan.
Dengan senyum mengembang, dia menuturkan, “Anggap saja sedekah, Mbak. Itu sedekah yang belum sempat saya bayar.”
Kami pun beralih dengan pertanyaan mengenai kesehariannya dalam mem­persiapkan menu makanan. Ibu Sugianto memasak bumbu masakannya seminggu sekali. Itu sebabnya dia merasa tidak kewalahan menyiapkan makanan yang dijualnya sehari-hari.
Ditanya tentang penghasilan sehari-harinya, lagi-lagi dia menyunggingkan senyum. Tampak sekali, dia bahagia dengan kehidupannya. Dengan berjualan di kantin FIP, Ibu Sugianto mampu membiayai hajat hidupnya bersama suami dan dua anaknya. Bahkan, dia bisa menunaikan umroh dari hasil penjualan tersebut.
Ibu Sugianto sudah merasa nyaman berjualan di kantin FIP. Ke depannya, ia berharap bisa terus berjualan di sana. Ia juga mengeluhkan naiknya harga BBM yang pastinya akan memengaruhi harga makanan di kantin­nnya.Ajeng/Tanti/Fida/Atif/Iin