Oleh Zulkarnain Nasution

Ilustrasi by Alfi/Kom
Untuk memahami posisi media massa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media yang melatar belakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pe­ngertian serangkaian simbol yang me­ngandung acuan bermakna tantang peng­alaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan.
Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas.
Menurut McQuil (1987:40) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri pasar dapat diartikan dengan kapitalisme.
Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju dan berkembang, mengalami suatu per­kembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Secara umum, seperti yang dialami negara-negara kapitalis, sistem kapitalis modern pada dasarnya mengandung kontradiksi-kontradiksi inter­nal yang menyangkut peran media.
Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa ter­subordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.
Dalam konteks inilah media massa kapitalis sebagai media yang berorientasi pasar sangat memegang peranan dan menjadi saluran utama memopulerkan budaya baru atau budaya pop kepada masyarakat. Budaya pop merupakan suatu bentuk budaya yang terbentuk akibat adanya suatu realitas yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu identitas tertentu di mana dengan adanya identitas tersebut manusia dapat menguasai dan merekonstruksi pikiran orang lain dengan menanamkan berbagai macam ideologi yang dimilikinya demi kepentingan individu dan golongan tertentu (Yasraf, 2003). Tentunya individu yang sanggup melakukan hal tersebut hanyalah individu atau golongan yang menguasai faktor produksi yang ada dan dapat mengendalikan media.
Budaya pop yang muncul tersebut tidak dapat lepas dari sarana utama yang digunakannya, yaitu media massa. Dalam kajian budaya, media massa merupakan salah satu saluran utama penyebaran ideologi dari kaum-kaum tertentu. Oleh karena itu penyebaran tersebut dapat disebut juga sebagai budaya media di mana menghegemoni masyarakat untuk satu dalam suatu dunia tanpa batas ruang dan waktu (globalisasi).

Kapitalisme media dan latar belakangnya
Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju dan berkembang mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Secara umum, seperti yang dialami negara-negara kapitalis, sistem kapitalis modern pada dasarnya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menyangkut peran media.
Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi politik dan ekonomi.
Menurut Denis McQuail (1987:40) terdapat ciri-ciri khusus institusi media massa. Pertama, memproduksi dan mendistribusi pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain, dari pengirim ke penerima, dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Keempat, partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela tanpa adanya keharusan yang atau kewajiban sosial. Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Kelima, meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, tapi institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum.
Di antara ciri-ciri media massa tersebut, yang erat sekali hubungannya dengan topik pembahasan ini adalah keterikatan media massa dengan industri pasar secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju maupun berkembang mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya.
Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.
Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal” daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa.
Sebagai capitalist venture, media massa beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Menurut Smythe, “Fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis” (Dallas, 1977).

Fenomena kapitalisme media di Indonesia
Pada dasarnya media massa adalah institusi yang mementingkan masalah sosial dan politik dalam bermasyarakat dan bernegara serta mencerdaskan khalayak dengan informasi-informasi yang mendidik bahkan meluruskan berbagai problem kemasyarakatan hingga pemerintahan pada media massa modern saat ini. Namun, lahir fenomena baru tentang kuatnya karakter kapitalisme media dalam proses berkembangan media massa yang sudah merambah ke arah pemilikan modal tunggal yang hanya mementingkan keuntungan saja.
Media massa sebagai institusi ekonomi, dalam hal ini erat kaitanya dengan kapitalis­me media dan liberalisme media. Media modern sekarang kurang memperhatikan kepentingan sosial, budaya, bahkan politik, tapi kepentingan merauk keuntungan yang sebesar -besarnya tanpa memperhatikan positif dan negatif pemberitaan dan infor­masi yang dicerna masyarakat. Hanya me­ngejar tayang dan mengejar popularitas latar perusahaannya. Fenomena kapitalisme media di tanah air kita dapat dilihat dari beberapa kasus sebagai berikut.
Pertama, di Indonesia, konglomerasi juga menggejala. Beberapa media tergabung dalam satu holding company. RCTI, MNC TV, dan Global TV merupakan televisi dengan pemilik dan saham yang sama. Di dunia media massa cetak Kompas memiliki sekian media massa yang tergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Jawa Pos juga melakukan hal tersebut dengan Jawa Pos Grup-nya dan demikian pula dengan Tempo.
Kedua, MNC memiliki beberapa anak perusahaan, yaitu Sindo, RCTI, MNC TV, dan Global TV. Setiap di visi dari MNC tersebut memiliki peran, karakter, dan audiensnya masing-masing, tetapi memiliki satu tujuan yang sama, yaitu mendapatkan keuntungan finansial bagi perusahaan induknya yang tentu saja hanya dimiliki oleh beberapa orang semata-mata. Ini sesuai dengan pendapat O’Sullivan yang menyatakan bahwa pencarian keuntungan adalah yang melandasi apa pun yang diproduksi oleh media. Yang pertama mendapat surplus dari pencapaian ekonominya, yang kedua ideologi yang di gunakannya mendukung kapitalisme media.
Dari beberapa fenomena kapitalisme media massa di Indonesia telah terjadi integrasi horizontal dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal, yaitu proses di mana sebuah perusahaan membeli beberapa media yang berbeda, misalnya majalah, televisi, penerbitan buku, record labels, dan sebagainya dengan tujuan saling mendukung operasi dari masing-masing media. Sedangkan integrasi vertikal yaitu proses di mana sebuah perusahaan memiliki semua aspek produksi dan distribusi dari setiap produk media, misalnya sebuah perusahaan film secara vertikal meng­integrasikan aspek-aspek seperti agensi pencari bakat, studio produksi, rantai teater, produksi videocassette hingga rantai penjualan videocassette.
Fenomena kapitalisme media ini juga dapat ditandai dengan semakin hilangnya ruang publik, kebangkitan infotainment, turunnya jurnalisme investigasi, dan tendensi adanya homogenisasi (Deveraux, 2003:57). Konglomerasi selalu ditandai dengan pencarian keuntungan, dan ideological senses of values and beliefs untuk mendukung kapitalisme.
Penulis adalah Dosen PLS FIP dan pengamat sosiologi komunikasi