Judul : Cerita Cinta Enrico
Penulis : Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : I, Februari 2012
Tebal : vii + 244; 13,5 x 20 cm
Peresensi: Royyan Julian

Sekilas bila dilihat judulnya, Cerita Cinta Enrico, karya Ayu Utami terkesan sebagai novel bergaya cinta picisan apalagi dengan pengemasan sampul buku yang terlihat mencolok. Namun, Cerita Cinta Enrico menyajikan kisah cinta yang tidak biasa-biasa. Dengan latar pergolakan politik Indonesia sejak era pemberontakan hingga reformasi, novel ini menghadirkan kisah seorang lelaki yang jatuh cinta pada ibunya sendiri.
Enrico, tokoh utama cerita ini, melalui sudut pandangnya bertutur tentang hidupnya sejak ia dilahirkan. Ia adalah putra seorang letnan Angkatan Darat, Muhamad Irsad yang berasal dari Madura dan Syirnie Masmirah yang berasal dari Semarang. Bayi Enrico lahir ketika terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) pada 1958 di Padang. Akibat keterlibatannya pada pemberontakan itu, ayah Enrico dilucuti dari pangkatnya.
Enrico kecil tumbuh dalam keluarga harmonis di asrama tentara di Padang. Ia merasa memiliki keluarga yang paling sempurna di antara keluarga-keluarga teman-temannya yang berada di kompleks asrama. Ia sangat mengagumi ayahnya yang merupakan prajurit jujur dan mempunyai dedikasi tinggi kepada negara. Yang paling unik dari novel ini adalah rasa terkesan Enrico kepada ibunya yang baginya adalah perempuan paling sempurna di kompleks asrama. Penggambaran fisik dan perilaku tokoh Ibu menunjukkan bahwa si Aku (Enrico) sangat memuja ibunya sendiri.
Di tengah cerita, keharmonisan keluarga kecil itu pecah karena beberapa hal yang terjadi secara tiba-tiba dan alamiah. Ibunya kembali teringat akan kematian kakak perempuan Enrico, Sanda ketika masih seusia SD. Tidak ada yang dapat menghibur kesedihan ibunya hingga ia bergabung dalam sekte Saksi Yehuwa. Dari kelompok inilah sosok Ibu yang begitu Enrico kagumi berubah total. Ia menjelma perempuan kelam. Kenakalan masa kanak-kanak Enrico yang wajar ditanggapi negatif oleh ibunya. Enrico telah kehilangan sosok ibunya yang begitu ia cintai ketika masih dalam usia dini.
Ia merasa ibunya telah mengekangnya, memaksanya masuk ke dalam Saksi Yehuwa. Tetapi, pada akhirnya Enrico menemukan kebebasannya ketika ia diterima di Institut Teknologi Ban­dung (ITB). Di kampus itulah Enrico mengaktualisasikan diri dalam pergerakan mahasiswa, menentang kesewenang-wenangan rezim Orba sampai mereka dikebiri dengan keluarnya peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Saat Enrico mengalami kekosongan lantaran telah kehilangan semua anggota keluarganya, ia berhasil menemukan vitalitas hidup kembali setelah berjumpa dengan perempuan kesekian bernama A yang mengingatkannya pada sosok yang ia cintai sekaligus hindari: ibunya.
Meski tidak segawat Bilangan Fu yang cenderung spiritualisme kritis, Cerita Cinta Enrico tetap menyajikan kisah cinta yang tidak picisan. Artinya, cinta yang dihadirkan dalam novel ini berjalan sesuai dengan idealisme tokoh-tokohnya. Misalnya ketika Enrico bicara tentang hubungan-hubungan yang ia jalin dengan beragam perempuan. Jelas sekali tokoh novel ini menentang status sosial semacam institusi pernikahan. Konon, pernikahan dianggap sebagai belenggu yang dapat menjerat kemerdekaan individu karena bila pernikahan terjadi, maka akan ada konsekuensi-konsekuensi yang mesti dijalani (mengasuh anak dan terikat dengan istri).
Dengan demikian, perkawinan telah menjadi hal yang tidak sakral lagi. Sama halnya dengan seks yang dalam novel ini secara gamblang dinilai sebagai hal yang tidak sakral. Bahkan, tokoh A yang merupakan kekasih terakhir Enrico menganggap praktik seksual selalu berubah dari zaman ke zaman. Atas interpretasi kritisnya terhadap konteks terjadinya beberapa peristiwa dalam Alkitab, tokoh A malah beranggapan bahwa sejumlah orang suci dan nabi lahir dari rahim jadah yang melanggar hukum masyarakat dan alam.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, tokoh Enrico dan A merasa bahwa hubungan mereka mesti diikat dengan perkawinan. Syaratnya, perkawinan tersebut harus “demokratis”. Artinya, harus ada kesepakatan-kesepakatan antara pihak lelaki dan pihak perempuan. Bukan kesepakatan-kesepakatan konvensional yang dibuat oleh masyarakat, sebagaimana yang dituturkan oleh tokoh A, “Pertama, perkawinan harus merupakan pilihan bebas, bukan tekanan masyarakat apalagi kewajiban. Hanya dengan itu perkawinan menjadi murni dan sesungguhnya. Kedua, bentuk relasi di antara suami dan istri harus merupakan pilihan suami dan istri itu sendiri. Tak boleh ada institusi di luar kedua pribadi itu yang menentukan bentuk hubungan. Kalau yang menikah ingin lelaki jadi kepala keluarga, silakan. Tapi kalau mereka menginginkan lain, itu harus dimungkinkan.” (hal. 231)
Sebagaimana novel-novel Ayu yang lain, melalui tokoh utamanya, novel ini kerap menggugat kekuasaan (antikemapanan) seperti rezim Orba, perkawinan, patriarkal, dan yang paling tampak adalah penentangannya terhadap agama. Ibu Enrico yang sangat sektarian dan cenderung memaksa, tidak toleran terhadap yang liyan membuat Enrico menjadi pribadi yang tidak simpatik terhadap agama. Bagi Enrico, “Agama telah merusak ibuku. Ibuku yang dulu cantik, hebat, dan periang itu kini telah diringseknya menjadi makhluk yang lain sama sekali. Aku dendam pada agama.” (hal. 127)
Kejanggalan novel ini adalah tokoh Ibu yang setelah sekian lama ditinggal mati anak sulungnya tiba-tiba menjadi sosok yang berlarat-larat terhadap kematian anaknya itu. Sifatnya mendadak menjadi karakter yang muram. Entah apa sebabnya kenapa ia tiba-tiba sangat dramatis atas kematian putrinya yang telah lama itu. Yang juga disayangkan dalam novel ini adalah tidak menggambarkan masa remaja Enrico. Padahal, dengan kondisi keluarga yang semacam itu, pergolakan psikis dan emosi remaja sangat menarik untuk dieksplorasi lebih panjang. Namun, terlepas dari itu semua, Cerita Cinta Enrico adalah kisah yang manis untuk dibaca semua golongan.
Peresensi adalah mahasiswa Sastra Indonesia