Oleh A. Sunandar
Pembangunan pendidikan bertaraf in­ternasional pada dasarnya meru­pakan suatu upaya untuk me­ning­katkan kualitas pendidikan agar berdaya saing internasional. Peraturan Menteri Pen­didikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Pasal 1 (8) menjelaskan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya.
Kebijakan sekolah bertaraf internasional memunculkan beragam pemahaman di­antara para pengambil kebijakan dan prak­tisi pendidikan. Secara umum Per­men­diknas 78 Tahun 2009 memang me­nye­butkan bahwa SBI adalah SSN yang di­tambah muatan keunggulan yang diadopsi dari sekolah di negara maju. Namun hal tersebut tentunya belum mem­berikan penjelasan yang komprehensif, SSN+X itu sangat multi tafsir. Seperti halnya penelitian Maryati (2007) yang membahas pemahaman para kepala sekolah pe­nyelenggara RSBI, diantara pemahaman para kepala sekolah tersebut menyatakan, “SBI sebagai sekolah dengan acuan kurikulum nasional dan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Ada juga yang mendefinisikan SBI adalah sekolah yang fasilitasnya lengkap dan modern serta menggunakan Bahasa Inggris.” Pemahaman tersebut tentunya hanya bersifat sempalan dari tujuan SBI yang sebenarnya. Pada tahapan ini perlu kiranya diluruskan makna SBI yang sebenarnya agar kebijakan tersebut tidak hanya menjadi komoditas jualan sekolah.
Muara dari SBI pada dasarnya adalah terciptanya sekolah yang efektif, yaitu efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik, efektif mentranformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta efektif dalam mewujudkan manusia yang beradab dan berbudi pekerti luhur. Sementara itu secara lebih operasional yang dimaksud sekolah efektif dijelaskan Surya (Fattah: 2009) a school climate conducive to learning, (2) the expectation among teachers that all students can achieve, (3) a system of clear instructional objectives for monitoring and assessing student performance, (4) a school principal who is a strong programatic leader and (5) who sets goal, maintain student discipline, frequently observes classrooms, and creates incentives for learning.
Penjelasan tentang SBI yang dilengkapi dengan penjelasan tentang sekolah efektif sebagai muara dari kebijakan SBI diharapkan dapat mempertegas maksud dan tujuan kebijakan SBI sehingga pemahaman dan pelaksanaan SBI di lapangan tidak bersifat sempalan dan pemilahan saja. Kepala sekolah, guru dan stakeholders pendidikan perlu memahami hal tersebut secara holistik agar tidak terjadi kamuflase dan SBI hanya sebagai dagangan sekolah.

Permasalahan RSBI
Sejak digulirkan tahun 2006 terdapat ratusan sekolah mulai dari SD. SMP, SMA dan SMK yang menyandang predikat RSBI. Secara yuridis formal RSBI pada dasarnya tidak memiliki payung hukum, ketetapan Permendiknas No. 78 Tahun 2009 mengatur tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional. Kebijakan RSBI muncul sebagai suatu siasat untuk mendorong sekolah SSN segera mengupayakan pencapaian SBI. Namun, ternyata kebijakan tersebut menjadi bumerang, pemerintah menargetkan setelah lima tahun berjalan sekolah RSBI diharapkan menjadi SBI, namun dalam kenyataannya sekolah-sekolah yang telah lima tahun berjalan belum mampu memenuhi kriteria SBI.
Permasalahan yang mengemuka dalam penyelenggaraan RSBI diantaranya: 1). Kesiapan SDM guru yang setaraf dengan kualitas SDM di sekolah mitra (OECD) kemampuan Bahasa Inggris masih rendah, riset belum menjadi suatu kebiasaan guru Indonesia, persiapan mengajar cenderung apa adanya, 30% guru bergelar master yang ilmunya pararel masih belum bisa dipenuhi. 2). Penetapan sekolah mitra, permasalahan yang paling sulit diatasi para pengelola sekolah adalah mencari sekolah mitra yang benar-benar mau memajukan sekolah di Indonesia. 3). Manajerial sekolah, RSBI menjadikan manajemen sekolah menjadi kikuk, disatu sisi kebanyakan sekolah RSBI berstatus negeri namun dalam pelaksanaan manajerial mereka dituntut mandiri la­yak­nya sekolah swasta. Apabila dimanage layaknya sekolah swasta SDM guru tidak terbiasa, orang tua pun banyak yang protes dan media mengekspos besar-besaran kebijakan sekolah yang memberatkan orang tua.
Hasil diskusi penulis dengan beberapa orang kepala sekolah RSBI di Kota Bandung menyiratkan mereka pada dasarnya masih bingung dalam menjalankan kebijakan RSBI apalagi ada kebijakan untuk tingkat menengah pengelolaan sekolah RSBI untuk menjadi SBI harus berada dibawah naungan propinsi. Sementara itu pemerintah daerah Kabupaten/Kota enggan melepaskan kewe­nangannya, karena keberadaan seko­lah dipandang sangat strategis.
Di beberapa daerah, permasalahan pa­yung hukum penyelenggaraan SBI juga menjadi masalah. Beberapa daerah ada yang sudah mengeluarkan Perda tentang pe­nyelenggaraan SBI namun di daerah lain belum ada. Permasalahan anggaran juga masih menjadi polemik. Pada 2006-2010, sekolah-sekolah yang berstatus RSBI mendapatkan hibah dari Kemendiknas sebesar 100 juta untuk pemenuhan kebutuhan manajemen sekolah RSBI. Namun tahun 2011 dana tersebut disetop karena pagu anggaran RSBI hanya 5 tahun.
Hasil evaluasi tentang penyelenggaraan RSBI hingga kini belum terpublikasi secara luas, informasi yang penulis peroleh Kemendiknas telah melakukan evaluasi namun hasilnya tidak terpublikasikan. Selentingan yang muncul , sekolah-sekolah yang menyandang RSBI tidak layak menjadi SBI. Sekolah yang tidak layak sewajarnya diturunkan statusnya menjadi SSN. Namun ada protes dari sekolah dan dinas terkait kalau statusnya diturunkan, maka citra sekolah pun akan menjadi jelek hingga akhirnya hilang kepercayaan dari masyarakat.
Beberapa hal itulah yang dalam pe­nga­matan penulis masih menjadi rongrongan pelaksanaan SBI di Indonesia. Ratusan sekolah yang hari ini sudah berstatus RSBI harus diselamatkan oleh pemerintah. Apa tindaklanjut yang akan dilaksanakan setelah lima tahun berjalan suatu sekolah menyandang predikat RSBI? Secara ideal memang jawabannya, “Ya, harus menjadi SBI.” Namun mengingat masih banyaknya kriteria yang belum dipenuhi, rasanya hal tersebut belum layak. Penulis tergelitik oleh pertanyaan salah seorang orang tua siswa pada saat penulis menghadiri rapat orang tua di SDN SBI salah satu sekolah di Kota Malang. “Apa yang membedakan anak saya sekolah disini dengan sekolah non SBI?” lontarnya. Guru pun kebingungan menjawabnya. Saat dijawab ada muatan Bahasa Inggris, ternyata di sekolah reguler juga sudah mulai menggunakan Bahasa Inggris, dan saat dijawab ada kurikulum IPA mulai kelas satu, orang tua siswa malah memandang itu terlalu memberatkan anak.

Jalan tengah tindak lanjut RSBI
Dalam pandangan penulis, langkah-langkah penyelamatan sekolah berstatus RSBI harus dilakukan secara strategis sebelum masalah tersebut menjadi sistemik. Beberapa langkah yang dapat penulis kemukakan sebagai sebuah solusi adalah sebagai berikut.
Pertama, jadikan sekolah RSBI menjadi sekolah yang memiliki orientasi khusus. Misalnya, sekolah spesialis ilmu-ilmu eksak, untuk pengembangannya sekolah tersebut bermitra dengan perguruan tinggi berorientasi science seperti ITS, ITB atau FMIPA. Sekolah berorientasi ekonomi, bermitra dengan fakultas ekonomi, sekolah berorientasi keteknikan, maka bermitra dengan fakultas teknik. Proses kemitraan itu tidak hanya tingkat SMA/SMK dengan perguruan tinggi saja melainkan tingkat SMP pun dapat bermitra dengan SMA/SMK sejalur yang memiliki spesifikasi serupa. Begitu halnya dengan tingkat dasar, kelas lima dan enam biasanya anak sudah memiliki orientasi dan keinginan khusus . Kemitraan sekolah antar jenjang ini akan menjadikan siswa sebagai input sekolah lanjutan menjadi lebih siap.
Kedua, mengubah nama status RSBI menjadi sekolah SSN plus, predikat RSBI mengharuskan suatu saat nanti status sekolah harus naik menjadi SBI. Padahal apabila infrastruktur dan suprastruktur sekolah belum siap maka tidak perlu dipaksakan. Apalagi kalau sudah ada target waktu, misalnya, RSBI diberi waktu lima tahun untuk menjadi SBI, maka pada saat target tidak tercapai akan menjadikan pengelola sekolah kelimpungan. Bila menggunakan SSN plus maka tuntutan menjadi SBI tidak akan begitu deras, sehingga yang menjadi SBI adalah betul-betul sekolah terseleksi dan benar-benar sudah layak menyandang status SBI.
Ketiga, susun peta strategis pencapaian kualitas sekolah seluruh jenjang di seluruh Indonesia. Gambaran kualitas sekolah ini akan menjadi data dasar dalam membuat kebijakan pengembangan kualitas pen­didikan. Layaknya bursa efek Indonesia yang update setiap saat menampilkan kurs rupiah dan nilai saham. Peta strategis kualitas pendidikan juga memberikan gambaran konkret pencapaian kualitas seluruh jenjang di seluruh Indonesia. Bila memungkinkan pasang layar yang tersambung secara online layaknya dikantor bank yang menampilkan pergerakan rupiah dan nilai saham.
Gagasan jalan tengah tindaklanjut RSBI mudah-mudahan dapat melahirkan inspirasi baru dalam menata dan mengatur peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Penulis sangat sadar bahwa permasalahan pendidikan Indonesia begitu kompleks, namun harapan besar, Insya Allah, akan menguatkan Mendiknas dan seluruh jajaran serta praktisi pendidikan untuk selalu mengabdikan kompetensi yang dimiliki demi kualitas bangsa yang lebih baik.
Penulis adalah dosen Perencanaan Pendidikan AP dan mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan