Raden Ajeng Kartini. Perempuan dari golongan ningrat Jepara ini adalah pahlawan bagi perem­puan-perempuan Indonesia. Dalam balutan kebaya dan hiasan sanggul, ia mem­per­juangkan banyak hal bagi kaum­nya, ter­utama pendidikan.
Pada salah satu suratnya yang tertanggal 7 Oktober 1900 kepada Nyonya Abendanon, ia menulis: “Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang-lubangnya. Jalan itu berbatu-batu, berlekuk-lekuk, licin jalan itu… belum dirintis! Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia. Karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri.”
Perjuangan dan cita-citanya terwujud. Bahkan kini, kaum perempuan Indonesia melakukan banyak hal yang tidak terbatas.Pada peringatan Hari Kartini 21 April kali ini, Komunikasi mencoba memotret perempuan-perempuan UM yang ‘tidak biasa’. Mereka melakukan kegiatan-ke­giatan yang umumnya hanya dilakukan laki-laki tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan.

Pendekar perempuan
UM memiliki delapan UKM beladiri yang menamakan markas mereka dengan sebutan “Kampung Pendekar”. Masing-masing UKM tersebut dipimpin oleh se­­orang ketua umum yang mayoritas laki-laki. Namun ada satu unit beladiri yang dipimpin seorang hawa. Ia menjadi satu-satunya perempuan yang bertindak sebagai panglima di Kampung Pendekar. Namanya, Kumala Mahda Habsari, Ketua Umum Taekwondo UM periode 2011-2012. Komunikasi menemuinya malam lalu (29/03) di sela-sela sesi latihannya di Gedung Graha Cakrawala.
Taekwondo bukanlah olahraga beladiri yang baru kemarin sore dilakoninya. Mahasiswi Pendidikan Teknik Elektro 2010 ini mulai menggemari Taekwondo sejak SMP. “Mulai SMP udah suka. Awalnya saat maen ke rumah paman, banyak yang latihan. Jadi pengen nyoba. Kebetulan paman merupakan ketua pengurus cabang Taekwondo Kabupaten Lumajang,” ujarnya.
Sejak itu, Mahda secara intensif berlatih Taekwondo dengan mengikuti ekstrakurikuler di sekolah dan berlatih dengan sang paman. Tidak mengherankan jika saat ini ia sudah mengenakan sabuk merah strip hitam 1. Di atasnya, hanya ada dua warna sabuk lagi, yakni merah strip hitam 2 dan hitam.
“Kalau kejuaraan jarang ikut, karena aku lebih fokus pada pelatihan dan keorganisasian,” ujarnya. Meski begitu, perempuan yang menempati kos di Batujajar ini pernah mendapat medali perak saat SMP dalam kejuaraan Tekwondo se-Jawa-Bali. Pengalamannya, antara lain, melatih Taekwondo di SD dan SMP almamater, serta menjadi wasit amatir pada pertandingan Taekwondo di Jember.
Salah satu kesulitan kecil sebagai perempuan yang menjalani olahraga beladiri adalah ketika datang menstruasi. “Pas PMS mood naik turun dan punggung sakit. Makanya waktu di kos malas berangkat latihan, tapi dipaksain. Soalnya nanti lihat teman-teman mood-nya bisa berubah,” terangnya. Perempuan yang mengaku tomboy karena tidak suka menari dan memakai rok ini mempelajari taekwondo dengan tujuan utama untuk pertahanan diri.
Baginya, perempuan lebih rentan terserang bahaya. Ilmu beladiri ini ternyata benar-benar berguna. Mahda pernah menendang laku-laki yang menggoda serta mencolek-coleknya ketika ia sedang bersepeda. Saat ditanya apakah kerudung juga mengganggunya saat latihan, ia menjawab, ”Enggak ganggu. Malah enak ‘kan, rambut nggak kemana-mana.”
Cedera sudah menjadi hal biasa. Kaki terkilir adalah yang paling sering terjadi. Termasuk juga tangan bengkak karena terkena tendangan rekan sendiri. Namun semua itu tidak membuatnya jera. Hal-hal semacam inilah yang membuat orangtuanya, terutama sang ibu, khawatir bukan kepalang. Semasa SMA, anak pertama dari dua bersaudara ini pernah tidak diperbolehkan latihan taekwondo lagi oleh ibunya. Karena larangan itu, Mahda berlatih secara sembunyi-sembunyi. “Sekhawatir-khawatirnya Ibu, dia selalu mengijinkan kemauan kita. Asalkan kita bisa mempertahankan dan mempertangggung jawabkan kemauan itu.”
Sebelum ia berganti kostum untuk berlatih bersama anggota taekwondo lainnya, Komunikasi menanyakan arti R.A Kartini baginya. “Semua orang tahu Kartini adalah simbol emansipasi wanita. Untuk aku sendiri sangat bermakna, karena itu adalah revolusi kita dalam hal kesamaan gender. Cewek bisa me­lakukan hal-hal yang di­lakukan cowok. Se­­­be­lum­nya banyak co­wok yang meremehkan. Tapi sekarang sudah terbukti bahwa cewek bisa lebih unggul dari cowok dalam berbagai segi.”

Petualang perempuan
Bertahun-tahun berlalu sejak R.A. Kartini menyuarakan emansipasi wanita. Namun hingga saat ini, pemikirannya masih menjadi inspirasi bagi banyak orang. Salah satunya adalah Yulli Hariyani, mahasiswa Fakultas Sastra angkatan 2008 yang hobi menjelajahi alam sejak duduk di bangku SMA. “Ibu Kartini mengajarkan tentang bagaimana seorang wanita dapat membuat sensasi tersendiri tanpa melampaui kodratnya. Begitu pun ketika di alam bebas, kita harus bisa bertahan dan memunculkan motivasi dengan persiapan yang matang,” terang mahasiswa yang bercita-cita menjadi rafter handal ini.
Yulli adalah aktivis MPA Jonggring Salaka divisi arung jeram. Ketika pertama kali bergabung dengan Jonggring Salaka, Yulli diharuskan untuk memilih salah satu di antara lima divisi, yaitu arung jeram, caving, rock and wall climbing, konservasi, serta gunung dan hutan. Merasa tertantang dengan hal baru, dia akhirnya memutuskan mencoba divisi arung jeram. Tidak salah pilih, beberapa prestasi di bidang arung jeram pun berhasil diraihnya, seperti menjadi juara III dalam Serayu Open dan juara harapan I dalam Night Water Rafting di Kasembon.
Meskipun berada di divisi arung jeram, kegiatan Yulli tidak sebatas menguji nyali di sungai saja. Mahasiswa yang tengah menjalani PPL ini juga mengikuti kegiatan divisi lain seperti boulder climbing dan naik gunung. Dia bahkan pernah melakukan ekspedisi ke Gunung Panderman bersama dua teman perempuannya hanya dengan mengandalkan peta dan kompas sebagai penunjuk arah.
Awalnya, Yulli tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan pecinta alam oleh orang tuanya. Tetapi, saat mengikuti kegiatan-kegiatan di luar Jawa Timur dan menuai prestasi, mereka pun mengijinkan dan ikut mendukung kegiatan Yulli. Restu orangtua rupanya membuat gadis asal Trenggalek ini semakin bersemangat. Terakhir, Yulli berhasil menyabet Juara III Kejuaraan Nasional Arung Jeram untuk Persiapan Australian Continental White Water Rafting di Ciberang, Banten. Kejuaraan tersebut diikutinya bersama tim Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) cabang Malang.
Melakukan kegiatan ekstrem tidak membuat Yulli melupakan kodratnya sebagai wanita. Dia tetap rajin merawat tubuh dan memasak. Keahlian memasak Yulli bahkan pernah membawanya menjadi tim memasak dalam program Ekspedisi Cincin Api yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. “Waktu itu saya masuk TV waktu sedang cuci piring,” ujarnya sambil tertawa. Bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter diakui Yulli dapat menjadikan dirinya lebih dewasa dan matang.
Yulli memiliki cara tersendiri dalam membagi waktu, yaitu pagi sampai sore hari melakukan kegiatan di luar kos, sedangkan malam hari menghabiskan waktu di kos. Dia hanya keluar di malam hari jika ada kegiatan yang benar-benar penting. Waktu istirahat juga diatur dengan baik. Bagi Yulli, jika sedang merasa lelah harus beristirahat, tidak boleh memaksakan diri.
Kegiatan akademis pun tetap stabil, terbukti dengan beasiswa yang berhasil didapatkannya sejak semester pertama hingga saat ini. Beberapa dosen malah mendukung Yulli untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di alam. Begitu juga sebaliknya, pelajaran bahasa yang didapatkan di kelas ternyata berguna dalam kegiatan nonakademis Yulli, dari pembuatan proposal, surat, sampai membuat artikel tentang petualangan ekstremnya.
“Rasa takut itu pasti ada, tapi kita tetap harus berani mencoba,” terang Yulli saat ditanya tentang perasaan ketika menjalani hobi ekstremnya. Soal cedera, sudah pasti perempuan kelahiran 10 Juli 1989 ini pernah mengalami, seperti tergores batu, masuk undercut saat arung jeram serta aksiotermik di Gunung Raung. Cedera paling parah adalah terjepit tali yang menyebabkan jarinya mengeluarkan banyak darah saat berada di gua. Namun, bukan Yulli namanya jika jera karena rasa sakit akibat cedera. Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi ini justru semakin bersemangat untuk menaklukkan alam.

Drumer perempuan
Senada dengan Yulli, ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda juga menjadi alasan seorang pemain drum wanita di UM. Dialah Ayu Paramitha Dewi yang akrab disapa Ayu. Dara kelahiran Bondowoso ini mulai bermain drum sejak kelas tiga SMP. Awalnya, Ayu tidak bisa bermain drum sama sekali, tapi karena ditantang oleh teman-temannya, dia pun belajar secara otodidak. Sampai saat ini, berbagai acara musik pernah diikutinya. Mulai ulang tahun fakultas, kafe, sampai program ngabuburit di JTV.
Ada yang berbeda dengan cara Ayu berlatih drum. Pertama-tama, dia memahami karakter suara dari masing-masing komponen drum. Setelah paham, dia kemudian berlatih memukul-mukul stik tanpa menggunakan drum sambil mendengarkan musik. Saat berhadapan dengan drum sungguhan, barulah Ayu mempraktikkan keahliannya. Hasilnya, hampir semua nada yang dihasilkan sesuai dengan yang dilatihnya tanpa menggunakan drum. Ayu menyebut metode berlatihnya sebagai latihan imajinasi. Sepintas metode ini memang terdengar mustahil, tetapi kepekaan nada yang dimiliki Ayu telah membuktikan bahwa metode ini efektif.
Calon sarjana psikologi ini sejak kecil telah diajarkan untuk menjadi pribadi yang kuat dan mandiri oleh orang tuanya. Bakat seni didapatkan Ayu dari keluarganya. Dari SD hingga SMA, Ayu suka menari seperti ibunya dan bermain musik seperti kakeknya. Bermain drum yang membutuhkan ke­kuatan fisik bukan masalah besar bagi anak pertama dari dua bersaudara ini. Sempat beberapa kali Ayu mengalami cedera seperti memar karena gesekan drum dan lecet saat menginjak pedal drum. Cedera-cedera tersebut bukannya membuat Ayu jera, malah menjadi sarana evaluasi bagi anggota OPUS UM ini.
Aliran musik pertama yang dikuasai Ayu adalah progressive rock dengan tempo cepat. Musik rock memang disukai Ayu sejak kelas enam SD saat dia mulai mengidolakan L’arc en Ciel, sebuah band asal Jepang beraliran J-Rock. Band yang terdiri dari empat personel ini bahkan membuat Ayu rela terbang ke Bangkok untuk menonton konser mereka secara langsung pada bulan Maret lalu. Dengan berbekal uang hasil toko online miliknya, selama empat hari Ayu berada di Bangkok seorang diri. “Dari pengalaman kemarin, saya termotivasi, kalau ingin mendapatkan sesuatu maka kita harus kerja keras,” tutur Ayu tentang makna perjalannya bertemu Hyde dan kawan-kawan.
Setahun belakangan, Ayu bergabung dengan band bernama 11’12 yang terdiri dari enam personel perempuan. Dalam band beraliran beauty pop ini, Ayu masih berada di posisi favoritnya sebagai pemain drum. Meskipun berada di belakang drum, Ayu ikut menciptakan sebuah lagu berjudul “Kulempar ke Hutan”. Lagu ini akan menjadi single 11’12 yang rencananya dirilis dalam album kompilasi bulan April mendatang.
Dibalik hobinya yang terbilang langka bagi perempuan, Ayu mempunyai cita-cita mulia yaitu melanjutkan LSM bentukan kakeknya. Ayu ingin menyalurkan kemampuannya di bidang musik dan fashion untuk membantu masyarakat di Bondowoso. Oleh sebab itu, jam kuliah dimanfaatkan Ayu semaksimal mungkin untuk menggali ilmu. Khususnya tentang hubungan dengan manusia yang dirasa berguna untuk mewujudkan cita-citanya kelak.
“Saya benar-benar kagum pada perem­puan Indonesia, itu ya Kartini. Jaman sekarang untuk menjadi cewek yang berbeda mungkin sudah umum, tapi jaman dulu ‘kan susah sekali. Seperti yang ditekankan oleh orang tua dan kakek saya, boleh berani beda, asal berguna,” pesan Ayu menutup diakhir perbincangannya dengan Komunikasi.Trias/Nurul