Oleh Yusuf Hanafi
AAL, siswa SMK di Kota Palu, telah menjalani sidang perdana pada 20 Desember 2011 karena didakwa mencuri sepasang sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi pada November 2011. Oleh jaksa penuntut umum, sandal jepit warna putih itu ditaksir harga maksimalnya hanya Rp. 30 ribu. Gara-gara sandal jepit bekas itu, AAL yang masih berumur 15 tahun terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun.
Kasus sandal jepit yang menimpa AAL sebenarnya mirip dengan yang dialami Nenek Minah (55 tahun) yang didakwa mencuri tiga buah kakao di Kabupaten Banyumas pada November 2009. Nenek Minah terancam hukuman penjara selama enam bulan hanya karena mencuri buah kakao yang nilainya tidak sampai Rp. 10.000,00. Sementara Manise (39 tahun) harus mendekam di penjara selama 24 hari karena mencuri dua kilogram buah kapuk di Kabupaten Batang pada akhir 2009 silam.
Sepintas kasus-kasus tersebut di atas sepertinya memperlihatkan hukum memang benar-benar ditegakkan. Namun apakah hal itu sudah memperlihatkan sisi keadilan masyarakat?
Hukum di Indonesia layaknya pisau dapur yang hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul di atas. Sebagai contoh, terdakwa korupsi miliaran rupiah, seperti Arthalita Suryani dan Gayus Tambunan, kerap mendapatkan hak-hak istimewa saat menjalani proses hukum. Ada yang seenaknya bepergian ke luar negeri, mendapatkan fasilitas penjara layaknya hotel, atau sejumlah keistimewaan lainnya.
Sebenarnya hal ini telah diperingatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Saat itu Usamah bin Zaid membujuk beliau agar tidak menghukum seorang puteri bangsawan Bani Makhzum yang kedapatan mencuri. “Apakah kalian akan mengabaikan satu hukum dari hukum-hukum Allah?” Kemudian beliau berdiri, lantas berpidato, “Wahai umatku, sungguh telah membinasakan generasi sebelum kalian kebiasaan mereka. Jika orang berpangkat yang melakukan tindak pencurian, mereka mengampuninya. Sebaliknya, jika orang lemah melakukan tindak pencurian, maka mereka menjatuhkan hukuman. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya” (HR. Al-Bukhari).
Jika dihitung-hitung secara jujur, uang yang dikorupsi para penjahat itu bisa dibelikan ratusan ton kakao, kapuk, atau jutaan pasang sandal jepit. Jika memang benar-benar ditegakkan dan dijunjung tinggi, hukum seharusnya seperti belati, tajam di ujung dan di kedua sisinya. Masyarakat kecil yang pernah terjerat hukum mungkin rela menjalani hukumannya asal para koruptor juga mendapat hukuman setimpal.
Kasus “sandal jepit” di Kota Palu, dan beberapa kasus kriminal kelas teri lain yang divoniskan atas kaum alit, jelas menunjukkan keberpihakan hukum (baca: birokrasi) terhadap kaum elit semata. Tidak kalah penting untuk dipertanyakan di sini, apakah setiap “kesalahan” meski amat remeh dan sepele (seperti pencurian sepasang sandal, beberapa buah kapuk dan kakao yang nilainya tidak seberapa), harus selalu dibawa ke pengadilan?
Merespon pertanyaan di atas, sungguh relevan jika kita mencermati Q.S. al-Syura:40 berikut, “Balasan dari kesalahan adalah hukuman yang setimpal. Namun barangsiapa bersedia untuk memaafkan dan berdamai, maka Allah yang akan mengganjarnya dengan pahala. Sesung­guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Secara tegas, ayat di atas menyatakan bahwa penyelesaian kesalahan tidak selalu harus melalui jalur hukum, tetapi dapat pula secara damai dan kekeluargaan dengan cara memberi maaf, terlebih lagi terhadap kesalahan-kesalahan sepele nan remeh.
Ayat senada juga dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Nahl:126: “Jika kalian menjatuhkan hukuman, maka hukumlah sesuai dengan kesalahannya. Akan tetapi jika kalian bersabar (baca: memaafkan), maka hal itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” Sekali lagi, dalam ayat di atas, Allah SWT menekankan prinsip keadilan dalam penyelesaian masalah, dan sedapat mungkin mengedepankan cara-cara damai dan kekeluargaan yang dibarengi dengan kesabaran dan jiwa besar.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya pe­ne­gakan hukum, tetapi dengan selalu mem­­perhatikan kemungkinan untuk pe­nyelesaiannya melalui cara-cara damai di luar pengadilan, sebagaimana H.R. al-Baihaqi berikut: “Tegakkanlah supremasi hukum semampu kalian. Namun jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim (di luar peradilan), maka berikanlah kepadanya. Seorang hakim lebih baik keliru memberikan pengampunan dari salah dalam menjatuhkan hukuman.”
Perlu dicatat di sini, Islam di saat kemunculannya, oleh banyak penulis sejarah, bukan saja dianggap sebagai agama baru (sebagai revisi atas dua agama samawi sebelumnya, Yahudi dan Nasrani), melainkan juga suatu kekuatan pembebas umat manusia (liberating force).
Aspek inilah yang menyebabkan Islam dahulu begitu cepat tersebar di Semenanjung Arabia, suatu masa di mana perbudakan dan penghambaan manusia merupakan fenomena dominan di muka bumi. Perlu dicatat bahwa pemeluk Islam yang pertama-tama (as-sabiqun al-awwalun) justru banyak datang dari kaum miskin-papa, kalangan budak bahkan komunitas gembel. Sebut saja, misalnya, nama-nama Sumayyah bin Khayyath dan puteranya ‘Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, dan masih banyak lagi yang lain.
Lebih jauh lagi, jika sejarah para nabi dicermati, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa mereka datang sebagai pembebas dari kezaliman. Dan yang paling penting digaris bawahi, misi pembebasan yang mereka usung ini tidak sebatas diktum teks kitab suci, namun juga terimplementasikan dalam aksi. Contohnya, Nabi Ibrahim menentang Raja Namrud, Nabi Dawud membantu Jalut untuk memerangi Thalut, termasuk Nabi Musa yang berjuang melawan Fir’aun.
Sepanjang hidupnya, Rasulullah SAW juga selalu berpihak kepada kelompok-kelompok lemah (baca: kaum sandal jepit). Rasul SAW pun selalu menasehatkan agar para ulama melanjutkan misi para nabi—selalu berada di tengah-tengah kelompok mustadh’afin.
Kini, fenomena perbudakan (slavery) memang sudah tidak ada lagi wujudnya di muka bumi. Kasus pembunuhan terhadap bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup nyaris tidak lagi dijumpai. Tetapi kezaliman kepada kaum mustadh’afin dalam beragam bentuknya tetap terjadi, seperti kasus sandal jepit yang dialami AAL di Palu, kasus kakao dan kapuk yang menimpa Nenek Minah di Kabupaten Banyumas dan Manise di Kabupaten Batang.
Oleh karena itu, kepedulian umat terhadap nasib kaum sandal jepit sangat dinantikan. Mengingat Islam secara doktrinal sangat menekankan hal itu, dan secara tegas menunjukkan keberpihakannya kepada mereka.
Penulis adalah Dosen Sastra Arab